oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Persoalan keterbatasan
bangunan penjara, keterbatasan kapasitasnya, keterbatasan fasilitasnya, buruknya
hubungan antarnapi, dan kecurangan oknum petugas adalah permasalahan dunia.
Setiap negara memiliki masalah masing-masing terkait hal ini. Indonesia dalam
tahun-tahun terakhir ini memiliki masalah terbatasnya kapasitas penjara, baik
jumlah bangunan penjara maupun luasnya setiap penjara. Hal itu ditunjukkan
dengan terlalu banyaknya isi penjara dibandingkan dengan kapasitas yang
tersedia. Penjara yang seharusnya hanya untuk menampung tiga ratus narapidana,
digunakan untuk 1.500 narapidana. Artinya, kelebihan isi penjara sudah mencapai
500% dibandingkan daya tampung penjara.
Kementerian Hukum dan Ham Republik Indonesia tampaknya
ingin mengatasi masalah tersebut dengan cara menambah jumlah penjara,
memperluas setiap penjara yang ada, dan menambah jumlah sipir penjara. Hal itu
jelas memerlukan dana yang sangat besar dan waktu yang teramat panjang untuk
mewujudkannya.
Cara penyelesaian seperti itu hanya terfokus pada
bangunan penjara dan itu cukup sulit. Di samping itu, penambahan jumlah
bangunan dan perluasan luas bangunan tidak akan menyelesaikan masalah karena
kita tidak tahu akan seberapa banyak lagi napi yang akan masuk. Bisa jadi
meskipun jumlah bangunan ditambah dan luasnya juga ditambah, tetap tidak akan
bisa menampung napi karena jumlah tahanan semakin banyak dan terus bertambah
banyak.
Bagaimana jika kita mencari penyelesaian lain di luar
segala hal yang terkait dengan fisik penjara?
Bagaimana kalau kita berpikir untuk mengurangi isi
penjara?
Bagaimana kalau kita mencari cara agar tidak terlalu
banyak orang yang menjadi tahanan?
Paling tidak, ada dua cara yang terlintas dalam pikiran
saya untuk mengurangi isi penjara.
Pertama, cara
lama, kuno, tetapi ampuh adalah membuat orang sadar agar tidak melakukan
kejahatan melalui pengajaran agama, budi pekerti, budaya, pendidikan, serta
pemerataan dan keadilan ekonomi. Cara ini tampak seperti cara utopis yang
menghasilkan hal utopis pula, tampaknya seperti lamunan atau khayalan. Kita
menganggapnya khayalan karena cara ini dalam kenyataannya tidak terlalu banyak
mengubah hidup manusia untuk menjadi lebih baik yang ditandai dengan masih
bertambahnya angka kejahatan.
Sesungguhnya, yang menjadikan cara ini sebagai lamunan
dan khayalan adalah kita-kita juga yang tidak pernah serius menggunakan cara
ini untuk memperbaiki hidup manusia dan kemanusiaan. Manusia hanya terfokus
pada upaya terhadap pengejaran kecerdasan, kehormatan, dan kekayaan. Bahkan,
para pengajar agama, budi pekerti, budaya, dan para pendidik pun ikut terjebak berada
dalam pusaran pengejaran terhadap kecerdasan, kehormatan, dan kekayaan. Sangat
sedikit manusia yang mendedikasikan dirinya terhadap kejujuran, kebaikan, dan
kasih sayang. Bahkan, orang-orang baik ini kerap “tersingkir” dari pentas
kehidupan manusia serta terpisah di tempat-tempat tinggi dan mulia tanpa mampu
menembus tembok hiruk-pikuk manusia yang menyebabkan banyaknya kerancuan hidup.
Mereka tak mampu bergerak banyak karena kekurangan sarana dan prasarana untuk
menebarkan kebaikan dan pengajaran cinta kepada manusia. Akibatnya, kejahatan
manusia atas manusia lainnya meningkat sangat cepat yang ditunjukkan oleh
penuhnya penjara hingga melebihi daya tampungnya.
Kedua, pengubahan
bentuk hukuman. Dalam masa ini manusia kerap berpikir dalam menangani masalah
kejahatan besar dan kecil dengan cara mengurung manusia. Itulah penyebab
penuhnya penjara melebihi kapasitas yang seharusnya.
Soal pengubahan hukuman ini adalah soal kesepakatan
bersama. Jenis hukuman yang selama ini digunakan sebaiknya diubah dengan hukuman
lain, misalnya, mempercepat pelaksanaan hukuman mati dan memperbanyak hukuman
mati, penghilangan anggota tubuh, atau kerja wajib.
Indonesia sudah menggunakan hukuman mati dan itu adalah
teramat bagus. Akan tetapi, lebih bagus lagi jika hukuman mati itu ditambah
untuk jenis-jenis kejahatan tertentu, misalnya, terhadap para koruptor dan
kejahatan berat lainnya yang sangat layak untuk mendapatkan hukuman mati.
Proses hukuman mati ini harus dipercepat, jangan dibiarkan berlarut-larut
karena penjara sudah sangat penuh. Kalau sudah pasti secara hukum harus dihukum
mati, ya secepatnya dibuat mati saja.
Penghilangan anggota tubuh adalah jenis hukuman yang
digunakan pada zaman kerajaan dulu, baik di Eropa, Arab, Cina, maupun
Indonesia. Misalnya, pencuri dihukum potong tangan. Adapula potong kaki dan
pelemparan batu pada para pezinah, termasuk penggantungan terhadap penista
agama. Hukuman jenis ini diberlakukan di seluruh dunia pada masa lalu. Pada
masa ini Kerajaan Arab Saudi adalah negara yang menggunakan hukum penghilangan
anggota tubuh sehingga penjara tidak terlalu penuh.
Kalau mendengar potong tangan atau potong kaki, jangan
terlalu merasa ngeri. Memang mengerikan sih, tetapi itu kan hukuman. Jangan
dibayangkan hukuman potong tangan itu seluruh tangan dari pangkal lengan sampai
jari tangan dipotong sehingga orang menjadi buntung. Ini kan soal kesepakatan.
Bisa disepakati bagian tangan yang dipotong itu hanya sebatas “buku” atau
sebatas kuku tangan atau kuku kaki. Hukuman itu pun bisa disepakati dilakukan
oleh tenaga medis dengan cara terhukum dibius dulu hingga tidak sadar dan tidak
merasakan hukuman itu berlangsung, tetapi ketika bangun, ada bagian tubuhnya
yang hilang. Tidak perlu masuk penjara, segera saja disuruh pulang. Penjara
jadi sangat berkurang isinya.
Hukuman penghilangan nyawa dan penghilangan anggota tubuh
ini paling dibenci oleh para pegiat Ham dan para ateis. Saya sering berdebat
dengan mereka soal jenis-jenis hukuman ini. Mereka terlalu banyak membela para
terhukum dan meminalisasi rasa sakit yang diderita manusia akibat hukuman dalam
kaca mata mereka sebagai manusia. Mereka manusia yang memiliki pandangan sendiri,
tetapi saya juga manusia yang punya pandangan sendiri. Bedanya, saya
menggunakan kebenaran yang disampaikan Allah swt dalam Al Quran. Soal ini baca
saja tulisan saya yang lalu berjudul Menegakkan
Hukum dengan Cinta masih di blog ini juga. Saudara-saudara insyaallah akan mengatakan bahwa saya
benar.
Di samping pengubahan hukuman dengan penghilangan anggota
tubuh pun, bisa pula dengan kerja wajib. Para terhukum harus menjalani kerja
wajib yang ditentukan oleh negara, misalnya, membuka hutan atau merehabilitasi
hutan, membuat bendungan-bendungan, membuka aliran sungai, membuka lahan
pesawahan, membuat kanal-kanal untuk menyuburi tanah yang masih gersang,
mengangkut batu, membangun pelabuhan, membuat kapal-kapal nelayan, membangun
infrastruktur jalan, dan pekerjaan lain yang bermanfaat bagi orang banyak,
negara, mapun dirinya sendiri.
Pengubahan bentuk hukuman ini akan membuat para terhukum
tersadar dan mendapatkan keahlian baru dalam hidupnya yang dapat digunakan oleh
dirinya setelah habis masa hukumannya. Bahkan, mungkin akan ada banyak
narapidana yang betah dengan kerja wajib itu sehingga akan menjadikan
hukumannya sebagai profesinya kelak. Dengan demikian, hukuman kerja wajib ini
pun di samping dapat membuat lapangan kerja baru, warga negara yang terampil,
dan menjauhkan rakyat dari pengaruh Narkoba dan gerakan radikalisme yang
biasanya didapat justru di dalam penjara.
Sungguh, agama, budaya, budi pekerti, pendidikan, dan
pengubahan jenis hukuman dapat menjadi solusi bagi banyak permasalahan di
Indonesia. Kelebihan isi penjara yang mencapai 500% itu hanyalah salah satu
masalah yang bisa diselesaikan dengan pengubahan cara pandang, pengayoman
kepada rakyat, dan pengubahan jenis hukuman.
Sampurasun.
No comments:
Post a Comment