oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Terlalu sering kita
mendengar ayat yang digunakan orang untuk tidak memilih seorang pemimpin
berdasarkan agamanya. Salah satu ayat yang kerap dibicarakan adalah QS Al Maidah
: 51 yang telah menggoncangkan Indonesia, bahkan menjadi berita internasional.
Berita-berita ini telah disiarkan berulang-ulang oleh media di dalam negeri
Indonesia maupun di luar negeri.
Anehnya, ayat itulah yang sangat terkenal dan populer di
tengah masyarakat. Padahal, ada ayat lain yang isinya sama, yaitu larangan
menjadikan orang kafir sebagai pemimpin. Akan tetapi, ayat yang lain itu tidak
seterkenal dan sepopuler QS Al Maidah : 51.
Saya memiliki beberapa dugaan penyebab ayat-ayat yang
lain itu tidak terkenal. Pertama, kaum
muslimin kurang membaca dan mempelajari Al Quran. Kedua, para penceramah terlalu tertarik pada ayat-ayat yang
berkaitan dengan acara-acara besar Islam, seperti, Isra Miraj, Maulid Nabi,
Ramadhan, Idul Fitri, Qurban, dan lain sebagainya, sedangkan ayat-ayat lainnya
kurang dipelajari. Ketiga, ayat ini
cukup rumit untuk diterangkan jika digunakan sebagai dasar untuk tidak memilih
pemimpin beragama nonmuslim.
Ayat yang saya maksud itu adalah QS Ali Imran 3 : 28.
“Janganlah orang-orang beriman menjadikan
orang kafir sebagai pemimpin, melainkan orang beriman. Siapa yang berbuat
demikian, niscaya dia tidak akan memperoleh apa pun dari Allah, kecuali karena
(siasat) menjaga diri dari sesuatu yang kamu takuti dari mereka. Allah
memperingatkan kamu akan diri-(siksa)-Nya dan hanya kepada Allah tempat
kembali.”
Ayat ini sangat tidak
terkenal dan jarang dibicarakan orang, bahkan dalam situasi pemilihan apa pun,
baik eksekutif maupun legislatif. Penyebab kurang terkenalnya ayat ini adalah
sebagaimana ketiga dugaan yang telah saya sebutkan tadi.
Kalau penyebab kurang dibicarakannya ayat ini adalah
karena kurangnya kaum muslimin dan para ustadz mempelajari Al Quran, sudahlah,
itu bisa dipahami dan tidak perlu dibicarakan. Akan tetapi, dugaan saya yang
ketiga adalah yang akan saya uraikan.
Ayat ini memang terlalu rumit diterangkan untuk dijadikan
landasan agar tidak memilih pemimpin nonmuslim. Perhatikan saja kalimat pertama
dalam ayat itu.
Janganlah
orang-orang beriman menjadikan orang kafir sebagai pemimpin, melainkan orang
beriman.
Ini bahasa yang mudah
dipahami bahwa orang beriman dilarang menjadikan nonmuslim sebagai pemimpin dan
harus menjadikan orang beriman sebagai pemimpin. Kalimat ini bahkan diperkuat oleh
setengah kalimat kedua yang
memberikan ancaman dari Allah swt.
Siapa yang berbuat
demikian, niscaya dia tidak akan memperoleh apa pun dari Allah, ….
Maksud dari kalimat
itu adalah siapa saja orang beriman yang menjadikan orang kafir sebagai
pemimpin, Allah swt tidak akan memberikan pahala apa pun, baik di dunia ini
maupun di akhirat. Meskipun demikian, Allah swt memberikan pengecualian dalam
setengah kalimat berikutnya.
…, kecuali karena
(siasat) menjaga diri dari sesuatu yang kamu takuti dari mereka.
Dalam kalimat itu,
Allah swt memperbolehkan kaum muslimin menjadikan orang nonmuslim sebagai
pemimpin apabila sedang berada dalam ancaman dan situasi yang membahayakan
sehingga mau tidak mau harus menjadikan orang nonmuslim sebagai pemimpin.
Jasadnya diperbolehkan tunduk kepada pemimpin nonmuslim, tetapi tidak dengan
hatinya karena ketundukan itu hanya merupakan siasat untuk menjaga diri.
Di sini kita mulai
melihat ada kerumitan jika ayat ini digunakan sebagai landasan pelarangan
memilih pemimpin nonmuslim. Akan ada banyak persepsi yang dimaksud dengan “ancaman
terhadap kaum muslimin” sehingga tetap saja kaum muslimin akan memilih pemimpin
nonmuslim. Ancaman itu bisa berupa kehilangan nyawa, dicabut beasiswa,
dipersulit mengurus kesehatan, kehilangan tempat tinggal, dihentikan bantuan
ekonomi, ditelantarkannya sarana dan prasarana sosial, dan lain sebagainya.
Pendek kata, ayat ini memiliki banyak hal yang masih membolehkan kaum muslimin
untuk memillih pemimpin nonmuslim jika merasa “terancam”.
Jadi, apa sesungguhnya yang dimaksudkan Allah swt dengan
menurunkan ayat ini?
Nah, untuk memahaminya, tidak bisa hanya dengan membaca
kalimat-kalimat yang ada di dalam ayat itu saja. Kita memerlukan keterangan
lain, yaitu asbabun nuzul, ‘penyebab
turunnya ayat’.
Di dalam asbabun nuzul dijelaskan bahwa ayat ini
diturunkan saat banyak kaum Anshar yang mengikuti hasutan dari Hajjaj bin Amr,
sekutu para tokoh Yahudi, yaitu Kaab bin Asyraf, Ibnu Abi Huqaiq, dan Qais bin
Zaid. Sebagian kaum Anshar itu berhasil dihasut untuk murtad, keluar dari
Islam. Perilaku kaum Anshar itu diketahui oleh para sahabat Muhammad saw.
Oleh sebab itu, Rifaah ra, Abdullah bin Zubair ra, dan Said
bin Hatsmah ra mengingatkan sebagian kaum Anshar itu, “Jauhilah orang-orang Yahudi itu dan jangan tinggal bersama mereka.”
Sayangnya, kaum Anshar itu menolak peringatan para
sahabat Nabi. Oleh karena itu, Allah swt menurunkan QS Ali Imran : 28.
Berdasarkan asbabun nuzul, kita bisa memahami bahwa
orang-orang beriman tidak boleh mengikuti hasutan orang-orang nonmuslim untuk
murtad dari Islam. Hal itu disebabkan jika murtad dari Islam sama artinya
dengan harus patuh kepada pemimpin nonmuslim yang menginginkan kehancuran Islam
dan kematian Muhammad saw.
Apabila murtad dari Islam yang secara otomatis menjadi
anak buah nonmuslim, Allah swt mengingatkan bahwa mereka tidak akan mendapatkan
apa pun dari Allah swt. Bahkan, mereka akan mendapatkan siksa dari Allah swt
karena kemurtadan mereka.
Meskipun demikian, Allah swt masih memperbolehkan kaum
muslimin untuk “pura-pura” murtad jika merasa takut karena terancam jiwanya,
keluarganya, hartanya, atau dasar-dasar kebutuhan hidup lainnya oleh kekuasaan
yang dimiliki kaum nonmuslim. Allah swt
memperbolehkannya, tetapi bukan mewajibkannya. Boleh, bukan wajib atau harus.
Dalam asbabun nuzul tersebut kita lihat adanya “hasutan
untuk murtad”. Oleh sebab itu, umat Islam dilarang murtad karena akan
menjadikan nonmuslim menjadi kuat dan melakukan berbagai keburukan kepada kaum
muslimin. Umat Islam yang murtad dari Islam sudah otomatis akan menjadikan
nonmuslim menjadi pemimpin.
Dengan demikian, hal itu tidak ada hubungannya dengan
pemilihan pemimpin di Indonesia yang menggunakan sistem politik demokrasi dalam
keadaan damai, tertib, tak ada hasutan untuk murtad, dan tak ada ancaman
terhadap kaum muslimin, baik jiwa, keluarga, maupun hartanya. Perlu dipahami
bahwa di Indonesia kecil adanya intimidasi untuk murtad dan ancaman terhadap
jiwa dalam kaitannya dengan pemilihan pemimpin karena kita memiliki undang-undang
sangat bagus yang dapat memenjarakan para penghasut, pengintimidasi, dan
pengancam agar murtad dari Islam. Jadi, ayat itu tidak tepat digunakan untuk mempengaruhi
masyarakat agar tidak memilih pemimpin nonmuslim di Indonesia saat ini.
Demikianlah yang saya pahami dari ayat tersebut.
Allah swt-lah yang lebih mengetahui maksud-Nya sendiri.
Sampurasun.
No comments:
Post a Comment