Monday 8 May 2017

Keputusan Hakim Bukan Keputusan Allah swt

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Hakim adalah manusia, sedangkan Allah swt adalah Sang Pencipta. Hal itu sudah jelas. Jadi, kita tidak pernah boleh mengatakan bahwa keputusan hakim adalah keputusan Allah swt. Apalagi jika kita memperhatikan bahwa banyaknya hakim di dunia ini yang justru berubah posisinya menjadi yang dihakimi, terdakwa, bahkan terpidana karena mendapatkan suap atau melakukan perilaku buruk lainnya.

            Meskipun demikian, keputusan hakim adalah harus dianggap benar demi tegaknya sistem hukum di Indonesia maupun di dunia ini. Dianggap benar bukanlah berarti mutlak benar. Oleh sebab itu, pintu-pintu untuk mencari kebenaran dan keadilan masih dibuka lebar, baik itu melalui banding, peninjauan kembali, maupun grasi.

            Benar menurut hakim, belum tentu benar menurut Allah swt. Belum tentu itu artinya bisa sama, bisa pula bertolak belakang. Akan tetapi, jika sebuah vonis hakim terjadi dan dilaksanakan secara nyata, itu berarti mendapatkan “izin” dari Allah swt untuk terjadi. Pemberian izin itu bukan berarti benar. Izin itu sama dengan “boleh” atau “bisa”. Hal ini sama dengan Allah swt mengizinkan terjadinya peredaran Narkoba, pemerkosaan, pembunuhan, dan berbagai kejahatan lainnya. Sama pula dengan Allah swt mengizinkan terjadinya perbuatan-perbuatan baik manusia. Jika tidak mendapatkan izin dari Allah swt, perbuatan jahat dan perbuatan baik manusia tidak akan pernah terjadi.

            Lantas, mengapa Allah swt mengizinkan semua hal jahat terjadi?

            Jawabannya, semua hal yang diizinkan terjadi adalah untuk menguji manusia agar memastikan dirinya sebagai manusia untuk berada dalam kebenaran atau berada dalam kejahatan. Melalui ujian-ujian itulah Allah swt menilai kualitas setiap diri manusia yang pada akhirnya akan dikumpulkan di akhirat nanti. Sebagian ada di surga, sebagian lagi ada di neraka.

            Bukankah Allah swt mengizinkan Iblis dan syetan-syetan untuk mengganggu manusia agar hidup dalam kesesatan?

            Vonis hakim bisa salah dan bisa benar. Akan tetapi, Allah swt selalu benar. Itulah bahayanya posisi hakim. Jika sesuai dengan kehendak Allah swt, dimuliakanlah hakim itu. Akan tetapi, jika bertentangan dengan kehendak Allah swt, rugilah hakim itu dan Allah swt akan menunjukkan hukuman-Nya, baik di dunia ini maupun di akhirat nanti. Oleh sebab itu, setiap hakim harus lebih banyak berhubungan dengan Allah swt agar dapat memutuskan perkara dengan seadil-adilnya dan tidak bertentangan dengan keinginan Allah swt sehingga merugikan diri hakim sendiri.

            Tak heran, di Indonesia namanya adalah “hakim” yang berarti “pemilik hikmah”. Hikmah sendiri berarti “rahasia”, bahkan ada yang mengartikan “rahasia di balik rahasia”. Artinya, hakim adalah pemilik “pengetahuan yang tidak bisa dilihat oleh manusia biasa” dan mampu untuk mewujudkan rahasia itu ke dalam pemahaman manusia biasa agar dapat dimengerti oleh semua orang.

            Karena hakim adalah manusia seperti kita-kita juga, berbeda pendapat dengan hakim adalah boleh dan sah. Meskipun demikian, keputusan hakim tetap harus dijalankan. Perbedaan pendapat adalah soal ilmu pengetahuan. Adapun keputusan hakim adalah mengikat agar adanya kepastian hukum dan untuk tegaknya lembaga peradilan. Sedih, kecewa, dan marah atas keputusan hakim itu boleh. Gembira, senang, bersuka ria atas keputusan hakim juga boleh. Tidak setuju dengan keputusan hakim adalah sah. Setuju dengan keputusan hakim juga sah. Hal yang sangat dilarang adalah menggunakan aksi-aksi inkonstitusional untuk menggugat keputusan hakim sehingga mengganggu kehidupan berbangsa dan bernegara yang seharusnya berada dalam keadaan tertib dan harmonis.


            Sampurasun.

No comments:

Post a Comment