oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Beberapa tulisan yang lalu
sebelum tulisan ini, saya menguraikan hal-hal yang harus dilakukan agar kita
mendapatkan kemakmuran yang langgeng sesuai dengan yang diajarkan Allah swt.
Cara terbaik dan sesuai itu adalah membiasakan untuk hidup “berbagi” dengan
orang-orang miskin, lemah, kurang beruntung, dan mereka yang sedang berjuang di
jalan Allah swt. Akan tetapi, itu saja tidak cukup. Ada hal yang harus
dilakukan “hati kita” agar kebiasaan berbagi yang kita lakukan benar-benar bisa
membuat kita makmur dan hidup langgeng dalam kemakmuran itu.
Apabila sudah mulai terbiasa berbagi, bersedekah, berinfak,
dan mengeluarkan harta untuk kebaikan, berapa pun besarnya, kita harus menjaga
hati kita agar kebiasaan baik itu memiliki nilai di hadapan Allah swt. Dengan
demikian, kemakmuran yang langgeng itu dapat terwujud dalam hidup kita. Kita
harus menjaga hati kita agar tidak sombong, tidak pamer, tidak menceriterakan
perilaku baik kita kepada orang lain. Hal itu disebabkan perilaku memamerkan
kebaikan yang kita lakukan akan membuat kebaikan kita tidak bernilai apa pun di
hadapan Allah swt. Perilaku memamerkan kebaikan kita itu akan mendorong kita
untuk “ingin dipuji dan dipuja”, ingin dihormati orang lain, ingin dianggap
sebagai pahlawan, ingin dihargai orang lain. Hal itu berarti kita mengharapkan
pujian dan mengharapkan balasan dari manusia serta bukan balasan dari Allah
swt. Sungguh, Allah swt akan membiarkan kita tetap dalam keadaan tidak punya
jalan, tidak memiliki arah karena kita berbuat baik hanya untuk mendapatkan rasa
simpatik manusia, bukan mendapatkan cinta dari Allah swt. Hal itu akan menyebabkan
Allah swt tidak akan memberikan balasan yang baik dan membiarkan manusia hanya
mendapatkan balasan dari manusia, tetapi tidak dari Allah swt.
Sebaiknya, jika kita menolong orang lain, berbagi dengan
orang-orang miskin, membantu orang-orang lemah, lakukanlah sembunyi-sembunyi,
tidak perlu diketahui orang lain. Biarkan hanya kita, orang yang ditolong, dan
Allah swt yang mengetahuinya. Lebih baik lagi jika orang yang ditolong tidak
mengetahui bahwa kitalah yang menolong dirinya, misalnya, ketika kita
memberikan uang atau melunasi pinjaman hutang orang lain, katakan saja itu
bukan dari kita, melainkan dari uang milik seorang dermawan yang menitipkan
uang kepada kita. Dengan demikian, hanya kita dan Allah swt yang tahu, orang
lain tidak pernah tahu. Itu sangat baik.
Jika kita merasa diri sebagai orang biasa-biasa saja,
lakukanlah sedekah, infak, dan kebaikan dengan cara sembunyi-sembunyi agar hati
kita tidak dihinggapi penyakit pamer, sombong, angkuh, dan lain sebagainya.
Akan tetapi, jika kita merasa diri kita sudah terlatih untuk tidak sombong dan
tidak gemar pamer, lakukanlah di depan orang lain karena akan mendorong orang
lain untuk melakukan kebaikan yang sama dengan kebaikan yang kita lakukan.
Perilaku membicarakan kebaikan kita kepada orang lain pun
dapat menyebabkan orang miskin yang kita tolong sakit hati. Meskipun kita tidak
bermaksud menyakiti hatinya, tetapi itu menimbulkan rasa sakit hati dan rendah
diri pada diri orang-orang yang sedang dalam kesulitan. Apalagi jika kita
memang berniat menyakiti orang-orang yang sedang kesusahan itu dengan cara
membicarakan berulang-ulang kebaikan kita kepadanya di hadapan banyak orang.
Itu sama sekali perbuatan yang sia-sia. Tak ada nilainya sama sekali di hadapan
Allah swt.
Kata Allah swt, “Hai
orang-orang yang beriman!
Janganlah kamu merusak sedekahmu
dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan penerima), seperti orang yang
menginfakkan hartanya karena pamer kepada manusia dan dia tidak beriman kepada
Allah swt dan Hari Akhir. Perumpamaannya (orang itu) seperti batu licin yang di
atasnya ada debu, kemudian batu licin itu ditimpa hujan lebat, maka tinggallah
batu licin itu lagi. Mereka tidak memperoleh suatu apa pun dari apa yang mereka
kerjakan. Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang kafir.” (QS
Al Baqarah 2 : 264)
Perhatikan kalimat Allah swt di atas.
Hai orang-orang
yang beriman!
Orang yang tidak
beriman tidak “Hai’ karena hanya
orang beriman yang kebaikannya hanya untuk pengabdian kepada Allah swt dan bukan
untuk diagungkan manusia.
Kebaikan kita bersedekah, berinfak, dan mengeluarkan
harta untuk kebaikan diibaratkan debu di atas batu licin. Jika kita selalu
membicarakan kebaikan kita dengan maksud menyakiti orang lain dan ingin dipuji
manusia, debu itu diumpamakan ditimpa hujan lebat dan batu licin itu kembali
licin tanpa debu. Artinya, segala perbuatan baik kita sia-sia karena disapu
oleh hujan yang berupa “perasaan ingin dipuji”, perasaan ingin dihormati,
perilaku ingin diagungkan dan dianggap lebih tinggi dibandingkan orang lain.
Sayang sekali jika perbuatan baik kita hancur disebabkan perilaku kita sendiri.
Upayakan sembunyi-sembunyi jika bersedekah, berinfak, dan
menolong orang lain. Tak perlu orang lain tahu. Biarkan hanya kita dan Allah swt
yang tahu. Dengan demikian, Allah swt sangat mencintai kita karena kita berbuat
baik adalah untuk mengharapkan diri-Nya dan bukan makhluk-Nya. Jika Allah swt
mencintai kita, kemakmuran yang langgeng pun menjadi milik kita selama kita
beriman dan terus bersedekah untuk mengharapkan cinta Allah swt. Insyaallah.
Sampurasun.
No comments:
Post a Comment