Tuesday, 2 May 2017

Kultus Individu

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Perilaku mengkultuskan seseorang, mengeramatkan seseorang adalah permasalahan umat Islam sejak dahulu sampai hari ini. Kita masih sering melihat bahwa banyak orang yang “dianggap selalu benar”, selalu baik, selalu harus dipatuhi sehingga terlarang untuk dikritik, terlarang untuk dikoreksi, tidak boleh berdebat dengan orang itu, bahkan diskusi pun tidak boleh. Pokoknya orang itu selalu benar dalam keadaan suci.

            Celakanya, orang-orang yang dikultuskan dan dikeramatkan ini banyak yang sudah meninggal puluhan tahun lalu atau bahkan ratusan tahun lalu. Padahal, dunia sudah berubah dan pengetahuan berkembang dengan pesatnya. Di samping itu, pengeramatan kepada seseorang ini dilestarikan hingga hari ini oleh generasi-generasi berikutnya. Jadi, tetap saja ada orang yang keramatkan dan ada orang yang mengeramatkannya. Padahal, kita semua adalah manusia yang tidak pernah lepas dari salah, khilaf, dan lupa. Oleh sebab itu, Allah swt di dalam Al Quran mengharuskan kita untuk saling mengingatkan, saling menasihati, saling mengkritik agar jiwa kita menjadi teguh dan jalan hidup kita tetap dalam kebenaran.

            Kultus terhadap individu inilah yang membuat kita menjadi kacau balau. Setiap titah dan pendapat orang yang dikultuskan itu adalah kebenaran dan harus dipatuhi tanpa boleh didiskusikan. Bahaya sekali sikap seperti itu jika ada di dalam lingkungan sosial. Kalau di dunia militer, boleh-boleh saja, apalagi jika dalam situasi perang. Komandan atau jenderal terkadang memberikan perintah untuk dilaksanakan tanpa dipahami maksudnya oleh para prajurit, tetapi sudah menjadi kewajiban prajurit untuk melaksanakannya. Prajurit tidak boleh membantah karena pemimpinnya memiliki pandangan lebih luas dan rencana lebih matang untuk segera dilaksanakan secara instan. Akan tetapi, dalam kehidupan sehari-hari untuk menyelesaikan masalah dan menempuh jalan hidup yang lebih baik, semua orang boleh berpendapat untuk mendapatkan kebaikan. Pendapat terbaiklah yang seharusnya dijadikan rujukan, bukan sosok atau individu yang dijadikan dasar perilaku.

            Pengeramatan kepada individu inilah yang dikritik keras oleh Pemimpin Besar Revolusi Indonesia Soekarno, “Walaupun Islam zaman sekarang menghadapi soal-soal yang beribu-ribu kali lebih besar dan lebih sulit daripada soal ‘sayid’, toh menurut keyakinan saya, salah satu kecelaan Islam zaman sekarang ini ialah pengeramatan manusia yang menghampiri kemusyrikan itu. Alasan-alasan kaum ‘sayid’, misalnya mereka punya brosur Bukti Kebenaran, saya sudah baca, tetapi tak bisa meyakinkan saya. Tersesatlah orang yang mengira bahwa Islam mengenal suatu ‘aristokrasi Islam’. Pengeramatan manusia adalah salah satu sebab yang mematahkan jiwa suatu agama dan umat karena pengeramatan manusia itu melanggar tauhid.

            Kalau tauhid rapuh, datanglah bencana!”

            Kita ini manusia. Memang kita harus menghormati orang yang lebih tua, pemimpin suatu organisasi, orang yang dianggap bijak, para sepuh yang sudah banyak makan garam kehidupan, nasihat-nasihat bijak orang-orang mulia, tetapi jika mereka dikeramatkan dan selalu dianggap suci, sangat berbahaya. Itu adalah salah satu pintu masuk syetan untuk menyesatkan manusia, baik bagi orang yang dikeramatkan maupun orang yang mengeramatkannya. Kehidupan bisa terseok-seok tersesat dalam kegelisahan dan kebingungan karena akan muncul pendapat-pendapat yang berasal dari syetan dan hawa nafsu. Hal itu disebabkan sudah pasti orang yang dikeramatkan akan memiliki kenikmatan tersendiri sebagai orang yang dianggap selalu suci, tak pernah salah. Mereka yang mengeramatkan pun seolah-olah selalu mendapatkan cahaya illahi jika sudah mendengarkan orang yang dikeramatkan berbicara, padahal kita semua manusia yang bisa salah, khilaf, dan lupa.

            Nabi Muhammad saw sendiri tidak pernah mau dikultuskan atau dikeramatkan. Dia malah meminta kepada umatnya untuk selalu mendoakan dirinya, padahal dia sudah maksum, bebas dari dosa. Dia meminta umatnya mendoakan dirinya agar seluruh umat Islam selalu terhubung dengan dirinya walaupun dirinya sudah wafat.

            Tidakkah kita pernah mendengar keterangan bahwa apabila kita mendoakan Nabi Muhammad saw, ada malaikat yang berdiri di samping kubur Nabi Muhammad saw yang menjawab doa kita dengan cara mendoakan kita juga?

            Meskipun Nabi Muhammad saw bebas dari dosa, tidak berarti bebas dari kesalahan. Ada beberapa kesalahan yang dilakukan Nabi Muhammad saw, misalnya, ketika dia berwajah cemberut atau bermuka masam menghadapi tamu; ketika dia terlalu berkonsentrasi memberikan pengajaran kepada orang kaya dan berpengaruh, tetapi mengabaikan orang miskin yang buta, padahal orang buta itu sangat ingin mendapatkan ilmu dari Nabi Muhammad saw; ketika mengatakan bahwa dirinyalah yang melemparkan batu untuk mengusir syetan, padahal Allah swt yang melemparkan batu itu.  Akan tetapi, karena Allah swt sangat menyayangi Nabi Muhammad saw, saat itu juga Allah swt menegurnya. Teguran dari Allah swt itu membuat Nabi Muhammad saw segera tersadar, memohon ampun kepada Allah swt, lalu memperbaiki dirinya. Dengan demikian, Alllah swt menghapus segala kesalahannya. Itulah sebabnya Nabi Muhammad saw “bebas dari dosa”. Saat dia melakukan kesalahan, saat itu pula datang teguran dari Allah swt untuk membersihkan Nabi Muhammad saw dari kesalahannya.

            Demikian pula saat perang Badar. Ketika mempersiapkan pasukan untuk perang, Nabi Muhammad saw mengatur strategi perang bagai orang yang mengerti situasi perang terkait dengan kondisi alam saat itu. Ia seolah-olah pintar mengatur perang.

            Hal ini membuat salah seorang sahabatnya bertanya, “Ya Rasul, apakah strategi ini merupakah wahyu dari Allah swt ataukah dari pikiranmu sendiri?

            Nabi Muhammad saw menjawab, “Ini dari pikiranku sendiri, bukan dari Allah swt.”

            “Kalau begitu, aku adalah orang yang lebih mengerti perang di Lembah Badar ini daripada engkau,” kata sahabatnya.

            Setelah percakapan itu, Nabi Muhammad saw menyerahkan urusan strategi perang kepada sahabatnya itu. Terbukti, perang Badar itu dimenangkan oleh kaum muslimin, padahal jumlah kaum muslimin hanya 303 orang yang terdiri atas orang-orang lemah dan sama sekali bukan tentara, sedangkan musuhnya adalah orang-orang terlatih dan sering membunuh dalam jumlah yang sangat besar, yaitu 2.000 pasukan.

            Coba kalau saat itu Nabi Muhammad saw keukeuh dengan pendapatnya sendiri yang salah itu, perang Badar bisa selesai sebelum terjadi dengan kemenangan di pihak kaum kafir dan kaum muslimin hancur lebur.

            Nabi Muhammad saw saja pernah melakukan kesalahan, sangatlah kerdil pikiran dan jiwa orang-orang yang gemar mengeramatkan seseorang dan orang-orang yang ingin dikeramatkan. Seolah-olah mereka lebih harus dihormati dibandingkan Muhammad saw atau menggunakan nama besar Nabi Muhammad saw untuk mendapatkan keuntungan duniawi. Hal yang paling berbahaya adalah jika titah orang-orang yang dikeramatkan itu membuat rusak keharmonisan hidup manusia, lalu dipatuhi oleh orang-orang yang mengeramatkannya. Terjadilah huru-hara.

            Kembalilah kepada Al Quran yang suci agar kita tetap dalam shiratal mustaqim.


            Sampurasun

No comments:

Post a Comment