Monday, 1 May 2017

Mewujudkan Kelanggengan Kemakmuran

 oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Beberapa tulisan yang lalu sebelum tulisan ini, saya menguraikan hal-hal yang harus dilakukan agar kita mendapatkan kemakmuran yang langgeng sesuai dengan yang diajarkan Allah swt. Cara terbaik dan sesuai itu adalah membiasakan untuk hidup “berbagi” dengan orang-orang miskin, lemah, kurang beruntung, dan mereka yang sedang berjuang di jalan Allah swt. Akan tetapi, itu saja tidak cukup. Ada hal yang harus dilakukan “hati kita” agar kebiasaan berbagi yang kita lakukan benar-benar bisa membuat kita makmur dan hidup langgeng dalam kemakmuran itu.

            Apabila sudah mulai terbiasa berbagi, bersedekah, berinfak, dan mengeluarkan harta untuk kebaikan, berapa pun besarnya, kita harus menjaga hati kita agar kebiasaan baik itu memiliki nilai di hadapan Allah swt. Dengan demikian, kemakmuran yang langgeng itu dapat terwujud dalam hidup kita. Kita harus menjaga hati kita agar tidak sombong, tidak pamer, tidak menceriterakan perilaku baik kita kepada orang lain. Hal itu disebabkan perilaku memamerkan kebaikan yang kita lakukan akan membuat kebaikan kita tidak bernilai apa pun di hadapan Allah swt. Perilaku memamerkan kebaikan kita itu akan mendorong kita untuk “ingin dipuji dan dipuja”, ingin dihormati orang lain, ingin dianggap sebagai pahlawan, ingin dihargai orang lain. Hal itu berarti kita mengharapkan pujian dan mengharapkan balasan dari manusia serta bukan balasan dari Allah swt. Sungguh, Allah swt akan membiarkan kita tetap dalam keadaan tidak punya jalan, tidak memiliki arah karena kita berbuat baik hanya untuk mendapatkan rasa simpatik manusia, bukan mendapatkan cinta dari Allah swt. Hal itu akan menyebabkan Allah swt tidak akan memberikan balasan yang baik dan membiarkan manusia hanya mendapatkan balasan dari manusia, tetapi tidak dari Allah swt.

            Sebaiknya, jika kita menolong orang lain, berbagi dengan orang-orang miskin, membantu orang-orang lemah, lakukanlah sembunyi-sembunyi, tidak perlu diketahui orang lain. Biarkan hanya kita, orang yang ditolong, dan Allah swt yang mengetahuinya. Lebih baik lagi jika orang yang ditolong tidak mengetahui bahwa kitalah yang menolong dirinya, misalnya, ketika kita memberikan uang atau melunasi pinjaman hutang orang lain, katakan saja itu bukan dari kita, melainkan dari uang milik seorang dermawan yang menitipkan uang kepada kita. Dengan demikian, hanya kita dan Allah swt yang tahu, orang lain tidak pernah tahu. Itu sangat baik.

            Jika kita merasa diri sebagai orang biasa-biasa saja, lakukanlah sedekah, infak, dan kebaikan dengan cara sembunyi-sembunyi agar hati kita tidak dihinggapi penyakit pamer, sombong, angkuh, dan lain sebagainya. Akan tetapi, jika kita merasa diri kita sudah terlatih untuk tidak sombong dan tidak gemar pamer, lakukanlah di depan orang lain karena akan mendorong orang lain untuk melakukan kebaikan yang sama dengan kebaikan yang kita lakukan.

            Perilaku membicarakan kebaikan kita kepada orang lain pun dapat menyebabkan orang miskin yang kita tolong sakit hati. Meskipun kita tidak bermaksud menyakiti hatinya, tetapi itu menimbulkan rasa sakit hati dan rendah diri pada diri orang-orang yang sedang dalam kesulitan. Apalagi jika kita memang berniat menyakiti orang-orang yang sedang kesusahan itu dengan cara membicarakan berulang-ulang kebaikan kita kepadanya di hadapan banyak orang. Itu sama sekali perbuatan yang sia-sia. Tak ada nilainya sama sekali di hadapan Allah swt.

            Kata Allah swt, “Hai orang-orang yang beriman!

            Janganlah kamu merusak sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan penerima), seperti orang yang menginfakkan hartanya karena pamer kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah swt dan Hari Akhir. Perumpamaannya (orang itu) seperti batu licin yang di atasnya ada debu, kemudian batu licin itu ditimpa hujan lebat, maka tinggallah batu licin itu lagi. Mereka tidak memperoleh suatu apa pun dari apa yang mereka kerjakan. Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang kafir.” (QS Al Baqarah 2 : 264)

            Perhatikan kalimat Allah swt di atas.

            Hai orang-orang yang beriman!

            Orang yang tidak beriman tidak “Hai’ karena hanya orang beriman yang kebaikannya hanya untuk pengabdian kepada Allah swt dan bukan untuk diagungkan manusia.

            Kebaikan kita bersedekah, berinfak, dan mengeluarkan harta untuk kebaikan diibaratkan debu di atas batu licin. Jika kita selalu membicarakan kebaikan kita dengan maksud menyakiti orang lain dan ingin dipuji manusia, debu itu diumpamakan ditimpa hujan lebat dan batu licin itu kembali licin tanpa debu. Artinya, segala perbuatan baik kita sia-sia karena disapu oleh hujan yang berupa “perasaan ingin dipuji”, perasaan ingin dihormati, perilaku ingin diagungkan dan dianggap lebih tinggi dibandingkan orang lain. Sayang sekali jika perbuatan baik kita hancur disebabkan perilaku kita sendiri.

            Upayakan sembunyi-sembunyi jika bersedekah, berinfak, dan menolong orang lain. Tak perlu orang lain tahu. Biarkan hanya kita dan Allah swt yang tahu. Dengan demikian, Allah swt sangat mencintai kita karena kita berbuat baik adalah untuk mengharapkan diri-Nya dan bukan makhluk-Nya. Jika Allah swt mencintai kita, kemakmuran yang langgeng pun menjadi milik kita selama kita beriman dan terus bersedekah untuk mengharapkan cinta Allah swt. Insyaallah.


            Sampurasun.

No comments:

Post a Comment