oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Para ulama harus
mengembangkan dirinya mempelajari banyak ilmu pengetahuan, misalnya, sosiologi,
politik, kemanusiaan, pemerintahan, dan terutama sejarah. Ilmu-ilmu itu harus
didapat dari buku-buku yang ditulis berdasarkan metode-metode ilmiah dan bukan dari
pemahaman-pemahaman lama yang kerap bercampur dengan khayalan dan imajinasi
para penulisnya, sebagaimana yang dikatakan Mohammad Haekal. Dengan memiliki
banyak ilmu, ulama dapat mengejar ketertinggalan zaman dan berlari cepat
meninggalkan zaman sehingga memiliki banyak alternatif, wawasan, dan solusi untuk
berbagai bidang hidup manusia.
Jika hanya memiliki ilmu-ilmu lama yang kadang-kadang
sudah out of date alias kedaluwarsa,
umat Islam tidak akan pernah berkembang dengan cepat karena murid-murid para
ulama itu akan berputar di situ-situ saja. Para generasi muda akan mengikuti
gurunya dengan ilmu yang dimiliki gurunya tanpa mendapatkan pemahaman baru yang
lebih berkembang. Lebih parah lagi jika para murid itu tidak memiliki
keberanian untuk mempertanyakan berbagai hal yang seharusnya ditanyakan. Mereka
hanya akan menjadi generasi taklid yang selalu mematuhi gurunya meskipun
ilmu-ilmu gurunya itu sudah banyak yang harus diperbaiki. Lebih jauh lagi, jika
ada pihak lain yang memiliki ilmu yang sudah berkembang dan berani berpikir
lebih ke depan, kemungkinan akan menuduhnya sebagai sesat dan dianggap menghina
para ulama. Padahal, para ulama itu yang sesungguhnya ilmunya di situ-situ saja.
Tidak adanya perkembangan ilmu yang dimiliki ulama dan
kebiasaan taklid dari para muridnya inilah yang sangat dicela oleh Pemimpin
Besar Revolusi Indonesia Soekarno.
“Bagaimana kita
punya kiyai-kiyai dan ulama-ulama?
Tajwidnya bagus, tetapi pengetahuan
tentang sejarah umumnya nihil. Paling mujur, mereka hanya mengetahui tarikh
Islam.
Hal ini pun terambil dari buku-buku
Islam kuno yang tak dapat tahan ujiannya modern
science, yakni tak dapat tahan ujiannya pengetahuan modern!
Padahal, justru sejarah yang mereka
abaikan itu, persaksian sejarah yang mereka remehkan itu, adalah membuktikan
dengan nyata dan dahsyat bahwa dunia Islam sangatlah mundur semenjak muncul
aturan taklid. Dunia Islam adalah laksana bangkai yang hidup semenjak ada
anggapan bahwa pintu ijtihad sekarang termasuk tanah yang sangar.
Dunia Islam mati geniusnya semenjak ada anggapan bahwa mustahil ada mujtahid
yang bisa melebihi ‘imam yang empat’, jadi harus mentaklid saja kepada
tiap-tiap kiyai dan ulama dari sesuatu mazhab yang empat itu!
Alangkah baiknya kalau kita punya
pemuka-pemuka agama yang mampu mempelajari sejarah dan tidak hanya mati-hidup,
bangun-tidur dengan kitab fiqih dan kitab parukunan saja!”
Soekarno sangat tidak
menyukai berhentinya ilmu pengetahuan dan membenci tidak adanya kemauan untuk
mempelajari ilmu pengetahuan. Saya tidak tahu pasti apakah kiyai dan ulama
sekarang masih sebagaimana yang dikatakan Soekarno pada masanya dulu, yaitu
tetap saja menggunakan buku-buku yang tidak tahan ujian ilmu modern atau sudah
melangkah jauh mempelajari banyak hal. Akan tetapi, saya memiliki dugaan keras
hampir tidak ada bedanya ulama dulu dengan sekarang, yaitu tidak ada yang
mendorong dirinya dan muridnya untuk maju melangkah lebih cerdas daripada “imam
yang empat itu”. Seolah-olah ilmu-ilmu Islam mati dan terbatas pada imam yang
empat itu. Demikian pula tentang ilmu-ilmu hadits, tak pernah saya mendengar
ada kiyai atau ulama yang mendorong muridnya untuk lebih cerdas dibandingkan Bukhari dan Muslim. Seolah-olah, hanya Bukhari
dan Muslim-lah yang layak dijadikan panutan sampai Hari Kiamat. Padahal, jika
didorong lebih kuat yang dimulai dengan tidak mewajibkan untuk selalu patuh dan
mengikuti ilmu-ilmu lama, generasi muda Islam sangat mungkin memiliki daya
jelajah ilmu pengetahuan yang lebih kuat dan lebih besar sehingga memunculkan
sosok-sosok pemikir Islam modern yang ilmu pengetahuannya mampu tahan uji
ketika diuji dengan metode-metode ilmiah.
Bagaimana tidak berkembang pengetahuan sejarah umat Islam?
Kisah Isra Miraj saja babak belur dari segi kronologis
kejadian, tetapi tetap saja diceramahkan di mana-mana bahwa Nabi Muhammad saw
diperjalankan dari Mekah ke Palestina. Itu artinya, umat Islam masih bertahan
pada ilmu-ilmu kuno yang sudah kedaluwarsa.
Isra Miraj itu terjadi pada 620 Masehi. Masjid Umar
dibangun pada 638 Masehi. Lalu, perkembangan berikutnya diperluas dan namanya
diganti menjadi Masjid Al Aqsha.
Mana mungkin Allah swt memperjalankan Nabi Muhammad saw
ke masjid yang belum ada, bahkan tanah itu masih dikuasai pasukan Romawi yang
gemar pesta dan bermabuk-mabukan?
Anehnya, masih saja ada yang berceritera di mimbar-mimbar
bahwa itu tidak bisa dipahami dengan akal dan harus dipercayai melalui iman.
Itu semua adalah kekuasaan Allah swt. Sudah tahu tidak tahan uji karena tahun
kejadiannya juga berbeda-beda, masih juga diomong-omongin. Aneh.
Hal itu menandakan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan di
kalangan umat Islam mengalami hambatan serius. Tak heran jika Soekarno mengatakan
bahwa jika umat Islam tidak mau berubah, niscaya tetap hina, mesum, dan
tertinggal zaman seribu tahun lamanya.
Sampurasun.
No comments:
Post a Comment