Wednesday 1 January 2020

Banjir, Sisa Pilkada DKI


oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Banjir besar yang melanda DKI Jakarta kali ini yang mulai terasa subuh, 1 Januari 2020, disebut-sebut sebagai banjir terbesar sejak tiga belas tahun terakhir, sejak 2007. Banyak rumah terendam, kendaraan hanyut, bahkan memakan korban jiwa.

            Ketika banjir terjadi, segera saja orang mengingat mantan Gubernur DKI Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) yang getol sekali menangani banjir sekaligus diomelin dan dinyinyiri soal banjir. Orang-orang mulai membandingkan masa kepemimpinan Ahok dengan Anies Baswedan. Kemudian, perbedaan keduanya mulai jelas dilihat dari programnya, yaitu antara “normalisasi sungai” dan “naturalisasi sungai”.

            Normalisasi sungai secara sederhana diartikan sebagai membuat normal sungai dengan cara memperlebar sungai sebagaimana awalnya, melakukan betonisasi, dan meluruskan aliran sungai agar lancar ke laut.

            Adapun naturalisasi secara sederhana dipahami sebagai membuat sungai dikembalikan ke kondisi alamnya, tetap berkelok-kelok, di pinggir-pinggir sungai menjadi tempat hidup kehidupan, sungainya sendiri menjadi tempat yang sehat bagi kehidupan air seperti ikan-ikan.

            Normalisasi gencar dilakukan Ahok sehingga titik-titik banjir semakin kecil, berkurang, dan terus berkurang. Adapun naturalisasi adalah program Anies Baswedan yang menurut Ahli Tatakota Yayat Supriatna tidak dilakukan dengan optimal.

            Ketika terjadi banjir besar, orang menyalahkan Anies karena selama dua tahun Anies dianggap kurang melakukan sesuatu yang nyata untuk mengatasi banjir. Akan tetapi, Anies menjelaskan dengan kesan “mengkritik” pemerintah pusat yang belum selesai mengelola hulu sungai.

            Dari sini mulai terasa isu-isu sisa Pilkada DKI masih jadi peluru untuk saling menyerang. Padahal, Pilkada sudah lama usai. Sebaiknya, mulai bekerja dan introspeksi diri. Akui saja memang naturalisasi tidak seindah yang dibayangkan, selama dua tahun ini tidak jelas, karena tetap saja harus melakukan “relokasi” yang dalam bahasa kasarnya ‘penggusuran’. Sementara itu,  tim Anies Baswedan saat kampanye seolah-olah memusuhi kebijakan Ahok terkait penggusuran rumah warga. Akibatnya, warga percaya bahwa Anies tidak akan melakukan penggusuran. Padahal, kenyataannya, baik normalisasi maupun naturalisasi membutuhkan tindakan relokasi atau bahasa halusnya “pemindahan rumah warga”. Karena normalisasi dan naturalisasi tidak optimal selama dua tahun terakhir, banjir besar pun harus dialami warga.

            Sungguh, sekarang rakyat tidak perlu lagi retorika soal normalisasi, naturalisasi, ataupun pengelolaan hulu sungai. Hal yang sangat diperlukan sekarang adalah pemerintah bekerja sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya secara maksimal. Pemerintah DKI segera pilih mau normalisasi, naturalisasi, atau digabungkan, tetapi yang jelas dan sangat penting adalah segera dikerjakan dengan nyata. Pemerintah pusat, Provinsi Jawa Barat, dan Kabupaten Bogor lebih serius lagi soal pengelolaan di hulu dan tugas-tugasnya sendiri. Rakyat pun harus sama-sama bekerja dan rela jika memang harus pindah rumah untuk kebaikan bersama dan kejelasan soal masa depannya sendiri. Semua harus bergotong royong. Itulah yang diinginkan Pancasila.

            Demikian pula para ahli agama, tokoh masyarakat, akademisi, termasuk para netizen harus ikut mendorong kebersamaan, bukan malah manas-manasin situasi dan tetap memecah belah masyarakat.

            Pilkada DKI sudah usai, Bro, Lur, Beb, Bray. Jangan saling salahkan, introspeksi diri, perbaiki kinerja, berkorban bersama-sama, bahu-membahu. Itulah Pancasila.

            Pancasila itu kalau diperas menjadi Trisila. Trisila kalau diperas lagi menjadi Ekasila. Ekasila itulah yang disebut “Gotong Royong”.

            Begitu, Bro, Lur, Beb, Bray.

            Sampurasun.

No comments:

Post a Comment