oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Dengan semakin banyaknya
berita tentang peristiwa dunia yang bisa diakses oleh setiap orang dengan
menggunakan “smartphone”
masing-masing, kita harus semakin sadar bahwa diri kita adalah warga
dunia. Dengan kesadaran itu, kita pun
harus semakin mempersiapkan diri sebagai warga dunia. Jika telat menghadapi
situasi dunia, kita bisa tenggelam dan terlindas zaman atau tertipu oleh
keadaan.
Politik luar negeri Indonesia adalah “bebas aktif”. Bebas tidak dikendalikan dan tidak ditekan oleh
negara mana pun dan aktif dalam perdamaian dunia. Indonesia hari ini relatif “right on the track”, ‘berada pada jalan
yang benar’, dalam hal hubungan internasional. Kita harus mengakui bahwa
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memulai cara pergaulan internasional
yang sangat baik, yaitu “thousand friends
and zero enemy”, ‘ribuan teman dan nol musuh’. Indonesia diarahkan untuk
tidak memiliki musuh di dunia ini. Semua negara diupayakan untuk menjadi sahabat.
Hal ini mirip dengan peribahasa dalam bahasa Sunda, yaitu
“balad sarebu kurang keneh, musuh saurang
geus loba teuing”, ‘punya teman seribu masih kurang, punya musuh satu sudah
terlalu banyak’. Maksudnya, kita harus menjaring banyak teman dan tidak
memiliki musuh seorang pun. Kalaupun ingin punya musuh, bermusuhanlah dengan iblis laknatullah dan syetan yang terkutuk.
Meskipun demikian,
saya pernah mewanti-wanti SBY bahwa konsep “ribuan teman dan nol musuh” itu
harus dilaksanakan dengan sangat hati-hati karena “mereka bukan kita”. Jangan
menganggap mereka sama dengan kita. Jangan menyamaratakan bahwa kebiasaan atau
konsep “berteman” yang tumbuh dalam keseharian kita dengan konsep berteman
dalam pergaulan antarbangsa. Berteman dalam kehidupan kita, biasanya tulus
hingga masuk dalam hati. Berbeda dengan berteman dalam hubungan negara. Hal itu
disebabkan dalam teori hubungan internasional setiap negara melakukan hubungan
internasional dasarnya adalah kepentingannya sendiri. Kalau kita menolong teman,
biasanya tulus karena pertemanan itu sendiri. Kalau dalam dunia internasional,
pasti “ada maunya”. Setiap negara yang bersedia berteman dengan Indonesia
selalu memiliki “maksud tertentu” yang ingin diincarnya untuk kepentingan
negaranya sendiri. Jadi, berteman dengan negara lain itu pun harus diukur
dengan kepentingan negara kita. Di samping itu, sikap kita terhadap negara lain
harus bergantung sejauh mana mereka bersikap kepada kita. Jika mereka baik,
kita pun harus baik. Jika mereka mulai berulah dan menyusahkan, kita pun harus
menjaga jarak sesuai sikap mereka.
Dengan bersikap baik terhadap setiap negara dan
mengusahakan agar nol musuh, kita tetap bisa bersikap teguh dan kokoh, tidak
terseret-seret kepentingan negara lain. Misalnya, ketika Amerika Serikat dan
Iran berperang, kita tetap harus bersahabat dengan mereka dan aktif memberikan
saran agar konflik tidak berlanjut, bahkan terjadi perdamaian yang lebih baik.
Kita tidak perlu pro-AS ataupun pro-Iran. Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi
sudah sangat baik ketika perang AS-Iran dimulai, mendatangi Kedubes kedua
negara tersebut dan menyatakan keprihatinannya di samping mengungkapkan efek
perang mereka terhadap Indonesia.
Demikian pula jika terjadi perseteruan di negara-negara
yang lain, Indonesia harus tetap kukuh menjaga kepentingannya dan selalu
menyuarakan perdamaian. Ribuan teman dan nol musuh sangat bermanfaat bagi
Indonesia untuk tetap berada di tengah, bahkan menjadi contoh bagi dunia bahwa
hidup ini tidak melulu soal kuasa-menguasai atau perang-memerangi, melainkan
bisa dibina dengan persaudaraan dan persahabatan.
Sampurasun.
No comments:
Post a Comment