Saturday 20 May 2017

Sistem Khilafah = Sistem Monarki

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Saya akhir-akhir ini agak sering tertawa jika memperhatikan pendapat-pendapat ulama terbelakang. Mereka tidak siap dengan perkembangan baru, tidak siap dengan pemahaman baru, tidak siap menyingkirkan pemahaman-pemahaman lama walaupun sudah terbukti salah. Lucunya, mereka mencari-cari alasan, dalil-dalil yang lemah untuk mempertahankan pendapat-pendapatnya yang salah. Karuan saja karena yang dipertahankan adalah ilmu yang sudah salah, upaya mempertahankannya pun jadi benar-benar salah. Lucunya, mereka tidak peduli ditertawakan orang lain karena kesalahannya, mereka memilih untuk tetap bertahan dalam kesalahannya.

            Saya pernah menantang keyakinan bahwa sistem khilafah itu ajaran Islam. Saya berpendapat bahwa sistem khilafah itu sama sekali bukan ajaran Islam. Saya menantang siapa pun yang dapat menunjukkan ayat Al Quran yang berupa perintah untuk mendirikan sistem khilafah. Ayat itu tidak pernah akan ditemukan. Memang kenyataannya juga seperti itu. Sekarang, para pendukung kekhalifahan sudah tahu bahwa sistem khilafah sama sekali tidak ada dalam Al Quran. Mereka saat ini mengakuinya. Itu adalah kemajuan buat mereka. Satu poin kebenaran sudah didapat, yaitu “tidak ada ajaran sistem khilafah dalam Al Quran”. Saya harus bertepuk tangan atas pengakuan mereka itu. Saya menghormati mereka.

            Meskipun demikian, mereka masih tidak rela untuk mengakui bahwa pendapat mereka adalah salah. Mereka mencoba mulai mengaburkan pemahaman antara arti khilafah secara bahasa dengan arti sistem khilafah secara politik. Dengan demikian, pendapat-pendapat ulama terdahulu yang mewajibkan adanya khilafah diputar-putar artinya dengan kewajiban mendirikan sistem khilafah. Khilafah itu jelas wajib ada dalam sistem pemerintahan mana pun di belahan dunia mana pun karena arti khilafah adalah pengganti atau pewaris kepemimpinan. Kalau presiden sudah selesai masa tugasnya, harus ada penggantinya. Demikian juga, raja, kaisar, perdana menteri, selalu harus ada penggantinya. Itu hal yang harus ada di mana-mana. Akan tetapi, tidak dengan sistem khilafah karena sistem khilafah itu merupakan suatu sistem tersendiri yang meliputi tatanan kenegaraan tertentu, sistem politik tertentu. Beda jauh antara khilafah dengan sistem khilafah. Akan tetapi, banyak pendukung sistem khilafah sering membuat kabur pemahaman ini. Mereka masih ingin memaksakan kehendak untuk mendirikan sistem khilafah dengan mengaburkan pemahaman-pemahaman yang sebenarnya.

            Saya dulu pernah menulis bahwa HOS Tjokroaminoto mengajari Pemimpin Besar Revolusi Indonesia Soekarno tentang kekhalifahan yang membuat Soekarno berpendapat bahwa kerusakan sistem politik umat Islam adalah dimulai dari Dinasti Muawiyah. Muawiyah adalah orang yang paling bertanggung jawab atas pengubahan sistem kekhalifahan dari yang asalnya melalui proses pemilihan diganti dengan sistem pewarisan kekuasaan dari ayah kepada anak. Para pendukung sistem khilafah saat ini mencoba membela Muawiyah dan membantah pendapat Soekarno. Mereka mengatakan bahwa memang benar Muawiyah mengalihkan kekuasaannya dari ayah kepada anak sama dengan sistem politik monarki. Akan tetapi, mereka berkilah bahwa para khalifah itu berbeda dengan raja. Para khalifah itu taat kepada aturan yang berlaku, sedangkan raja tidak seperti itu. Menurut mereka, raja itu mutlak kekuasaannya dan tidak patuh kepada aturan karena raja sendirilah yang berkuasa atas aturan-aturan kerajaan.

            Nah, di sinilah sebabnya saya mengatakan bahwa mereka itu adalah para ulama terbelakang. Mereka kurang belajar. Ingin mendirikan negara, tetapi tidak paham berbagai sistem politik. Mereka pikir raja itu selalu mutlak kekuasaannya dan tidak patuh kepada aturan karena raja itu sendirilah yang merupakan peraturan di dalam kerajaannya.

            Saya kasih tahu ya, pelajaran soal itu adalah pelajaran paling awal di Fakultas Ilmu-Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip). Sistem politik monarki atau sistem kerajaan itu ada dua, yaitu monarki absolut dan monarki konstitusional. Monarki absolut adalah ya seperti yang mereka bilang bahwa raja adalah negara, raja adalah hukum, raja adalah penguasa peraturan sehingga raja bertindak sekehendak diri raja sendiri dan tidak perlu taat pada aturan. Akan tetapi, berbeda dengan monarki konstitusional atau sistem kerajaan konstitusi. Dalam sistem ini raja tidak berkuasa secara mutlak karena ada konstitusi yang harus dipatuhi. Raja pun sama harus patuh pada aturan yang berlaku di negaranya. Sistem monarki absolut sekarang sudah bangkrut dan tidak ada lagi. Akan tetapi, sistem politik monarki konstitusional masih ada, misalnya, Inggris dan Belanda.

            Jadi, sudahlah sistem khilafah itu hanya sebuah sistem politik biasa, tidak suci dan tidak sakral, biasa saja. Orang boleh sepakat dengan sistem itu dan boleh tidak sepakat, tidak ada hubungannya dengan surga dan neraka.

            Sistem khilafah yang dikritik keras oleh Soekarno adalah sistem khilafah yang pergantian kepemimpinannya sama dengan sistem monarki, baik absolut maupun konstitusional. Hal yang disoroti oleh Soekarno adalah anak yang menjadi pemimpin karena menggantikan ayahnya, berkuasa di dalam sistem pemerintahan khilafah sehingga menimbulkan kerusakan. Berbeda dengan sistem monarki konstitusional sekarang yang meskipun dipimpin oleh seorang raja atau ratu, tetapi ada badan lain yang menjalankan pemerintahan, misalnya, perdana menteri yang dipilih untuk menyelenggarakan negara. Adapun raja atau ratu lebih berperan sebagai simbol negara dan alat pemersatu rakyat.

            Begitu kira-kira. Jadi, sistem khilafah itu sama dengan sistem monarki dalam hal pergantian kekuasaan. Dalam penyelenggaraannya, pasti ada perbedaan secara teknis.

            Begitu ya. Banyak-banyaklah belajar dan hati-hati sebelum berpendapat supaya tidak terbelakang.

            Jangan memutarbalikkan pemahaman ayat Al Quran, jangan kebanyakan percaya dongeng-dongeng, jangan membuat kabur pikiran masyarakat, jangan menjadikan Mekah sebagai tempat kabur lari dari tanggung jawab. Ketika ada masalah, kabur ke Mekah alasannya ibadat. Padahal, ibadat ke Mekah itu bisa ditunda untuk menyelesaikan masalah yang lebih penting. Shalat saja bisa dijama.  

            Puasa Ramadhan saja bisa diganti, masa ke Mekah tidak bisa ditunda?

            Begitu ya, jangan sekali-sekali memperalat Mekah sebagai alasan untuk tidak bertanggung jawab atas perbuatan buruk yang dilakukan. Hadapi saja semua masalah dengan baik.

            Masa orang lain didorong untuk berjihad mengorbankan harta dan nyawa?

            Giliran dirinya harus berjihad berhadapan dengan masalah, malah kabur dengan alasan ibadat. Itu mah mujahid terbelakang yang pengecut.


            Sampurasun.

No comments:

Post a Comment