Thursday, 23 January 2020

Situasi Sunda dalam Uga Wangsit Siliwangi


oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Akhir-akhir ini kita dikejutkan oleh munculnya kerajaan-kerajaan baru di Indonesia. Ada yang memang benar-benar baru, ada pula yang mengaku merupakan kelanjutan dari kerajaan lama. Hal yang menarik adalah berita-berita yang beredar semakin menjurus ke arah  kerajaan-kerajaan yang bersuku Sunda. Hal ini bisa dilihat dari keresahan keluarga kerajaan “Sumedang Larang” dan “Galuh”. Kedua kerajaan ini sah dan diakui, baik oleh masyarakat maupun pemerintah Republik Indonesia. Keduanya cukup kaget dengan kehadiran “Sunda Empire” di Bandung dan “Kesultanan Selacau” di Tasikmalaya, Jawa Barat. Kerajaan-kerajaan ini mencoba beradu data, fakta, latar belakang, sumber ajaran, wilayah, situs-situs, tradisi, dan pusaka peninggalan leluhur. Meskipun pertentangannya tidak keras, tetapi perbedaan-perbedaan itu nyata ada dan menimbulkan kesemrawutan sejarah. Hal ini akan sangat berpengaruh, terutama kepada masyarakat awam.

            Terkait hal itu, segera saja saya teringat pada “Uga Wangsit Siliwangi”. Uga itu biasa diartikan sebagai ramalan, prediksi, ataupun “berita masa depan”.

            Dalam Uga Wangsit Siliwangi pada alinea keenam, sudah dijelaskan akan adanya mereka yang melakukan pengacauan sejarah dan data tentang Pajajaran. Berita-berita akhir-akhir ini seolah-olah sedang terjadi kekacauan kronologis sejarah itu.

            Coba perhatikan bagian akhir dari alinea keenam dalam Uga Wangsit Siliwangi tersebut.

            Dalam bahasa Sunda:

            “….Ti mimiti poé ieu, Pajajaran leungit ti alam hirup. Leungit dayeuhna, leungit nagarana. Pajajaran moal ninggalkeun tapak, jaba ti ngaran pikeun nu mapay. Sabab bukti anu kari, bakal réa nu malungkir! Tapi engké jaga bakal aya nu nyoba-nyoba, supaya anu laleungit kapanggih deui. Nya bisa, ngan mapayna kudu maké amparan. Tapi anu marapayna loba nu arieu-aing pang pinterna. Mudu arédan heula.”

            Dalam bahasa Indonesia:

            “….Sejak hari ini, Pajajaran hilang dari alam nyata. Hilang kotanya, hilang negaranya. Pajajaran tidak akan meninggalkan jejak, kecuali nama untuk mereka yang menelusurinya. Hal itu disebabkan bukti yang ada akan diingkari banyak pihak! Akan tetapi, nanti, suatu saat, akan ada yang mencoba-coba supaya yang hilang dapat ditemukan kembali. Memang bisa, hanya menelusurinya harus menggunakan dasar-dasar yang jelas. Namun, mereka yang menelusurinya banyak yang petantang-petenteng merasa diri paling pintar dan paling benar. Kalau berbicara, suka berlebihan. Mereka memang harus menjadi orang-orang brengsek dulu.”

            Begitulah yang tertulis dalam Uga Wangsit Siliwangi. Tak perlu heran dan aneh dengan banyaknya kisah yang sangat mungkin beradu dan bertolak belakang. Toh, dari ratusan tahun lalu sudah diprediksikan terjadi. Paling-paling kita cuma kesal dan merasa lucu.

            Meskipun demikian, suatu saat akan ada yang meluruskannya dengan benar. Dialah yang disebut-sebut sebagai “Budak Angon” yang dalam istilah Jawa disebut “Cah Angon”, ‘Anak Gembala’. Bukan hanya meluruskan sejarah, melainkan pula meluruskan kehidupan di Indonesia mencapai kejayaannya. Dalam berbagai ramalan dari Suku Jawa, Cah Angon ini disebut pula “Imam Mahdi” yang memiliki dua istana: satu di Mekah, satu di Pulau Jawa. Artinya, dia muslim yang mencintai Negara Indonesia.

            Sikapilah prediksi itu dengan tenang dan jangan terlalu terobsesi. Kalaulah memang itu harus terjadi dan sudah ada dalam rencana Allah swt, peristiwa itu bakal terjadi. Tidak perlu hidup bersandar pada ramalan. Kita hidup di alam nyata yang harus belajar, bekerja, berkarir, bersosialisasi, beribadat, dan berprestasi, baik di hadapan Allah swt maupun di hadapan manusia.

            Sampurasun.

No comments:

Post a Comment