Sunday, 5 January 2020

Indonesia & Cina Equal


oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Dalam menanggapi kasus pelanggaran yang dilakukan Cina terhadap wilayah laut Indonesia, tepatnya di Laut Natuna, banyak orang menganalisis sesuai dengan pengetahuannya masing-masing. Semua itu bagus asal jelas landasan berpikirnya. Kalau tidak jelas atau menggunakan teori-teori lama yang sudah tidak berlaku, analisisnya menjadi lemah, tidak berguna, bahkan menyesatkan.

            Banyak yang menganalisa dengan menggunakan teori-teori lama yang akhirnya salah dan sama sekali tidak mengembangkan ilmu pengetahuan. Saya melihat banyak orang yang menganalisa bahwa Indonesia kesulitan untuk bersikap tegas kepada Cina yang telah melanggar batas laut Indonesia disebabkan Indonesia punya banyak hutang dan banyak kerja sama bisnis dengan Cina. Itu benar jika menggunakan teori-teori lama bahwa jika suatu negara berhutang kepada negara lain akan mudah diatur dan ditekuk oleh negara yang menghutanginya. Indonesia pernah mengalami hal seperti ini pada masa orde baru. Hal itu disebabkan Indonesia banyak mengajukan proposal bantuan dan hutang kepada negara lain, terutama kapitalis. Negara-negara yang memberikan bantuan atau hutang itu menyisipkan atau mendesakkan kepentingannya kepada negara-negara yang berhutang.

            Berbeda dengan sekarang, khususnya Indonesia. Teori itu sudah tidak berlaku lagi karena Indonesia berhasil menjadikan negaranya sebagai daya tawar bagi negara lain yang hendak berinvestasi, termasuk memberikan pinjaman. Dengan demikian, posisi Indonesia bisa setara dengan negara lain. Dalam kasus konflik dengan Cina, urusan bisnis, investasi, dan politik itu bisa terpisah. Urusan pelanggaran hukum, urusan politik terpisah dengan urusan ekonomi. Kalau Cina membawa-bawa urusan ekonomi, misalnya, hutang atau kerja sama pada berbagai proyek, Indonesia bisa menghentikannya untuk ditawarkan kepada negara lain, misalnya, Jepang.

            Tidak bisa Cina menekan Indonesia dengan ancaman, “Bayar hutang!” atau, “Hentikan kerja sama.”

            Hutang piutang ada aturannya sendiri sebagaimana jika kita mencicil hutang atas cicilan rumah, mobil, atau motor, ada aturan dan kesepakatan tentang pembayarannya. Kalau kita punya masalah dengan pemilik leasing motor, misalnya, rebutan perempuan, tidak bisa pemilik leasing menjabel motor kita karena soal pembayaran cicilan itu ada waktunya, ada aturannya. Urusan cewek beda jauh dengan urusan cicilan motor.

            Kalaupun Cina membawa urusan bisnis dan ekonomi dalam kasus di Laut Natuna, Cina bisa rugi sendiri. Indonesia bisa menghentikan pembahasan kerja sama-kerja sama yang akan dilangsungkan untuk kemudian dialihkan dengan menjalin kerja sama dengan negara lain. Hal ini sudah terbukti bahwa pemerintah dalam hal ini sikap tegas Menlu RI Retno Marsudi mendapat dukungan dari seluruh menteri terkait. Bahkan, Presiden Jokowi pun dengan tegas bahwa soal kedaulatan Indonesia itu tidak ada kompromi.

            Hanya orang-orang tertinggal pemahamannya yang masih berpikir bahwa Indonesia tidak bisa tegas terhadap Cina disebabkan hutang dan kerja sama bisnis. Sungguh, Indonesia dan Cina itu equal, seimbang, setara.

            Sampurasun.

No comments:

Post a Comment