oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Cina memang berulang-ulang
melakukan pencurian ikan di kawasan Laut Natuna yang merupakan milik Indonesia.
Pencurian itu bukan hanya dilakukan oleh nelayan-nelayan Cina, melainkan pula “direstui”
oleh pemerintahnya. Hal ini bisa dilihat dari pembelaan pemerintah Cina terhadap
nelayan-nelayannya yang mengawal para pencuri itu dengan menggunakan kapal coast guard serta pernyataan sikap Cina
Daratan melawan protes Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi.
Dilihat dari teori hubungan internasional, itu hal yang
wajar karena setiap negara selalu berusaha untuk memakmurkan dan melindungi
warga negaranya sendiri. Akan tetapi, menjadi tidak wajar jika melanggar
ketetapan atau aturan yang sudah disepakati secara internasional. Indonesia
berusaha melindungi kepentingan negaranya dengan mematuhi berbagai kesepakatan
dan hukum internasional, ini perilaku beradab. Cina tidak mengakui berbagai
kesepakatan dan aturan internasional serta hanya menetapkan sendiri sesuai
keinginannya sendiri, ini sikap premanisme, anarkis, arogan, dan tidak beradab.
Dalam menghadapi sikap Cina, menteri-menteri Indonesia
tampak berbeda pendapat dan cara. Menhan Prabowo tenang, Menko Kemaritiman
Luhut lebih tenang, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti
meledak-ledak, Menkopolhukam Mahfud M.D. diplomatis, Menteri Luar Negeri Retno
Marsudi lugas berdasar hukum.
Menteri yang belum kedengaran suaranya hanya Menteri
Kelautan dan Perikanan RI sekarang Edhy Prabowo. Padahal, dia pun memiliki
tanggung jawab yang besar.
Perbedaan sikap dari para menteri itu merupakan hal yang
wajar. Perbedaannya hanya soal gaya atau cara. Akan tetapi, hal yang sama dari
mereka adalah soal kedaulatan negara harus dilindungi dan pencurian ikan di
kawasan laut Indonesia harus dihentikan dengan cara penegakkan hukum. Di
samping itu, pada akhirnya sikap para menteri itu bermuara kepada presiden.
Sikap Presiden-lah yang keluar menjadi kebijakan dalam menghadapi Cina.
Kesamaan pandangan secara umum dari setiap menteri itu
dapat dilihat bahwa tidak terjadi keributan di dalam negeri ketika mantan
Menteri Susi menggunakan “diplomasi
megafon”. Diplomasi ini berupa pernyataan sikap dengan suara keras dan
mengeluarkan ancaman. Demikian pula, ketika Menlu RI Retno Marsudi menggunakan “diplomasi terbuka” yang menantang Cina
untuk secara terbuka menyelesaikan masalah dengan menggunakan hukum-hukum yang
berlaku secara internasional. Semua mendukung penuh. Hal yang sama pun bisa
disaksikan ketika TNI AL mengirimkan pasukan dan kapal perang untuk membantu patroli
dan pengamanan di kawasan ZEE Indonesia, Laut Natuna. Mahfud M.D., Luhut, dan
Prabowo pun setuju. Ini namanya “diplomasi
bersenjata”, diplomasi tetap dilakukan dengan membawa dukungan berupa
kekuatan militer.
Perbedaan pendapat itu wajar, tetapi semuanya harus
berujung pada menjaga kedaulatan negara untuk memakmurkan dalam negeri
Indonesia. Caranya, bukan dengan perang, melainkan diplomasi serta penegakkan
hukum Indonesia di seluruh kawasan Indonesia. Untuk melakukannya, jelas
Indonesia harus memiliki aparat dan alat penegakkan hukum yang memadai dan
berwibawa.
Untuk itulah, kerja sama semua pihak termasuk rakyat
sangat diperlukan: korupsi diberantas, infrastruktur dibangun dan dimanfaatkan,
BUMN menguntungkan negara, serta rakyat harus belajar keras dan kerja keras
agar dapat membayar pajak lebih besar dan membeli barang lebih banyak sehingga
pendapatan negara meningkat untuk melengkapi alat-alat penegakkan hukum dalam
rangka melindungi segenap kepentingan rakyat Indonesia.
Sampurasun.
No comments:
Post a Comment