Sunday 7 May 2017

Mengatasi Keterbatasan Kapasitas Penjara

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Persoalan keterbatasan bangunan penjara, keterbatasan kapasitasnya, keterbatasan fasilitasnya, buruknya hubungan antarnapi, dan kecurangan oknum petugas adalah permasalahan dunia. Setiap negara memiliki masalah masing-masing terkait hal ini. Indonesia dalam tahun-tahun terakhir ini memiliki masalah terbatasnya kapasitas penjara, baik jumlah bangunan penjara maupun luasnya setiap penjara. Hal itu ditunjukkan dengan terlalu banyaknya isi penjara dibandingkan dengan kapasitas yang tersedia. Penjara yang seharusnya hanya untuk menampung tiga ratus narapidana, digunakan untuk 1.500 narapidana. Artinya, kelebihan isi penjara sudah mencapai 500% dibandingkan daya tampung penjara.

            Kementerian Hukum dan Ham Republik Indonesia tampaknya ingin mengatasi masalah tersebut dengan cara menambah jumlah penjara, memperluas setiap penjara yang ada, dan menambah jumlah sipir penjara. Hal itu jelas memerlukan dana yang sangat besar dan waktu yang teramat panjang untuk mewujudkannya.

            Cara penyelesaian seperti itu hanya terfokus pada bangunan penjara dan itu cukup sulit. Di samping itu, penambahan jumlah bangunan dan perluasan luas bangunan tidak akan menyelesaikan masalah karena kita tidak tahu akan seberapa banyak lagi napi yang akan masuk. Bisa jadi meskipun jumlah bangunan ditambah dan luasnya juga ditambah, tetap tidak akan bisa menampung napi karena jumlah tahanan semakin banyak dan terus bertambah banyak.

            Bagaimana jika kita mencari penyelesaian lain di luar segala hal yang terkait dengan fisik penjara?

            Bagaimana kalau kita berpikir untuk mengurangi isi penjara?

            Bagaimana kalau kita mencari cara agar tidak terlalu banyak orang yang menjadi tahanan?

            Paling tidak, ada dua cara yang terlintas dalam pikiran saya untuk mengurangi isi penjara.

            Pertama, cara lama, kuno, tetapi ampuh adalah membuat orang sadar agar tidak melakukan kejahatan melalui pengajaran agama, budi pekerti, budaya, pendidikan, serta pemerataan dan keadilan ekonomi. Cara ini tampak seperti cara utopis yang menghasilkan hal utopis pula, tampaknya seperti lamunan atau khayalan. Kita menganggapnya khayalan karena cara ini dalam kenyataannya tidak terlalu banyak mengubah hidup manusia untuk menjadi lebih baik yang ditandai dengan masih bertambahnya angka kejahatan.

            Sesungguhnya, yang menjadikan cara ini sebagai lamunan dan khayalan adalah kita-kita juga yang tidak pernah serius menggunakan cara ini untuk memperbaiki hidup manusia dan kemanusiaan. Manusia hanya terfokus pada upaya terhadap pengejaran kecerdasan, kehormatan, dan kekayaan. Bahkan, para pengajar agama, budi pekerti, budaya, dan para pendidik pun ikut terjebak berada dalam pusaran pengejaran terhadap kecerdasan, kehormatan, dan kekayaan. Sangat sedikit manusia yang mendedikasikan dirinya terhadap kejujuran, kebaikan, dan kasih sayang. Bahkan, orang-orang baik ini kerap “tersingkir” dari pentas kehidupan manusia serta terpisah di tempat-tempat tinggi dan mulia tanpa mampu menembus tembok hiruk-pikuk manusia yang menyebabkan banyaknya kerancuan hidup. Mereka tak mampu bergerak banyak karena kekurangan sarana dan prasarana untuk menebarkan kebaikan dan pengajaran cinta kepada manusia. Akibatnya, kejahatan manusia atas manusia lainnya meningkat sangat cepat yang ditunjukkan oleh penuhnya penjara hingga melebihi daya tampungnya.

            Kedua, pengubahan bentuk hukuman. Dalam masa ini manusia kerap berpikir dalam menangani masalah kejahatan besar dan kecil dengan cara mengurung manusia. Itulah penyebab penuhnya penjara melebihi kapasitas yang seharusnya.

            Soal pengubahan hukuman ini adalah soal kesepakatan bersama. Jenis hukuman yang selama ini digunakan sebaiknya diubah dengan hukuman lain, misalnya, mempercepat pelaksanaan hukuman mati dan memperbanyak hukuman mati, penghilangan anggota tubuh, atau kerja wajib.

            Indonesia sudah menggunakan hukuman mati dan itu adalah teramat bagus. Akan tetapi, lebih bagus lagi jika hukuman mati itu ditambah untuk jenis-jenis kejahatan tertentu, misalnya, terhadap para koruptor dan kejahatan berat lainnya yang sangat layak untuk mendapatkan hukuman mati. Proses hukuman mati ini harus dipercepat, jangan dibiarkan berlarut-larut karena penjara sudah sangat penuh. Kalau sudah pasti secara hukum harus dihukum mati, ya secepatnya dibuat mati saja.

            Penghilangan anggota tubuh adalah jenis hukuman yang digunakan pada zaman kerajaan dulu, baik di Eropa, Arab, Cina, maupun Indonesia. Misalnya, pencuri dihukum potong tangan. Adapula potong kaki dan pelemparan batu pada para pezinah, termasuk penggantungan terhadap penista agama. Hukuman jenis ini diberlakukan di seluruh dunia pada masa lalu. Pada masa ini Kerajaan Arab Saudi adalah negara yang menggunakan hukum penghilangan anggota tubuh sehingga penjara tidak terlalu penuh.

            Kalau mendengar potong tangan atau potong kaki, jangan terlalu merasa ngeri. Memang mengerikan sih, tetapi itu kan hukuman. Jangan dibayangkan hukuman potong tangan itu seluruh tangan dari pangkal lengan sampai jari tangan dipotong sehingga orang menjadi buntung. Ini kan soal kesepakatan. Bisa disepakati bagian tangan yang dipotong itu hanya sebatas “buku” atau sebatas kuku tangan atau kuku kaki. Hukuman itu pun bisa disepakati dilakukan oleh tenaga medis dengan cara terhukum dibius dulu hingga tidak sadar dan tidak merasakan hukuman itu berlangsung, tetapi ketika bangun, ada bagian tubuhnya yang hilang. Tidak perlu masuk penjara, segera saja disuruh pulang. Penjara jadi sangat berkurang isinya.

            Hukuman penghilangan nyawa dan penghilangan anggota tubuh ini paling dibenci oleh para pegiat Ham dan para ateis. Saya sering berdebat dengan mereka soal jenis-jenis hukuman ini. Mereka terlalu banyak membela para terhukum dan meminalisasi rasa sakit yang diderita manusia akibat hukuman dalam kaca mata mereka sebagai manusia. Mereka manusia yang memiliki pandangan sendiri, tetapi saya juga manusia yang punya pandangan sendiri. Bedanya, saya menggunakan kebenaran yang disampaikan Allah swt dalam Al Quran. Soal ini baca saja tulisan saya yang lalu berjudul Menegakkan Hukum dengan Cinta masih di blog ini juga. Saudara-saudara insyaallah akan mengatakan bahwa saya benar.

            Di samping pengubahan hukuman dengan penghilangan anggota tubuh pun, bisa pula dengan kerja wajib. Para terhukum harus menjalani kerja wajib yang ditentukan oleh negara, misalnya, membuka hutan atau merehabilitasi hutan, membuat bendungan-bendungan, membuka aliran sungai, membuka lahan pesawahan, membuat kanal-kanal untuk menyuburi tanah yang masih gersang, mengangkut batu, membangun pelabuhan, membuat kapal-kapal nelayan, membangun infrastruktur jalan, dan pekerjaan lain yang bermanfaat bagi orang banyak, negara, mapun dirinya sendiri.

            Pengubahan bentuk hukuman ini akan membuat para terhukum tersadar dan mendapatkan keahlian baru dalam hidupnya yang dapat digunakan oleh dirinya setelah habis masa hukumannya. Bahkan, mungkin akan ada banyak narapidana yang betah dengan kerja wajib itu sehingga akan menjadikan hukumannya sebagai profesinya kelak. Dengan demikian, hukuman kerja wajib ini pun di samping dapat membuat lapangan kerja baru, warga negara yang terampil, dan menjauhkan rakyat dari pengaruh Narkoba dan gerakan radikalisme yang biasanya didapat justru di dalam penjara.

            Sungguh, agama, budaya, budi pekerti, pendidikan, dan pengubahan jenis hukuman dapat menjadi solusi bagi banyak permasalahan di Indonesia. Kelebihan isi penjara yang mencapai 500% itu hanyalah salah satu masalah yang bisa diselesaikan dengan pengubahan cara pandang, pengayoman kepada rakyat, dan pengubahan jenis hukuman.


            Sampurasun.

No comments:

Post a Comment