oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Dalam menanggapi kasus
pelanggaran yang dilakukan Cina terhadap wilayah laut Indonesia, tepatnya di
Laut Natuna, banyak orang menganalisis sesuai dengan pengetahuannya
masing-masing. Semua itu bagus asal jelas landasan berpikirnya. Kalau tidak
jelas atau menggunakan teori-teori lama yang sudah tidak berlaku, analisisnya
menjadi lemah, tidak berguna, bahkan menyesatkan.
Banyak yang menganalisa dengan menggunakan teori-teori
lama yang akhirnya salah dan sama sekali tidak mengembangkan ilmu pengetahuan.
Saya melihat banyak orang yang menganalisa bahwa Indonesia kesulitan untuk
bersikap tegas kepada Cina yang telah melanggar batas laut Indonesia disebabkan
Indonesia punya banyak hutang dan banyak kerja sama bisnis dengan Cina. Itu
benar jika menggunakan teori-teori lama bahwa jika suatu negara berhutang
kepada negara lain akan mudah diatur dan ditekuk oleh negara yang
menghutanginya. Indonesia pernah mengalami hal seperti ini pada masa orde baru.
Hal itu disebabkan Indonesia banyak mengajukan proposal bantuan dan hutang
kepada negara lain, terutama kapitalis. Negara-negara yang memberikan bantuan
atau hutang itu menyisipkan atau mendesakkan kepentingannya kepada
negara-negara yang berhutang.
Berbeda dengan sekarang, khususnya Indonesia. Teori itu
sudah tidak berlaku lagi karena Indonesia berhasil menjadikan negaranya sebagai
daya tawar bagi negara lain yang hendak berinvestasi, termasuk memberikan
pinjaman. Dengan demikian, posisi Indonesia bisa setara dengan negara lain.
Dalam kasus konflik dengan Cina, urusan bisnis, investasi, dan politik itu bisa
terpisah. Urusan pelanggaran hukum, urusan politik terpisah dengan urusan
ekonomi. Kalau Cina membawa-bawa urusan ekonomi, misalnya, hutang atau kerja
sama pada berbagai proyek, Indonesia bisa menghentikannya untuk ditawarkan
kepada negara lain, misalnya, Jepang.
Tidak bisa Cina menekan Indonesia dengan ancaman, “Bayar
hutang!” atau, “Hentikan kerja sama.”
Hutang piutang ada aturannya sendiri sebagaimana jika
kita mencicil hutang atas cicilan rumah, mobil, atau motor, ada aturan dan
kesepakatan tentang pembayarannya. Kalau kita punya masalah dengan pemilik
leasing motor, misalnya, rebutan perempuan, tidak bisa pemilik leasing menjabel
motor kita karena soal pembayaran cicilan itu ada waktunya, ada aturannya. Urusan
cewek beda jauh dengan urusan cicilan motor.
Kalaupun Cina membawa urusan bisnis dan ekonomi dalam
kasus di Laut Natuna, Cina bisa rugi sendiri. Indonesia bisa menghentikan
pembahasan kerja sama-kerja sama yang akan dilangsungkan untuk kemudian dialihkan
dengan menjalin kerja sama dengan negara lain. Hal ini sudah terbukti bahwa
pemerintah dalam hal ini sikap tegas Menlu RI Retno Marsudi mendapat dukungan
dari seluruh menteri terkait. Bahkan, Presiden Jokowi pun dengan tegas bahwa
soal kedaulatan Indonesia itu tidak ada kompromi.
Hanya orang-orang tertinggal pemahamannya yang masih
berpikir bahwa Indonesia tidak bisa tegas terhadap Cina disebabkan hutang dan
kerja sama bisnis. Sungguh, Indonesia dan Cina itu equal, seimbang, setara.
Sampurasun.
No comments:
Post a Comment