Thursday 4 May 2017

Dilarang Menjadikan Orang Kafir sebagai Pemimpin

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Terlalu sering kita mendengar ayat yang digunakan orang untuk tidak memilih seorang pemimpin berdasarkan agamanya. Salah satu ayat yang kerap dibicarakan adalah QS Al Maidah : 51 yang telah menggoncangkan Indonesia, bahkan menjadi berita internasional. Berita-berita ini telah disiarkan berulang-ulang oleh media di dalam negeri Indonesia maupun di luar negeri.

            Anehnya, ayat itulah yang sangat terkenal dan populer di tengah masyarakat. Padahal, ada ayat lain yang isinya sama, yaitu larangan menjadikan orang kafir sebagai pemimpin. Akan tetapi, ayat yang lain itu tidak seterkenal dan sepopuler QS Al Maidah : 51.

            Saya memiliki beberapa dugaan penyebab ayat-ayat yang lain itu tidak terkenal. Pertama, kaum muslimin kurang membaca dan mempelajari Al Quran. Kedua, para penceramah terlalu tertarik pada ayat-ayat yang berkaitan dengan acara-acara besar Islam, seperti, Isra Miraj, Maulid Nabi, Ramadhan, Idul Fitri, Qurban, dan lain sebagainya, sedangkan ayat-ayat lainnya kurang dipelajari. Ketiga, ayat ini cukup rumit untuk diterangkan jika digunakan sebagai dasar untuk tidak memilih pemimpin beragama nonmuslim.

            Ayat yang saya maksud itu adalah QS Ali Imran 3 : 28.

            Janganlah orang-orang beriman menjadikan orang kafir sebagai pemimpin, melainkan orang beriman. Siapa yang berbuat demikian, niscaya dia tidak akan memperoleh apa pun dari Allah, kecuali karena (siasat) menjaga diri dari sesuatu yang kamu takuti dari mereka. Allah memperingatkan kamu akan diri-(siksa)-Nya dan hanya kepada Allah tempat kembali.”

            Ayat ini sangat tidak terkenal dan jarang dibicarakan orang, bahkan dalam situasi pemilihan apa pun, baik eksekutif maupun legislatif. Penyebab kurang terkenalnya ayat ini adalah sebagaimana ketiga dugaan yang telah saya sebutkan tadi.

            Kalau penyebab kurang dibicarakannya ayat ini adalah karena kurangnya kaum muslimin dan para ustadz mempelajari Al Quran, sudahlah, itu bisa dipahami dan tidak perlu dibicarakan. Akan tetapi, dugaan saya yang ketiga adalah yang akan saya uraikan.

            Ayat ini memang terlalu rumit diterangkan untuk dijadikan landasan agar tidak memilih pemimpin nonmuslim. Perhatikan saja kalimat pertama dalam ayat itu.

            Janganlah orang-orang beriman menjadikan orang kafir sebagai pemimpin, melainkan orang beriman.

            Ini bahasa yang mudah dipahami bahwa orang beriman dilarang menjadikan nonmuslim sebagai pemimpin dan harus menjadikan orang beriman sebagai pemimpin. Kalimat ini bahkan diperkuat oleh setengah kalimat kedua yang memberikan ancaman dari Allah swt.

            Siapa yang berbuat demikian, niscaya dia tidak akan memperoleh apa pun dari Allah, ….

            Maksud dari kalimat itu adalah siapa saja orang beriman yang menjadikan orang kafir sebagai pemimpin, Allah swt tidak akan memberikan pahala apa pun, baik di dunia ini maupun di akhirat. Meskipun demikian, Allah swt memberikan pengecualian dalam setengah kalimat berikutnya.

            …, kecuali karena (siasat) menjaga diri dari sesuatu yang kamu takuti dari mereka.

            Dalam kalimat itu, Allah swt memperbolehkan kaum muslimin menjadikan orang nonmuslim sebagai pemimpin apabila sedang berada dalam ancaman dan situasi yang membahayakan sehingga mau tidak mau harus menjadikan orang nonmuslim sebagai pemimpin. Jasadnya diperbolehkan tunduk kepada pemimpin nonmuslim, tetapi tidak dengan hatinya karena ketundukan itu hanya merupakan siasat untuk menjaga diri.

            Di sini kita mulai melihat ada kerumitan jika ayat ini digunakan sebagai landasan pelarangan memilih pemimpin nonmuslim. Akan ada banyak persepsi yang dimaksud dengan “ancaman terhadap kaum muslimin” sehingga tetap saja kaum muslimin akan memilih pemimpin nonmuslim. Ancaman itu bisa berupa kehilangan nyawa, dicabut beasiswa, dipersulit mengurus kesehatan, kehilangan tempat tinggal, dihentikan bantuan ekonomi, ditelantarkannya sarana dan prasarana sosial, dan lain sebagainya. Pendek kata, ayat ini memiliki banyak hal yang masih membolehkan kaum muslimin untuk memillih pemimpin nonmuslim jika merasa “terancam”.

            Jadi, apa sesungguhnya yang dimaksudkan Allah swt dengan menurunkan ayat ini?

            Nah, untuk memahaminya, tidak bisa hanya dengan membaca kalimat-kalimat yang ada di dalam ayat itu saja. Kita memerlukan keterangan lain, yaitu asbabun nuzul, ‘penyebab turunnya ayat’.

            Di dalam asbabun nuzul dijelaskan bahwa ayat ini diturunkan saat banyak kaum Anshar yang mengikuti hasutan dari Hajjaj bin Amr, sekutu para tokoh Yahudi, yaitu Kaab bin Asyraf, Ibnu Abi Huqaiq, dan Qais bin Zaid. Sebagian kaum Anshar itu berhasil dihasut untuk murtad, keluar dari Islam. Perilaku kaum Anshar itu diketahui oleh para sahabat Muhammad saw.

            Oleh sebab itu, Rifaah ra, Abdullah bin Zubair ra, dan Said bin Hatsmah ra mengingatkan sebagian kaum Anshar itu, “Jauhilah orang-orang Yahudi itu dan jangan tinggal bersama mereka.”

            Sayangnya, kaum Anshar itu menolak peringatan para sahabat Nabi. Oleh karena itu, Allah swt menurunkan QS Ali Imran : 28.

            Berdasarkan asbabun nuzul, kita bisa memahami bahwa orang-orang beriman tidak boleh mengikuti hasutan orang-orang nonmuslim untuk murtad dari Islam. Hal itu disebabkan jika murtad dari Islam sama artinya dengan harus patuh kepada pemimpin nonmuslim yang menginginkan kehancuran Islam dan kematian Muhammad saw.

            Apabila murtad dari Islam yang secara otomatis menjadi anak buah nonmuslim, Allah swt mengingatkan bahwa mereka tidak akan mendapatkan apa pun dari Allah swt. Bahkan, mereka akan mendapatkan siksa dari Allah swt karena kemurtadan mereka.

            Meskipun demikian, Allah swt masih memperbolehkan kaum muslimin untuk “pura-pura” murtad jika merasa takut karena terancam jiwanya, keluarganya, hartanya, atau dasar-dasar kebutuhan hidup lainnya oleh kekuasaan yang dimiliki kaum nonmuslim. Allah  swt memperbolehkannya, tetapi bukan mewajibkannya. Boleh, bukan wajib atau harus.

            Dalam asbabun nuzul tersebut kita lihat adanya “hasutan untuk murtad”. Oleh sebab itu, umat Islam dilarang murtad karena akan menjadikan nonmuslim menjadi kuat dan melakukan berbagai keburukan kepada kaum muslimin. Umat Islam yang murtad dari Islam sudah otomatis akan menjadikan nonmuslim menjadi pemimpin.

            Dengan demikian, hal itu tidak ada hubungannya dengan pemilihan pemimpin di Indonesia yang menggunakan sistem politik demokrasi dalam keadaan damai, tertib, tak ada hasutan untuk murtad, dan tak ada ancaman terhadap kaum muslimin, baik jiwa, keluarga, maupun hartanya. Perlu dipahami bahwa di Indonesia kecil adanya intimidasi untuk murtad dan ancaman terhadap jiwa dalam kaitannya dengan pemilihan pemimpin karena kita memiliki undang-undang sangat bagus yang dapat memenjarakan para penghasut, pengintimidasi, dan pengancam agar murtad dari Islam. Jadi, ayat itu tidak tepat digunakan untuk mempengaruhi masyarakat agar tidak memilih pemimpin nonmuslim di Indonesia saat ini.

            Demikianlah yang saya pahami dari ayat tersebut.

            Allah swt-lah yang lebih mengetahui maksud-Nya sendiri.

            Sampurasun.

No comments:

Post a Comment