oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Perilaku mengkultuskan
seseorang, mengeramatkan seseorang adalah permasalahan umat Islam sejak dahulu
sampai hari ini. Kita masih sering melihat bahwa banyak orang yang “dianggap
selalu benar”, selalu baik, selalu harus dipatuhi sehingga terlarang untuk
dikritik, terlarang untuk dikoreksi, tidak boleh berdebat dengan orang itu,
bahkan diskusi pun tidak boleh. Pokoknya orang itu selalu benar dalam keadaan
suci.
Celakanya, orang-orang yang dikultuskan dan dikeramatkan
ini banyak yang sudah meninggal puluhan tahun lalu atau bahkan ratusan tahun
lalu. Padahal, dunia sudah berubah dan pengetahuan berkembang dengan pesatnya.
Di samping itu, pengeramatan kepada seseorang ini dilestarikan hingga hari ini
oleh generasi-generasi berikutnya. Jadi, tetap saja ada orang yang keramatkan
dan ada orang yang mengeramatkannya. Padahal, kita semua adalah manusia yang
tidak pernah lepas dari salah, khilaf, dan lupa. Oleh sebab itu, Allah swt di
dalam Al Quran mengharuskan kita untuk saling
mengingatkan, saling menasihati, saling mengkritik agar jiwa kita menjadi teguh dan jalan hidup kita tetap dalam
kebenaran.
Kultus terhadap individu inilah yang membuat kita menjadi
kacau balau. Setiap titah dan pendapat orang yang dikultuskan itu adalah
kebenaran dan harus dipatuhi tanpa boleh didiskusikan. Bahaya sekali sikap
seperti itu jika ada di dalam lingkungan sosial. Kalau di dunia militer,
boleh-boleh saja, apalagi jika dalam situasi perang. Komandan atau jenderal terkadang
memberikan perintah untuk dilaksanakan tanpa dipahami maksudnya oleh para
prajurit, tetapi sudah menjadi kewajiban prajurit untuk melaksanakannya.
Prajurit tidak boleh membantah karena pemimpinnya memiliki pandangan lebih luas
dan rencana lebih matang untuk segera dilaksanakan secara instan. Akan tetapi,
dalam kehidupan sehari-hari untuk menyelesaikan masalah dan menempuh jalan
hidup yang lebih baik, semua orang boleh berpendapat untuk mendapatkan
kebaikan. Pendapat terbaiklah yang seharusnya dijadikan rujukan, bukan sosok
atau individu yang dijadikan dasar perilaku.
Pengeramatan kepada individu inilah yang dikritik keras
oleh Pemimpin Besar Revolusi Indonesia Soekarno, “Walaupun Islam zaman sekarang menghadapi soal-soal yang beribu-ribu
kali lebih besar dan lebih sulit daripada soal ‘sayid’, toh menurut keyakinan
saya, salah satu kecelaan Islam zaman sekarang ini ialah pengeramatan manusia
yang menghampiri kemusyrikan itu. Alasan-alasan kaum ‘sayid’, misalnya mereka
punya brosur Bukti Kebenaran, saya sudah
baca, tetapi tak bisa meyakinkan saya. Tersesatlah orang yang mengira bahwa
Islam mengenal suatu ‘aristokrasi Islam’. Pengeramatan manusia adalah salah
satu sebab yang mematahkan jiwa suatu agama dan umat karena pengeramatan
manusia itu melanggar tauhid.
Kalau tauhid rapuh, datanglah
bencana!”
Kita ini manusia.
Memang kita harus menghormati orang yang lebih tua, pemimpin suatu organisasi,
orang yang dianggap bijak, para sepuh yang sudah banyak makan garam kehidupan,
nasihat-nasihat bijak orang-orang mulia, tetapi jika mereka dikeramatkan dan
selalu dianggap suci, sangat berbahaya. Itu adalah salah satu pintu masuk
syetan untuk menyesatkan manusia, baik bagi orang yang dikeramatkan maupun
orang yang mengeramatkannya. Kehidupan bisa terseok-seok tersesat dalam
kegelisahan dan kebingungan karena akan muncul pendapat-pendapat yang berasal
dari syetan dan hawa nafsu. Hal itu disebabkan sudah pasti orang yang
dikeramatkan akan memiliki kenikmatan tersendiri sebagai orang yang dianggap
selalu suci, tak pernah salah. Mereka yang mengeramatkan pun seolah-olah selalu
mendapatkan cahaya illahi jika sudah
mendengarkan orang yang dikeramatkan berbicara, padahal kita semua manusia yang
bisa salah, khilaf, dan lupa.
Nabi Muhammad saw sendiri tidak pernah mau dikultuskan
atau dikeramatkan. Dia malah meminta kepada umatnya untuk selalu mendoakan
dirinya, padahal dia sudah maksum, bebas
dari dosa. Dia meminta umatnya mendoakan dirinya agar seluruh umat Islam selalu
terhubung dengan dirinya walaupun dirinya sudah wafat.
Tidakkah kita pernah mendengar keterangan bahwa apabila
kita mendoakan Nabi Muhammad saw, ada
malaikat yang berdiri di samping kubur Nabi Muhammad saw yang menjawab doa kita
dengan cara mendoakan kita juga?
Meskipun Nabi Muhammad saw bebas dari dosa, tidak berarti bebas
dari kesalahan. Ada beberapa kesalahan yang dilakukan Nabi Muhammad saw,
misalnya, ketika dia berwajah cemberut atau bermuka masam menghadapi tamu;
ketika dia terlalu berkonsentrasi memberikan pengajaran kepada orang kaya dan berpengaruh,
tetapi mengabaikan orang miskin yang buta, padahal orang buta itu sangat ingin
mendapatkan ilmu dari Nabi Muhammad saw; ketika mengatakan bahwa dirinyalah
yang melemparkan batu untuk mengusir syetan, padahal Allah swt yang melemparkan
batu itu. Akan tetapi, karena Allah swt
sangat menyayangi Nabi Muhammad saw, saat itu juga Allah swt menegurnya.
Teguran dari Allah swt itu membuat Nabi Muhammad saw segera tersadar, memohon
ampun kepada Allah swt, lalu memperbaiki dirinya. Dengan demikian, Alllah swt
menghapus segala kesalahannya. Itulah sebabnya Nabi Muhammad saw “bebas dari
dosa”. Saat dia melakukan kesalahan, saat itu pula datang teguran dari Allah
swt untuk membersihkan Nabi Muhammad saw dari kesalahannya.
Demikian pula saat perang
Badar. Ketika mempersiapkan pasukan untuk perang, Nabi Muhammad saw
mengatur strategi perang bagai orang yang mengerti situasi perang terkait
dengan kondisi alam saat itu. Ia seolah-olah pintar mengatur perang.
Hal ini membuat salah seorang sahabatnya bertanya, “Ya Rasul, apakah strategi ini merupakah
wahyu dari Allah swt ataukah dari pikiranmu sendiri?”
Nabi Muhammad saw menjawab, “Ini dari pikiranku sendiri, bukan dari Allah swt.”
“Kalau begitu, aku adalah orang yang
lebih mengerti perang di Lembah Badar ini daripada engkau,” kata
sahabatnya.
Setelah percakapan itu, Nabi Muhammad saw menyerahkan
urusan strategi perang kepada sahabatnya itu. Terbukti, perang Badar itu
dimenangkan oleh kaum muslimin, padahal jumlah kaum muslimin hanya 303 orang
yang terdiri atas orang-orang lemah dan sama sekali bukan tentara, sedangkan
musuhnya adalah orang-orang terlatih dan sering membunuh dalam jumlah yang
sangat besar, yaitu 2.000 pasukan.
Coba kalau saat itu Nabi Muhammad saw keukeuh dengan pendapatnya sendiri yang
salah itu, perang Badar bisa selesai sebelum terjadi dengan kemenangan di pihak
kaum kafir dan kaum muslimin hancur lebur.
Nabi Muhammad saw saja pernah melakukan kesalahan,
sangatlah kerdil pikiran dan jiwa orang-orang yang gemar mengeramatkan seseorang
dan orang-orang yang ingin dikeramatkan. Seolah-olah mereka lebih harus
dihormati dibandingkan Muhammad saw atau menggunakan nama besar Nabi Muhammad
saw untuk mendapatkan keuntungan duniawi. Hal yang paling berbahaya adalah jika
titah orang-orang yang dikeramatkan itu membuat rusak keharmonisan hidup
manusia, lalu dipatuhi oleh orang-orang yang mengeramatkannya. Terjadilah
huru-hara.
Kembalilah kepada Al Quran yang suci agar kita tetap
dalam shiratal mustaqim.
Sampurasun
No comments:
Post a Comment