oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Hakim adalah manusia,
sedangkan Allah swt adalah Sang Pencipta. Hal itu sudah jelas. Jadi, kita tidak
pernah boleh mengatakan bahwa keputusan hakim adalah keputusan Allah swt.
Apalagi jika kita memperhatikan bahwa banyaknya hakim di dunia ini yang justru
berubah posisinya menjadi yang dihakimi, terdakwa, bahkan terpidana karena
mendapatkan suap atau melakukan perilaku buruk lainnya.
Meskipun demikian, keputusan hakim adalah harus dianggap
benar demi tegaknya sistem hukum di Indonesia maupun di dunia ini. Dianggap
benar bukanlah berarti mutlak benar. Oleh sebab itu, pintu-pintu untuk mencari
kebenaran dan keadilan masih dibuka lebar, baik itu melalui banding, peninjauan
kembali, maupun grasi.
Benar menurut hakim, belum tentu benar menurut Allah swt.
Belum tentu itu artinya bisa sama, bisa pula bertolak belakang. Akan tetapi,
jika sebuah vonis hakim terjadi dan dilaksanakan secara nyata, itu berarti
mendapatkan “izin” dari Allah swt untuk terjadi. Pemberian izin itu bukan
berarti benar. Izin itu sama dengan “boleh” atau “bisa”. Hal ini sama dengan
Allah swt mengizinkan terjadinya peredaran Narkoba, pemerkosaan, pembunuhan,
dan berbagai kejahatan lainnya. Sama pula dengan Allah swt mengizinkan
terjadinya perbuatan-perbuatan baik manusia. Jika tidak mendapatkan izin dari
Allah swt, perbuatan jahat dan perbuatan baik manusia tidak akan pernah
terjadi.
Lantas, mengapa Allah swt mengizinkan semua hal jahat
terjadi?
Jawabannya, semua hal yang diizinkan terjadi adalah untuk
menguji manusia agar memastikan dirinya sebagai manusia untuk berada dalam
kebenaran atau berada dalam kejahatan. Melalui ujian-ujian itulah Allah swt
menilai kualitas setiap diri manusia yang pada akhirnya akan dikumpulkan di
akhirat nanti. Sebagian ada di surga, sebagian lagi ada di neraka.
Bukankah Allah swt mengizinkan Iblis dan syetan-syetan
untuk mengganggu manusia agar hidup dalam kesesatan?
Vonis hakim bisa salah dan bisa benar. Akan tetapi, Allah
swt selalu benar. Itulah bahayanya posisi hakim. Jika sesuai dengan kehendak
Allah swt, dimuliakanlah hakim itu. Akan tetapi, jika bertentangan dengan
kehendak Allah swt, rugilah hakim itu dan Allah swt akan menunjukkan
hukuman-Nya, baik di dunia ini maupun di akhirat nanti. Oleh sebab itu, setiap
hakim harus lebih banyak berhubungan dengan Allah swt agar dapat memutuskan perkara
dengan seadil-adilnya dan tidak bertentangan dengan keinginan Allah swt
sehingga merugikan diri hakim sendiri.
Tak heran, di Indonesia namanya adalah “hakim” yang
berarti “pemilik hikmah”. Hikmah sendiri berarti “rahasia”, bahkan ada yang
mengartikan “rahasia di balik rahasia”. Artinya, hakim adalah pemilik “pengetahuan
yang tidak bisa dilihat oleh manusia biasa” dan mampu untuk mewujudkan rahasia
itu ke dalam pemahaman manusia biasa agar dapat dimengerti oleh semua orang.
Karena hakim adalah manusia seperti kita-kita juga,
berbeda pendapat dengan hakim adalah boleh dan sah. Meskipun demikian,
keputusan hakim tetap harus dijalankan. Perbedaan pendapat adalah soal ilmu
pengetahuan. Adapun keputusan hakim adalah mengikat agar adanya kepastian hukum
dan untuk tegaknya lembaga peradilan. Sedih, kecewa, dan marah atas keputusan
hakim itu boleh. Gembira, senang, bersuka ria atas keputusan hakim juga boleh.
Tidak setuju dengan keputusan hakim adalah sah. Setuju dengan keputusan hakim
juga sah. Hal yang sangat dilarang adalah menggunakan aksi-aksi
inkonstitusional untuk menggugat keputusan hakim sehingga mengganggu kehidupan
berbangsa dan bernegara yang seharusnya berada dalam keadaan tertib dan
harmonis.
Sampurasun.
No comments:
Post a Comment