Saturday, 4 January 2020

Diplomasi Menghadapi Cina


oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Cina memang berulang-ulang melakukan pencurian ikan di kawasan Laut Natuna yang merupakan milik Indonesia. Pencurian itu bukan hanya dilakukan oleh nelayan-nelayan Cina, melainkan pula “direstui” oleh pemerintahnya. Hal ini bisa dilihat dari pembelaan pemerintah Cina terhadap nelayan-nelayannya yang mengawal para pencuri itu dengan menggunakan kapal coast guard serta pernyataan sikap Cina Daratan melawan protes Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi.

            Dilihat dari teori hubungan internasional, itu hal yang wajar karena setiap negara selalu berusaha untuk memakmurkan dan melindungi warga negaranya sendiri. Akan tetapi, menjadi tidak wajar jika melanggar ketetapan atau aturan yang sudah disepakati secara internasional. Indonesia berusaha melindungi kepentingan negaranya dengan mematuhi berbagai kesepakatan dan hukum internasional, ini perilaku beradab. Cina tidak mengakui berbagai kesepakatan dan aturan internasional serta hanya menetapkan sendiri sesuai keinginannya sendiri, ini sikap premanisme, anarkis, arogan, dan tidak beradab.

            Dalam menghadapi sikap Cina, menteri-menteri Indonesia tampak berbeda pendapat dan cara. Menhan Prabowo tenang, Menko Kemaritiman Luhut lebih tenang, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti meledak-ledak, Menkopolhukam Mahfud M.D. diplomatis, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi lugas berdasar hukum.

            Menteri yang belum kedengaran suaranya hanya Menteri Kelautan dan Perikanan RI sekarang Edhy Prabowo. Padahal, dia pun memiliki tanggung jawab yang besar.

            Perbedaan sikap dari para menteri itu merupakan hal yang wajar. Perbedaannya hanya soal gaya atau cara. Akan tetapi, hal yang sama dari mereka adalah soal kedaulatan negara harus dilindungi dan pencurian ikan di kawasan laut Indonesia harus dihentikan dengan cara penegakkan hukum. Di samping itu, pada akhirnya sikap para menteri itu bermuara kepada presiden. Sikap Presiden-lah yang keluar menjadi kebijakan dalam menghadapi Cina.

            Kesamaan pandangan secara umum dari setiap menteri itu dapat dilihat bahwa tidak terjadi keributan di dalam negeri ketika mantan Menteri Susi menggunakan “diplomasi megafon”. Diplomasi ini berupa pernyataan sikap dengan suara keras dan mengeluarkan ancaman. Demikian pula, ketika Menlu RI Retno Marsudi menggunakan “diplomasi terbuka” yang menantang Cina untuk secara terbuka menyelesaikan masalah dengan menggunakan hukum-hukum yang berlaku secara internasional. Semua mendukung penuh. Hal yang sama pun bisa disaksikan ketika TNI AL mengirimkan pasukan dan kapal perang untuk membantu patroli dan pengamanan di kawasan ZEE Indonesia, Laut Natuna. Mahfud M.D., Luhut, dan Prabowo pun setuju. Ini namanya “diplomasi bersenjata”, diplomasi tetap dilakukan dengan membawa dukungan berupa kekuatan militer.

            Perbedaan pendapat itu wajar, tetapi semuanya harus berujung pada menjaga kedaulatan negara untuk memakmurkan dalam negeri Indonesia. Caranya, bukan dengan perang, melainkan diplomasi serta penegakkan hukum Indonesia di seluruh kawasan Indonesia. Untuk melakukannya, jelas Indonesia harus memiliki aparat dan alat penegakkan hukum yang memadai dan berwibawa.

            Untuk itulah, kerja sama semua pihak termasuk rakyat sangat diperlukan: korupsi diberantas, infrastruktur dibangun dan dimanfaatkan, BUMN menguntungkan negara, serta rakyat harus belajar keras dan kerja keras agar dapat membayar pajak lebih besar dan membeli barang lebih banyak sehingga pendapatan negara meningkat untuk melengkapi alat-alat penegakkan hukum dalam rangka melindungi segenap kepentingan rakyat Indonesia.

            Sampurasun.

No comments:

Post a Comment