Wednesday, 22 January 2020

Mengaku Keturunan Raja


oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Sebetulnya, dari dulu hingga hari ini banyak orang yang mengaku keturunan raja, ratu, atau sultan  dari sebuah kerajaan tertentu. Mereka biasanya menunjukkan barang, sertifikat, atau pusaka untuk memperkuat pengakuan mereka. Di samping itu, tentu saja memiliki ribuan kisah tentang leluhurnya yang diklaim sebagai sejarah dan kebenaran. Kita memang sering salah bersikap terhadap mereka karena tidak memiliki pengetahuan yang lengkap tentang mereka. Mau percaya, takut bohong. Kalau tidak percaya, ternyata memang benar.

            Untuk membuktikan kebenarannya, dari dulu hingga sekarang susahnya bukan main. Ketika masih zaman kolonial Belanda saja, untuk menjelaskan Prabu Siliwangi dan keturunannya, sangat sulit. Tak kurang dari Pangeran Wangsakerta yang berasal dari Kesultanan Cirebon pernah menelusurinya.  Hasilnya, tetap tidak jelas. Hingga kini masyarakat tetap terbagi tiga golongan dalam memandang Prabu Siliwangi. Pertama, golongan yang menganggap bahwa Prabu Siliwangi adalah tokoh nyata dan memang pernah hidup dalam mengayomi manusia. Kedua, golongan yang menganggap bahwa Prabu Siliwangi adalah tokoh sastra hasil karya para juru pantun atau juru dongeng. Ketiga, golongan yang memandang Prabu Siliwangi adalah tokoh mitos, dianggap ada, padahal tidak pernah ada. Saya sendiri berpendapat bahwa Prabu Siliwangi adalah tokoh nyata dan pernah hidup memberikan banyak ajaran serta mengelola kerajaan dengan sangat baik, nyaris tanpa cela.

            Dari penelurusan Pangeran Wangsakerta, ada kenyataan yang sangat menarik bahwa banyak orang yang mengaku dirinya keturunan Prabu Siliwangi hanyalah untuk mendapatkan keuntungan duniawi. Mereka hanya ingin dihormati dan dipatuhi rakyat serta diberi berbagai fasilitas oleh Belanda yang saat itu berkuasa.

            Saat ini pun untuk menelusuri kebenaran mereka yang mengaku-aku keturunan para raja, cukup sulit. Bahkan, banyak yang ternyata dusta, bohong. Hal ini pernah ditelusuri oleh Prof. Dr. Nina Lubis, Guru Besar Universitas Padjadjaran, perempuan pertama Indonesia yang mendapat gelar profesor untuk bidang ilmu sejarah. Nina Lubis pula yang bersedia menolong saya untuk menjadi pembicara dalam launching buku yang saya susun, “Gubernur Jawa Barat dari Masa ke Masa” di Hotel Horizon, Bandung.


Bersama Prof. Dr. Nina Lubis saat acara silaturahmi raja-raja se-Nusantara di Gedung Merdeka, Bandung

            Menurut Nina Lubis, ketika melakukan penelusuran, ternyata banyak yang hanya mengaku-aku. Dalam kenyataannya, mereka bukan keturunan raja, melainkan anak-anak dari pegawai demang, pegawai kelurahan, pembantu istana, dan lain sebagainya. Mereka hanya membawa satu atau dua pusaka yang diklaim sebagai peninggalan kerajaan. Motivasi mereka mengaku-aku sebagai keturunan kerajaan tertentu itu beragam, bisa ingn dihormati, ingin mendapatkan kekuasaan, atau ingin fasilitas lebih dibandingkan orang lain.


            Pada masa sekarang ini ketika para raja sudah tidak lagi memiliki kekuatan politik—kecuali di Yogyakarta—sebaiknya bersama masyarakat untuk sering berdiskusi dan memberikan masukan, baik pada masyarakat maupun pada pemerintah agar tetap menjaga jati diri sebagai bangsa Indonesia sesuai dengan nilai-nilai Indonesia serta bersama-sama berbuat agar negara berjalan pada jalurnya yang benar. Soal kedudukan politik, baik keturunan raja maupun rakyat biasa, memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkannya. Dalam sistem demokrasi ini, baik keturunan raja maupun rakyat biasa, bisa memiliki kedudukan dan kekuasaan politik, asal mendapatkan kepercayaan dari masyarakat melalui proses pemilihan umum (Pemilu).

            Sampurasun.

No comments:

Post a Comment