oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Gubernur DKI Anies Baswedan
dituntut oleh rakyatnya sendiri, warga Jakarta yang merasa dirugikan akibat
banjir yang terjadi, melalui upaya hukum “class
action”. Upaya ini berisi permintaan tanggung jawab Anies Baswedan berupa
ganti rugi atas harta benda yang rusak, hilang, atau hancur akibat banjir.
Entah berapa triliun yang diminta rakyat ini, sesuai dengan jumlah orang yang
ikut menuntut dan harta benda yang juga menjadi korban banjir. Entah berapa orang yang mengajukan class action ini, apakah semuanya atau
hanya sebagian. Tuntutan mereka ditampung oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH).
Tampaknya, upaya hukum ini akan terus berlanjut ke
pengadilan. Hal itu bisa dilihat dari pernyataan pengacara terkenal Hotman
Paris yang juga mendorong LBH untuk segera melakukan tuntutan karena melihat
bahwa unsur-unsur untuk melakukannya sudah tepat. Di samping itu, Pemda DKI
Jakarta pun sudah mempersiapkan diri untuk menghadapinya melalui bagian
hukumnya.
Sebetulnya, bencana banjir ini hal yang sangat utama
adalah disebabkan hujan besar yang ekstrem dan bukan hanya terjadi di Jakarta,
melainkan pula di daerah-daerah lain, seperti, Banten, Jawa Barat, bahkan
beberapa pulau lainnya di Indonesia. Orang tahu itu. Akan tetapi, di
wilayah-wilayah lain tidak tampak kemarahan luar biasa terhadap kepala
daerahnya, mau gubernur, bupati, ataupun walikota. Berbeda dengan Jakarta yang
mendapat perhatian yang luar biasa dengan kemarahan dan tudingan luar biasa
pula terhadap gubernurnya.
Saya melihatnya kekesalan masyarakat ini bukan karena
banjirnya, melainkan disebabkan sikap Anies Baswedan yang dianggap kurang
koordinasi dengan pemerintah pusat serta provinsi dan daerah di seputar DKI.
Bahkan, Anies terkesan menyalahkan pemerintah pusat dan Provinsi Jawa Barat
tentang pembangunan hulu yang berada di Jawa Barat. Padahal, orang tahu bahwa
Anies sejak 2017 menghentikan program normalisasi. Sementara itu, programnya
sendiri yang disebut naturalisasi tidak jelas apa, bagaimana, dan apakah sudah
dilaksanakan. Pendek kata, masyarakat banyak yang menilai bahwa Anies tidak
memprioritaskan penanganan banjir ini, padahal Jakarta adalah langganan banjir.
Berbeda dengan Ridwan Kamil yang segera berkoordinasi dengan
bupati dan walikota di bawahnya sehingga mencapai satu kesepakatan, satu suara.
Di samping itu pun, Ridwan Kamil segera berkoordinasi dengan pemerintah pusat.
Masyarakat pun menganggap banjir dan longsor sebagai bencana dan bukan akibat
kesalahan gubernur. Demikian pula dengan provinsi-provinsi lain.
Anies Baswedan sudah benar awalnya yang mengatakan untuk
tidak saling menyalahkan. Akan tetapi, pernyataan-pernyataan selanjutnya tampak
membela diri dan bukannya mengefektifkan koordinasi dengan provinsi terdekat
dan pemerintah pusat. Sebaiknya, Anies segera menjelaskan kesulitan-kesulitan
kelanjutan normalisasi ataupun naturalisasi dengan menegaskan bahwa penanganan
sungai di Jakarta akan segera dilanjutkan, baik normalisasi maupun
naturalisasi.
Koordinasi sangat diperlukan, kesepahaman sangat
dinantikan. Jika terus-terusan tegang, perselisihan tidak akan berhenti dan
yang rugi adalah masyarakat Jakarta serta kredibilitas Anies sendiri. Gotong
royong adalah lebih baik dibandingkan tegang saling menyalahkan.
Sampurasun.
No comments:
Post a Comment