oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Dengan melihat kenyataan
bahwa aktivitas nelayan Indonesia di Laut Natuna Utara sangat kurang, sudah
seharusnya perebutan lahan atau penangkapan ikan di antara nelayan Indonesia
sendiri dihentikan. Meskipun ada pernyataan dari anggota DPR RI Meutya Hafidz
bahwa nelayan Indonesia di Laut Natuna Utara sangat ramai, kenyataannya laporan
Bakamla dan TNI AL menunjukkan sebaliknya bahwa tak ada satu pun nelayan
Indonesia yang melakukan aktivitas. Hal itu dilaporkannya ketika melakukan
pengusiran pada coast guard dari
Cina. Malahan, yang ramai itu adalah nelayan-nelayan Cina yang sedang melakukan
pencurian ikan.
Sepinya nelayan Indonesia di Laut Natuna Utara bisa
disebabkan beberapa hal, misalnya, takut karena diusir coast guard Cina, ukuran
kapalnya terlalu kecil, atau memang jumlah nelayannya kurang. Di samping itu,
ada pula nelayan-nelayan Natuna yang merasa “tersaingi” oleh nelayan-nelayan
dari Pulau Jawa. Hal itu pernah disampaikan nelayan-nelayan Natuna ketika Susi
Pudjiastuti masih menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan RI. Mungkin hal itu
yang menyebabkan kurangnya nelayan Indonesia beraktivitas di Laut Natuna Utara.
Sebaiknya, jangan dulu ada perebutan di antara nelayan di
Indonesia. Biarkan dulu saja nelayan Indonesia bisa menangkap ikan di mana saja
di seluruh Indonesia. Yang penting laut Indonesia ramai oleh aktivitas nelayan
dalam jumlah banyak. Di samping itu pun, ukuran kapalnya harus semakin besar
karena tampaknya yang merasa tersaingi itu adalah mereka yang kapalnya kecil
dan hanya berebut ikan di batas empat mil laut. Jika kapalnya besar-besar,
dapat melakukan penangkapan ikan di laut yang lebih jauh lagi. Wajar jika
perebutan di antara nelayan Indonesia terjadi di batas laut empat mil karena
kapalnya kecil-kecil dan ikan-ikannya juga terus berkurang.
Pengurangan ikan-ikan di wilayah empat mil laut ini
pernah dikhawatirkan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Barat
ketika saya mewawancarainya beberapa tahun lalu tentang kesiapan pembangunan
pelabuhan di Jabar Selatan, khususnya Garut Selatan. Seharusnya,
nelayan-nelayan Indonesia menggunakan kapal yang lebih besar dan melakukan
penangkapan lebih jauh lagi. Biarkan ikan-ikan yang hidup di bawah empat mil
berkembang dan tambah banyak dulu untuk kemudian dipanen pada waktu yang lain.
Hal yang juga agak menggelikan adalah saya mendengar
bahwa karena ada otonomi daerah, nelayan itu harus memiliki KTP daerah setempat
untuk bisa memancing di daerahnya. Jika KTP mereka menunjukkan berasal dari
daerah lain, dilarang menangkap ikan. Seharusnya, biarkan dulu laut kita ramai
oleh nelayan kita dari mana saja dan biarkan para nelayan itu berkembang
bisnisnya sehingga memiliki peralatan, perlengkapan, dan kapal yang lebih besar
lagi untuk berada di batas-batas terluar laut Indonesia.
Tambahan pula, berdasarkan informasi dari Dinas Kelautan
dan Perikanan Provinsi Jawa Barat pada tahun-tahun lalu, gaya hidup nelayan kita
itu harus diubah. Mereka tidak terbiasa menabung untuk masa depan keluarga dan
anak-anak mereka. Biasanya, jika sudah punya uang hasil dari menangkap ikan,
mereka cenderung boros. Padahal, jika lebih berhati-hati, bisa ditabung untuk
sekolah, kuliah, atau keperluan lain pada masa depan. Mereka cenderung boros karena
dalam pikirannya uang bisa didapat lagi besok jika pergi melaut lagi. Memang perlu
penataran, pelatihan, atau pencerahan untuk hal itu.
Untuk dapat menggairahkan aktivitas nelayan sekaligus
mengamankan laut Indonesia, jangan dulu ada persaingan di antara nelayan
Indonesia, kapalnya menggunakan ukuran yang lebih besar, jangan boros, dan
membuat tertarik generasi muda untuk berperan serta memanfaatkan laut
Indonesia.
Sampurasun.
No comments:
Post a Comment