Tuesday 9 May 2017

Tangisan Pro-Ahok

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Baru beberapa jam hakim memutuskan Ahok bersalah dan harus menjalani hukuman selama dua tahun, ada seorang dosen bertanya kepada saya, “Kang, menurut Akang, apakah Akang setuju orang-orang Islam itu menangisi Ahok?”

            Dia bertanya kepada saya karena media televisi langsung gencar mempertontonkan kesedihan dan kekecewaan pendukung Ahok atas keputusan hakim. Banyak yang menangis sambil telentang di jalan. Para pendukung Ahok itu jelas mayoritas beragama Islam, sedangkan Ahok yang mereka tangisi beragama Kristen Protestan.

            Saya jawab, “Saya tidak bisa menilai karena itu adalah perasaan manusia.”

            “Begini Kang, mereka itu orang Islam. Apakah pantas orang Islam menangisi orang kafir?” dia berusaha menjelaskan pertanyaannya.

            Saya langsung saja heran.

            Kok dia bisa berbicara seperti itu?

            Tidak biasanya dia berbicara dengan kalimat seperti itu. Saya menduga dia diajari oleh orang lain atau membaca tulisan di Medsos.

            Saya jawab lagi, “Kalau soal itu bisa debatable. Begini contohnya, Sultan Salahuddin Al Ayubi itu ketika merebut Yerusalem mengangkat beberapa panglima perang. Salah seorang panglima perang Salahuddin adalah beragama Kristen Katolik, namanya Isa. Apakah tidak boleh Sultan Salahuddin Al Ayubi merasa sedih jika Isa yang Katolik itu gugur di pertempuran? Apakah tidak boleh pasukan Isa merasa kehilangan, bahkan menangis jika Isa gugur dalam perang, padahal Isa beragama Katolik dan pasukannya yang menangis itu adalah seluruhnya muslim?”

            “Iya, ya Kang, debatable dan complicated,” katanya sambil pergi.

            Sebetulnya, saya ingin menerangkan lagi lebih panjang, tetapi dia keburu pergi. Jadi, saya tidak bisa menjelaskan lebih jauh.

            Ada banyak contoh sebenarnya dalam sejarah Islam soal hal ini. Paman Nabi Muhammad saw adalah orang kafir dan selalu menolak untuk mengucapkan syahadat untuk masuk Islam.

            Ketika dia meninggal, tidak bolehkah Nabi Muhammad saw berduka?

            Tidak bolehkah Nabi Muhammad saw berduka atas meninggalnya Sang Paman?

            Kenyataannya, Nabi Muhammad saw bersedih dan berduka atas meninggalnya pamannya itu. Padahal, pamannya itu mati dalam keadaan kafir.

            Apa arti ini semua?

            Artinya, rasa duka dan rasa sedih itu manusiawi, tidak dibatasi oleh perbedaan agama. Kalau ada yang mengharamkan seorang muslim untuk menangisi penderitaan sahabatnya yang sangat dia sayangi, orang itu mengarang dan mencari-cari permusuhan dengan mengotak-kotakkan manusia berdasarkan agamanya. Padahal, dia tidak tahu apakah dia akan mati dalam keadaan beriman atau tidak. Dia pun tidak pernah tahu apakah orang kafir yang dibencinya akan tetap kafir sampai matinya atau justru berubah menjadi orang Islam yang taat.

            Saya tidak tahu bagaimana caranya orang-orang ini diajari untuk selalu membenci orang yang berbeda agama, bahkan merasa empati kepada penderitaan orang lain pun dianggap tidak pantas hanya karena perbedaan agama?

            Masyaallah.

            Tidak tahukah kita bahwa kita sebagai muslim itu seluruhnya dipilih Allah swt untuk mewujudkan kasih sayang dan perdamaian di dunia?

            Mengapa selalu ada perang dalam pikirannya?

            Tidakkah lebih baik kita silih asih, silih asuh, silih asah, ‘saling mencintai, saling melindungi, saling mencerdaskan’, sebagaimana ajaran Nabi Prabu Siliwangi?


            Sampurasun.

No comments:

Post a Comment