oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Sebetulnya, dari dulu hingga
hari ini banyak orang yang mengaku keturunan raja, ratu, atau sultan dari sebuah kerajaan tertentu. Mereka biasanya
menunjukkan barang, sertifikat, atau pusaka untuk memperkuat pengakuan mereka.
Di samping itu, tentu saja memiliki ribuan kisah tentang leluhurnya yang
diklaim sebagai sejarah dan kebenaran. Kita memang sering salah bersikap
terhadap mereka karena tidak memiliki pengetahuan yang lengkap tentang mereka.
Mau percaya, takut bohong. Kalau tidak percaya, ternyata memang benar.
Untuk membuktikan kebenarannya, dari dulu hingga sekarang
susahnya bukan main. Ketika masih zaman kolonial Belanda saja, untuk menjelaskan
Prabu Siliwangi dan keturunannya, sangat sulit. Tak kurang dari Pangeran
Wangsakerta yang berasal dari Kesultanan Cirebon pernah menelusurinya. Hasilnya, tetap tidak jelas. Hingga kini masyarakat
tetap terbagi tiga golongan dalam memandang Prabu Siliwangi. Pertama, golongan yang menganggap bahwa
Prabu Siliwangi adalah tokoh nyata dan memang pernah hidup dalam mengayomi
manusia. Kedua, golongan yang
menganggap bahwa Prabu Siliwangi adalah tokoh sastra hasil karya para juru
pantun atau juru dongeng. Ketiga, golongan
yang memandang Prabu Siliwangi adalah tokoh mitos, dianggap ada, padahal tidak
pernah ada. Saya sendiri berpendapat bahwa Prabu Siliwangi adalah tokoh nyata
dan pernah hidup memberikan banyak ajaran serta mengelola kerajaan dengan
sangat baik, nyaris tanpa cela.
Dari penelurusan Pangeran Wangsakerta, ada kenyataan yang
sangat menarik bahwa banyak orang yang mengaku dirinya keturunan Prabu
Siliwangi hanyalah untuk mendapatkan keuntungan duniawi. Mereka hanya ingin
dihormati dan dipatuhi rakyat serta diberi berbagai fasilitas oleh Belanda yang
saat itu berkuasa.
Saat ini pun untuk menelusuri kebenaran mereka yang
mengaku-aku keturunan para raja, cukup sulit. Bahkan, banyak yang ternyata
dusta, bohong. Hal ini pernah ditelusuri oleh Prof. Dr. Nina Lubis, Guru Besar
Universitas Padjadjaran, perempuan pertama Indonesia yang mendapat gelar
profesor untuk bidang ilmu sejarah. Nina Lubis pula yang bersedia menolong saya
untuk menjadi pembicara dalam launching buku
yang saya susun, “Gubernur Jawa Barat
dari Masa ke Masa” di Hotel Horizon, Bandung.
Bersama Prof. Dr. Nina Lubis saat acara silaturahmi raja-raja se-Nusantara di Gedung Merdeka, Bandung |
Menurut Nina Lubis, ketika melakukan penelusuran, ternyata banyak yang hanya mengaku-aku. Dalam kenyataannya, mereka bukan keturunan raja, melainkan anak-anak dari pegawai demang, pegawai kelurahan, pembantu istana, dan lain sebagainya. Mereka hanya membawa satu atau dua pusaka yang diklaim sebagai peninggalan kerajaan. Motivasi mereka mengaku-aku sebagai keturunan kerajaan tertentu itu beragam, bisa ingn dihormati, ingin mendapatkan kekuasaan, atau ingin fasilitas lebih dibandingkan orang lain.
Pada masa sekarang ini ketika para raja sudah tidak lagi
memiliki kekuatan politik—kecuali di Yogyakarta—sebaiknya bersama masyarakat
untuk sering berdiskusi dan memberikan masukan, baik pada masyarakat maupun
pada pemerintah agar tetap menjaga jati diri sebagai bangsa Indonesia sesuai
dengan nilai-nilai Indonesia serta bersama-sama berbuat agar negara berjalan
pada jalurnya yang benar. Soal kedudukan politik, baik keturunan raja maupun
rakyat biasa, memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkannya. Dalam sistem
demokrasi ini, baik keturunan raja maupun rakyat biasa, bisa memiliki kedudukan
dan kekuasaan politik, asal mendapatkan kepercayaan dari masyarakat melalui
proses pemilihan umum (Pemilu).
Sampurasun.
No comments:
Post a Comment