oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Benar kita harus mengormati
sistem dan hukum positif. Sesalah apa pun hakim membuat keputusan, sebrengsek
apa pun hakim menjatuhkan vonis, sebodoh apa pun sekumpulan hakim, setolol apa
pun sebuah vonis, kita tetap harus menghormatinya. Hal itu disebabkan hakim
merupakan bagian dari sistem yang harus dihormati agar sistem negara tetap
tegak dan tidak berubah menjadi anarkis. Akan tetapi, rasa hormat itu hanya
sebatas terhadap sistem, tidak ada rasa hormat dalam ilmu pengetahuan. Dalam
ilmu pengetahuan yang ada hanya benar dan salah. Tidak ada hubungan dengan
harga diri, toleransi, dan rasa hormat. Benar harus dikatakan benar. Salah
harus dikatakan salah. Tidak ada rasa keadilan dalam ilmu pengetahuan.
Contohnya, kita tidak boleh ragu mengatakan bahwa Bumi itu bulat dan harus
berani menyalahkan orang lain yang mengatakan Bumi itu datar. Siapa pun yang
mengatakan Bumi itu datar, dia adalah orang bodoh dan kita harus mengatakannya
sebagai kesalahan. Mau itu ulama, presiden, mertua, orangtua kandung, pendeta,
biksu, rahib, siapa pun yang mengatakan bahwa Bumi itu datar adalah salah. Di
samping itu, siapa pun yang mempertahankan mati-matian pendapat bahwa Bumi itu
datar adalah sekumpulan manusia bodoh, tolol, dan goblok.
Meskipun demikian, jika terjadi silang sengketa kasus
hukum tentang bentuk Bumi dan prosesnya masuk sidang pengadilan, semua harus
menghormatinya meskipun hakim memutuskan bahwa orang yang mengatakan bahwa
bentuk Bumi bulat adalah orang yang melakukan penodaan pada kitab astronomi dan
melakukan penghinaan kepada orang-orang yang berpendapat Bumi itu datar.
Keputusan tolol hakim itu harus dihormati karena itu merupakan bagian dari
sistem yang harus disepakati. Akan tetapi, tidak ada rasa hormat dalam ilmu
pengetahuan. Ilmu pengetahuan bergerak sendiri membuktikan kebenarannya dan
tidak bisa dibendung maupun dibatasi. Keputusan hakim memang harus dihormati,
tetapi secara ilmu, keputusan itu harus disalahkan karena memang salah. Semua
tahu bahwa Bumi itu bulat dan tidak datar.
Begitulah seharusnya kita menyikapi vonis hakim terhadap
Ahok yang telah menyatakan bahwa Ahok melakukan penodaan terhadap agama. Bagaimana
pun kita menganggap salah vonis hakim, kita tetap harus menghormatinya. Akan
tetapi, kita tidak bisa menghormatinya secara ilmu pengetahuan. Hal itu
disebabkan secara ilmu, Ahok tidaklah salah karena pendapat yang mengatakan
bahwa QS Al Maidah : 51 adalah ayat larangan untuk memilih pemimpin beragama
Kristen dalam sistem politik demokrasi sebetulnya pendapat yang salah. Ayat itu
sama sekali tidak berhubungan dengan pemilihan pemimpin dalam sistem politik
demokrasi. Ayat itu adalah larangan bagi kaum muslimin untuk berlindung dan
patuh kepada Yahudi dan Kristen jika terjadi perang yang melibatkan Yahudi dan
Kristen sebagai pengkhianat perjanjian damai dengan kaum muslimin. Beberapa
tulisan di blog ini juga sudah menerangkannya dan tidak ada yang berani
membantah secara ilmu. Semua pengecut untuk berdebat soal itu.
Penggunaan QS Al Maidah : 51 itu terasa sebagai
akal-akalan untuk menjatuhkan Ahok dan itu adalah tindakan pengecut yang aneh karena
ternyata banyak pos-pos kepemimpinan di Indonesia ini yang dipegang oleh
orang-orang Kristen, tetapi tidak pernah dipermasalahkan. Ada banyak ratusan
kepemimpinan orang Kristen dalam mengelola masyarakat muslim yang tidak pernah dipermasalahkan,
tetapi ketika urusan Ahok dan posisi Gubernur DKI Jakarta, ayat itu pun
digunakan, termasuk dalam menjerumuskan Ahok ke dalam penjara.
Ahok hanyalah salah seorang warga Negara Indonesia. Jika
pemahaman QS Al Maidah : 51 tetap dalam keadaan salah, kasus-kasus seperti ini
memiliki potensi kemungkinan terjadi berulang-ulang dan kita jatuh dalam kerumitan
yang sama berulang-ulang pula. Itulah yang dimaksudkan Pemimpin Besar Revolusi
Indonesia Soekarno sebagai umat Islam tetap tertinggal
seribu tahun lamanya. Pemahaman QS Al Maidah : 51 harus diluruskan karena
pasti ada pemahaman yang salah. Tidak mungkin pemahaman yang bertolak belakang
itu benar semuanya, harus ada satu yang benar dan tepat, pemahaman yang lain
pasti salah. Tidak perlu ada alasan lagi “demi persatuan dan ketenangan”
sehingga tidak memperbaiki pemahaman-pemahaman yang keliru. Semuanya harus
diluruskan. Caranya, perdebatkan ayat itu secara ilmu hingga lelah dan letih dengan
menggunakan metode ilmiah, hasilnya kita pegang bersama.
Sayangnya, saya yakin bahwa BANYAK ORANG TERBELAKANG YANG
GEMAR HADITS-HADITS PALSU PASTI PENGECUT UNTUK BERDEBAT KARENA MEREKA MEMANG
MANUSIA TERBELAKANG.
Sampurasun.
No comments:
Post a Comment