Sunday 19 January 2020

Jaziratul Muluk


oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya
Dulu nama Indonesia belum ada. Oleh sebab itu, orang-orang Arab yang datang ke Indonesia menyebutnya “Jaziratul Muluk”, ‘tanah yang banyak rajanya’. Memang tanah di Indonesia itu banyak rajanya. Hampir setiap pulau, dipenuhi banyak raja. Di Bandung ada Dalem Bandung, bergerak ke Sumedang ada Pangeran Kornel, diteruskan ke Kadipaten ada Pangeran Muhammad, dilanjutkan ke Majalengka ada Nyi Rambut Kasih, maju terus ke Kuningan ada lagi penguasa Kuningan, memutar ke Cirebon ada Sultan Sepuh dan Kanoman yang berasal dari Kesultanan Cirebon. Pendek kata, di Indonesia ini banyak ratu dan raja yang menguasai dan membagi-bagi pulau dalam kekuasaan yang berbeda-beda. Jaziratul Muluk.

            Saya sendiri kalau menulis soal budaya, suka mengatakan bahwa Indonesia adalah “tanah para bangsawan”. Hal itu disebabkan saking banyaknya kerajaan. Rakyat Indonesia ini banyak yang merupakan keturunan dari kerajaan-kerajaan yang ada. Jika menulis soal sejarah politik, saya suka menyebut Indonesia adalah “tanah seribu pahlawan”. Coba perhatikan saja dari Sabang sampai dengan Merauke, selalu dipenuhi nama-nama pahlawan yang berperan dalam kemerdekaan Indonesia.
            Berdasarkan latar belakang sejarah tersebut, tidaklah aneh jika saat ini banyak bermunculan kerajaan-kerajaan yang dirasakan asing oleh bangsa Indonesia generasi saat ini. Bahkan, banyak orang yang terkaget-kaget dan menyebutnya sebagai “kegilaan”.
            Sesungguhnya, tidak aneh juga jika banyak nama kerajaan yang muncul. Saya sendiri berkali-kali mengikuti kegiatan-kegiatan para keturunan raja-raja zaman dulu itu. Mereka biasanya memang membahas kondisi negara dan keprihatinan mereka atas berbagai ketimpangan yang terjadi. Bahkan, saya pernah menjadi pembicara yang menerangkan hal-ihwal Prabu Siliwangi di hadapan keturunan Kerajaan Sunda Pajajaran. Saya sendiri sempat kikuk karena seharusnya saya yang belajar dari mereka, bukan saya yang harus menerangkan kepada mereka. Saya mengenal banyak dari mereka dan menjadi Koodinator Humas Yayasan Pamanah Rasa Nusantara yang diketuai Dr. H. Gunawan Undang, Drs., M.Si.. Saya pernah ikut Konferensi Internasional Budaya Sunda, ikut kegiatan-kegiatan diskusi kesundaan, ikut juga silaturahmi raja-raja se-Nusantara, dan lain sebagainya.
            Hal tersebut menunjukkan bahwa para keturunan kerajaan-kerajaan tersebut masih ada dan tetap melestarikan eksistensi keluarganya. Tidak perlu heran dan merasa aneh dengan kemunculan mereka karena dari dulu juga sudah ada.
            Hal yang membuat saya merasa aneh adalah kemunculan mereka saat ini ke khayalak ramai seakan-akan bersamaan. Dimulai dengan Keraton Agung Sejagat, Sunda Earth Empire, Kesultanan Selacau, dan mungkin yang lain akan menyusul. Saya memang mendengar dari beberapa kerajaan yang mengaku memiliki perjanjian sewa menyewa tanah kekuasaan, perjanjian bisnis keuangan, perjanjian pergiliran kekuasaan, pencairan dana hutang dari bank-bank di dunia, dan sebagainya yang berakhir pada angka tahun 2021. Oleh sebab itu, di antara mereka ada yang memiliki keyakinan bahwa harus ada pergantian dan kegoncangan dunia pada tahun-tahun itu dan sekarang adalah tahun 2020. Di samping itu, ada pula berbagai ramalan yang beredar di kalangan kerajaan-kerajaan itu bahwa akan ada kegoncangan kemanusiaan dan politik luar biasa, baik di dalam negeri Indonesia maupun di seluruh dunia yang akan memunculkan sosok pemimpin baru yang mengamankan dan menyejahterakan dunia. Hal ini ada dalam berbagai ramalan, seperti, “Uga Wangsit Siliwangi, Sabdo Palon, Darmogandhul,” dan “Ronggowarsito”. Saya mempelajarinya banyak-banyak. Bahkan, isi ramalannya mirip-mirip dengan isi kisah-kisah zaman akhir yang biasanya beredar di kalangan umat Islam dengan adanya kemunculan “Imam Mahdi” setelah sebelumnya dunia dilanda bencana-bencana alam besar dan kegoncangan kemanusiaan. Bahkan, kisah-kisah zaman akhir ini saya pelajari dari enam buku: 4 buku karya Muhammad Isa Dawud, 1 buku karya penulis Iran Jaber Bolushi, dan 1 buku karya Wisnu Sasongko.
            Bagi saya, kemunculan kerajaan-kerajaan itu jika untuk membentuk kerajaan baru di dalam NKRI adalah termasuk tindakan makar. Oleh sebab itu, sebaiknya, mereka berada dalam yayasan atau organisasi yang dibina pemerintah dengan kegiatan seperti “think tank”, ‘wadah tempat berpikir’, yang menjadi “sparing partner”, ‘kawan debat’ pemerintah Republik Indonesia dalam mengelola negara dan masyarakat. Mereka bisa tukar pikiran dengan pemerintah atau memberikan kritikan keras kepada pemerintah sesuai dengan pemikiran para keturunan raja-raja itu sehingga berperan besar dalam pembangunan Republik Indonesia. Hal itu lebih baik dibandingkan mendirikan kerajaan di dalam sebuah negara.
            Sampurasun.

No comments:

Post a Comment