oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Banjir besar yang melanda
DKI Jakarta kali ini yang mulai terasa subuh, 1 Januari 2020, disebut-sebut
sebagai banjir terbesar sejak tiga belas tahun terakhir, sejak 2007. Banyak
rumah terendam, kendaraan hanyut, bahkan memakan korban jiwa.
Ketika banjir terjadi, segera saja orang mengingat mantan
Gubernur DKI Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) yang getol sekali menangani banjir
sekaligus diomelin dan dinyinyiri soal banjir. Orang-orang mulai membandingkan
masa kepemimpinan Ahok dengan Anies Baswedan. Kemudian, perbedaan keduanya
mulai jelas dilihat dari programnya, yaitu antara “normalisasi sungai” dan “naturalisasi
sungai”.
Normalisasi sungai
secara sederhana diartikan sebagai membuat normal sungai dengan cara
memperlebar sungai sebagaimana awalnya, melakukan betonisasi, dan meluruskan
aliran sungai agar lancar ke laut.
Adapun naturalisasi secara sederhana dipahami sebagai
membuat sungai dikembalikan ke kondisi alamnya, tetap berkelok-kelok, di
pinggir-pinggir sungai menjadi tempat hidup kehidupan, sungainya sendiri
menjadi tempat yang sehat bagi kehidupan air seperti ikan-ikan.
Normalisasi gencar dilakukan Ahok sehingga titik-titik
banjir semakin kecil, berkurang, dan terus berkurang. Adapun naturalisasi
adalah program Anies Baswedan yang menurut Ahli Tatakota Yayat Supriatna tidak
dilakukan dengan optimal.
Ketika terjadi banjir besar, orang menyalahkan Anies
karena selama dua tahun Anies dianggap kurang melakukan sesuatu yang nyata
untuk mengatasi banjir. Akan tetapi, Anies menjelaskan dengan kesan “mengkritik”
pemerintah pusat yang belum selesai mengelola hulu sungai.
Dari sini mulai terasa isu-isu sisa Pilkada DKI masih
jadi peluru untuk saling menyerang. Padahal, Pilkada sudah lama usai. Sebaiknya,
mulai bekerja dan introspeksi diri. Akui saja memang naturalisasi tidak seindah
yang dibayangkan, selama dua tahun ini tidak jelas, karena tetap saja harus
melakukan “relokasi” yang dalam bahasa kasarnya ‘penggusuran’. Sementara itu, tim Anies Baswedan saat kampanye seolah-olah
memusuhi kebijakan Ahok terkait penggusuran rumah warga. Akibatnya, warga
percaya bahwa Anies tidak akan melakukan penggusuran. Padahal, kenyataannya,
baik normalisasi maupun naturalisasi membutuhkan tindakan relokasi atau bahasa
halusnya “pemindahan rumah warga”. Karena normalisasi dan naturalisasi tidak
optimal selama dua tahun terakhir, banjir besar pun harus dialami warga.
Sungguh, sekarang rakyat tidak perlu lagi retorika soal
normalisasi, naturalisasi, ataupun pengelolaan hulu sungai. Hal yang sangat
diperlukan sekarang adalah pemerintah bekerja sesuai dengan tugas dan tanggung
jawabnya secara maksimal. Pemerintah DKI segera pilih mau normalisasi,
naturalisasi, atau digabungkan, tetapi yang jelas dan sangat penting adalah segera
dikerjakan dengan nyata. Pemerintah pusat, Provinsi Jawa Barat, dan Kabupaten
Bogor lebih serius lagi soal pengelolaan di hulu dan tugas-tugasnya sendiri.
Rakyat pun harus sama-sama bekerja dan rela jika memang harus pindah rumah
untuk kebaikan bersama dan kejelasan soal masa depannya sendiri. Semua harus
bergotong royong. Itulah yang diinginkan Pancasila.
Demikian pula para ahli agama, tokoh masyarakat,
akademisi, termasuk para netizen harus ikut mendorong kebersamaan, bukan malah
manas-manasin situasi dan tetap memecah belah masyarakat.
Pilkada DKI sudah usai, Bro, Lur, Beb, Bray. Jangan
saling salahkan, introspeksi diri, perbaiki kinerja, berkorban bersama-sama,
bahu-membahu. Itulah Pancasila.
Pancasila itu kalau diperas menjadi Trisila. Trisila
kalau diperas lagi menjadi Ekasila. Ekasila itulah yang disebut “Gotong Royong”.
Begitu, Bro, Lur, Beb, Bray.
Sampurasun.
No comments:
Post a Comment