oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Baru beberapa jam hakim
memutuskan Ahok bersalah dan harus menjalani hukuman selama dua tahun, ada
seorang dosen bertanya kepada saya, “Kang, menurut Akang, apakah Akang setuju
orang-orang Islam itu menangisi Ahok?”
Dia bertanya kepada saya karena media televisi langsung
gencar mempertontonkan kesedihan dan kekecewaan pendukung Ahok atas keputusan
hakim. Banyak yang menangis sambil telentang di jalan. Para pendukung Ahok itu
jelas mayoritas beragama Islam, sedangkan Ahok yang mereka tangisi beragama Kristen
Protestan.
Saya jawab, “Saya tidak bisa menilai karena itu adalah
perasaan manusia.”
“Begini Kang, mereka itu orang Islam. Apakah pantas orang
Islam menangisi orang kafir?” dia berusaha menjelaskan pertanyaannya.
Saya langsung saja heran.
Kok dia bisa berbicara seperti itu?
Tidak biasanya dia berbicara dengan kalimat seperti itu.
Saya menduga dia diajari oleh orang lain atau membaca tulisan di Medsos.
Saya jawab lagi, “Kalau soal itu bisa debatable. Begini contohnya, Sultan Salahuddin Al Ayubi itu ketika
merebut Yerusalem mengangkat beberapa panglima perang. Salah seorang panglima
perang Salahuddin adalah beragama Kristen Katolik, namanya Isa. Apakah tidak
boleh Sultan Salahuddin Al Ayubi merasa sedih jika Isa yang Katolik itu gugur
di pertempuran? Apakah tidak boleh pasukan Isa merasa kehilangan, bahkan
menangis jika Isa gugur dalam perang, padahal Isa beragama Katolik dan
pasukannya yang menangis itu adalah seluruhnya muslim?”
“Iya, ya Kang, debatable dan complicated,” katanya sambil pergi.
Sebetulnya, saya ingin menerangkan lagi lebih panjang,
tetapi dia keburu pergi. Jadi, saya tidak bisa menjelaskan lebih jauh.
Ada banyak contoh sebenarnya dalam sejarah Islam soal hal
ini. Paman Nabi Muhammad saw adalah orang kafir dan selalu menolak untuk
mengucapkan syahadat untuk masuk Islam.
Ketika dia meninggal, tidak bolehkah Nabi Muhammad saw
berduka?
Tidak bolehkah Nabi Muhammad saw berduka atas
meninggalnya Sang Paman?
Kenyataannya, Nabi Muhammad saw bersedih dan berduka atas
meninggalnya pamannya itu. Padahal, pamannya itu mati dalam keadaan kafir.
Apa arti ini semua?
Artinya, rasa duka dan rasa sedih itu manusiawi, tidak
dibatasi oleh perbedaan agama. Kalau ada yang mengharamkan seorang muslim untuk
menangisi penderitaan sahabatnya yang sangat dia sayangi, orang itu mengarang
dan mencari-cari permusuhan dengan mengotak-kotakkan manusia berdasarkan
agamanya. Padahal, dia tidak tahu apakah dia akan mati dalam keadaan beriman
atau tidak. Dia pun tidak pernah tahu apakah orang kafir yang dibencinya akan
tetap kafir sampai matinya atau justru berubah menjadi orang Islam yang taat.
Saya tidak tahu bagaimana caranya orang-orang ini diajari
untuk selalu membenci orang yang berbeda agama, bahkan merasa empati kepada penderitaan
orang lain pun dianggap tidak pantas hanya karena perbedaan agama?
Masyaallah.
Tidak tahukah kita
bahwa kita sebagai muslim itu seluruhnya dipilih Allah swt untuk mewujudkan
kasih sayang dan perdamaian di dunia?
Mengapa selalu ada perang dalam pikirannya?
Tidakkah lebih baik kita silih asih, silih asuh, silih asah, ‘saling mencintai, saling
melindungi, saling mencerdaskan’, sebagaimana ajaran Nabi Prabu Siliwangi?
Sampurasun.
No comments:
Post a Comment