oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Dulu nama Indonesia belum
ada. Oleh sebab itu, orang-orang Arab yang datang ke Indonesia menyebutnya “Jaziratul Muluk”, ‘tanah yang banyak
rajanya’. Memang tanah di Indonesia itu banyak rajanya. Hampir setiap pulau,
dipenuhi banyak raja. Di Bandung ada Dalem Bandung, bergerak ke Sumedang ada
Pangeran Kornel, diteruskan ke Kadipaten ada Pangeran Muhammad, dilanjutkan ke
Majalengka ada Nyi Rambut Kasih, maju terus ke Kuningan ada lagi penguasa
Kuningan, memutar ke Cirebon ada Sultan Sepuh dan Kanoman yang berasal dari
Kesultanan Cirebon. Pendek kata, di Indonesia ini banyak ratu dan raja yang
menguasai dan membagi-bagi pulau dalam kekuasaan yang berbeda-beda. Jaziratul
Muluk.
Saya sendiri kalau menulis soal budaya, suka mengatakan bahwa
Indonesia adalah “tanah para bangsawan”.
Hal itu disebabkan saking banyaknya kerajaan. Rakyat Indonesia ini banyak yang
merupakan keturunan dari kerajaan-kerajaan yang ada. Jika menulis soal sejarah
politik, saya suka menyebut Indonesia adalah “tanah seribu pahlawan”. Coba perhatikan saja dari Sabang sampai
dengan Merauke, selalu dipenuhi nama-nama pahlawan yang berperan dalam
kemerdekaan Indonesia.
Berdasarkan latar belakang sejarah tersebut, tidaklah
aneh jika saat ini banyak bermunculan kerajaan-kerajaan yang dirasakan asing
oleh bangsa Indonesia generasi saat ini. Bahkan, banyak orang yang
terkaget-kaget dan menyebutnya sebagai “kegilaan”.
Sesungguhnya, tidak aneh juga jika banyak nama kerajaan
yang muncul. Saya sendiri berkali-kali mengikuti kegiatan-kegiatan para
keturunan raja-raja zaman dulu itu. Mereka biasanya memang membahas kondisi
negara dan keprihatinan mereka atas berbagai ketimpangan yang terjadi. Bahkan,
saya pernah menjadi pembicara yang menerangkan hal-ihwal Prabu Siliwangi di
hadapan keturunan Kerajaan Sunda Pajajaran. Saya sendiri sempat kikuk karena
seharusnya saya yang belajar dari mereka, bukan saya yang harus menerangkan
kepada mereka. Saya mengenal banyak dari mereka dan menjadi Koodinator Humas
Yayasan Pamanah Rasa Nusantara yang diketuai Dr. H. Gunawan Undang, Drs., M.Si..
Saya pernah ikut Konferensi Internasional Budaya Sunda, ikut kegiatan-kegiatan
diskusi kesundaan, ikut juga silaturahmi raja-raja se-Nusantara, dan lain
sebagainya.
Hal tersebut menunjukkan bahwa para keturunan
kerajaan-kerajaan tersebut masih ada dan tetap melestarikan eksistensi
keluarganya. Tidak perlu heran dan merasa aneh dengan kemunculan mereka karena
dari dulu juga sudah ada.
Hal yang membuat saya merasa aneh adalah kemunculan
mereka saat ini ke khayalak ramai seakan-akan bersamaan. Dimulai dengan Keraton Agung Sejagat, Sunda Earth Empire,
Kesultanan Selacau, dan mungkin yang lain akan menyusul. Saya memang
mendengar dari beberapa kerajaan yang mengaku memiliki perjanjian sewa menyewa
tanah kekuasaan, perjanjian bisnis keuangan, perjanjian pergiliran kekuasaan,
pencairan dana hutang dari bank-bank di dunia, dan sebagainya yang berakhir
pada angka tahun 2021. Oleh sebab itu, di antara mereka ada yang memiliki keyakinan
bahwa harus ada pergantian dan kegoncangan dunia pada tahun-tahun itu dan
sekarang adalah tahun 2020. Di samping itu, ada pula berbagai ramalan yang
beredar di kalangan kerajaan-kerajaan itu bahwa akan ada kegoncangan kemanusiaan
dan politik luar biasa, baik di dalam negeri Indonesia maupun di seluruh dunia
yang akan memunculkan sosok pemimpin baru yang mengamankan dan menyejahterakan
dunia. Hal ini ada dalam berbagai ramalan, seperti, “Uga Wangsit Siliwangi, Sabdo Palon, Darmogandhul,” dan “Ronggowarsito”. Saya mempelajarinya
banyak-banyak. Bahkan, isi ramalannya mirip-mirip dengan isi kisah-kisah zaman
akhir yang biasanya beredar di kalangan umat Islam dengan adanya kemunculan “Imam Mahdi” setelah sebelumnya dunia
dilanda bencana-bencana alam besar dan kegoncangan kemanusiaan. Bahkan, kisah-kisah
zaman akhir ini saya pelajari dari enam buku: 4 buku karya Muhammad Isa Dawud,
1 buku karya penulis Iran Jaber Bolushi, dan 1 buku karya Wisnu Sasongko.
Bagi saya, kemunculan kerajaan-kerajaan itu jika untuk
membentuk kerajaan baru di dalam NKRI adalah termasuk tindakan makar. Oleh
sebab itu, sebaiknya, mereka berada dalam yayasan atau organisasi yang dibina
pemerintah dengan kegiatan seperti “think
tank”, ‘wadah tempat berpikir’, yang menjadi “sparing partner”, ‘kawan debat’
pemerintah Republik Indonesia dalam mengelola negara dan masyarakat. Mereka
bisa tukar pikiran dengan pemerintah atau memberikan kritikan keras kepada
pemerintah sesuai dengan pemikiran para keturunan raja-raja itu sehingga
berperan besar dalam pembangunan Republik Indonesia. Hal itu lebih baik
dibandingkan mendirikan kerajaan di dalam sebuah negara.
Sampurasun.
No comments:
Post a Comment