Thursday, 16 January 2020

Berbaik-Baik dalam Pergaulan Dunia


oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Dengan semakin banyaknya berita tentang peristiwa dunia yang bisa diakses oleh setiap orang dengan menggunakan “smartphone” masing-masing, kita harus semakin sadar bahwa diri kita adalah warga dunia.  Dengan kesadaran itu, kita pun harus semakin mempersiapkan diri sebagai warga dunia. Jika telat menghadapi situasi dunia, kita bisa tenggelam dan terlindas zaman atau tertipu oleh keadaan.

            Politik luar negeri Indonesia adalah “bebas aktif”. Bebas tidak dikendalikan dan tidak ditekan oleh negara mana pun dan aktif dalam perdamaian dunia. Indonesia hari ini relatif “right on the track”, ‘berada pada jalan yang benar’, dalam hal hubungan internasional. Kita harus mengakui bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memulai cara pergaulan internasional yang sangat baik, yaitu “thousand friends and zero enemy”, ‘ribuan teman dan nol musuh’. Indonesia diarahkan untuk tidak memiliki musuh di dunia ini. Semua negara diupayakan untuk menjadi sahabat.

            Hal ini mirip dengan peribahasa dalam bahasa Sunda, yaitu “balad sarebu kurang keneh, musuh saurang geus loba teuing”, ‘punya teman seribu masih kurang, punya musuh satu sudah terlalu banyak’. Maksudnya, kita harus menjaring banyak teman dan tidak memiliki musuh seorang pun. Kalaupun ingin punya musuh, bermusuhanlah dengan iblis laknatullah dan syetan yang terkutuk.

            Meskipun demikian, saya pernah mewanti-wanti SBY bahwa konsep “ribuan teman dan nol musuh” itu harus dilaksanakan dengan sangat hati-hati karena “mereka bukan kita”. Jangan menganggap mereka sama dengan kita. Jangan menyamaratakan bahwa kebiasaan atau konsep “berteman” yang tumbuh dalam keseharian kita dengan konsep berteman dalam pergaulan antarbangsa. Berteman dalam kehidupan kita, biasanya tulus hingga masuk dalam hati. Berbeda dengan berteman dalam hubungan negara. Hal itu disebabkan dalam teori hubungan internasional setiap negara melakukan hubungan internasional dasarnya adalah kepentingannya sendiri. Kalau kita menolong teman, biasanya tulus karena pertemanan itu sendiri. Kalau dalam dunia internasional, pasti “ada maunya”. Setiap negara yang bersedia berteman dengan Indonesia selalu memiliki “maksud tertentu” yang ingin diincarnya untuk kepentingan negaranya sendiri. Jadi, berteman dengan negara lain itu pun harus diukur dengan kepentingan negara kita. Di samping itu, sikap kita terhadap negara lain harus bergantung sejauh mana mereka bersikap kepada kita. Jika mereka baik, kita pun harus baik. Jika mereka mulai berulah dan menyusahkan, kita pun harus menjaga jarak sesuai sikap mereka.

            Dengan bersikap baik terhadap setiap negara dan mengusahakan agar nol musuh, kita tetap bisa bersikap teguh dan kokoh, tidak terseret-seret kepentingan negara lain. Misalnya, ketika Amerika Serikat dan Iran berperang, kita tetap harus bersahabat dengan mereka dan aktif memberikan saran agar konflik tidak berlanjut, bahkan terjadi perdamaian yang lebih baik. Kita tidak perlu pro-AS ataupun pro-Iran. Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi sudah sangat baik ketika perang AS-Iran dimulai, mendatangi Kedubes kedua negara tersebut dan menyatakan keprihatinannya di samping mengungkapkan efek perang mereka terhadap Indonesia.

            Demikian pula jika terjadi perseteruan di negara-negara yang lain, Indonesia harus tetap kukuh menjaga kepentingannya dan selalu menyuarakan perdamaian. Ribuan teman dan nol musuh sangat bermanfaat bagi Indonesia untuk tetap berada di tengah, bahkan menjadi contoh bagi dunia bahwa hidup ini tidak melulu soal kuasa-menguasai atau perang-memerangi, melainkan bisa dibina dengan persaudaraan dan persahabatan.

            Sampurasun.

No comments:

Post a Comment