Tuesday 9 May 2017

Ulama Harus Belajar Banyak Ilmu

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Para ulama harus mengembangkan dirinya mempelajari banyak ilmu pengetahuan, misalnya, sosiologi, politik, kemanusiaan, pemerintahan, dan terutama sejarah. Ilmu-ilmu itu harus didapat dari buku-buku yang ditulis berdasarkan metode-metode ilmiah dan bukan dari pemahaman-pemahaman lama yang kerap bercampur dengan khayalan dan imajinasi para penulisnya, sebagaimana yang dikatakan Mohammad Haekal. Dengan memiliki banyak ilmu, ulama dapat mengejar ketertinggalan zaman dan berlari cepat meninggalkan zaman sehingga memiliki banyak alternatif, wawasan, dan solusi untuk berbagai bidang hidup manusia.

            Jika hanya memiliki ilmu-ilmu lama yang kadang-kadang sudah out of date alias kedaluwarsa, umat Islam tidak akan pernah berkembang dengan cepat karena murid-murid para ulama itu akan berputar di situ-situ saja. Para generasi muda akan mengikuti gurunya dengan ilmu yang dimiliki gurunya tanpa mendapatkan pemahaman baru yang lebih berkembang. Lebih parah lagi jika para murid itu tidak memiliki keberanian untuk mempertanyakan berbagai hal yang seharusnya ditanyakan. Mereka hanya akan menjadi generasi taklid yang selalu mematuhi gurunya meskipun ilmu-ilmu gurunya itu sudah banyak yang harus diperbaiki. Lebih jauh lagi, jika ada pihak lain yang memiliki ilmu yang sudah berkembang dan berani berpikir lebih ke depan, kemungkinan akan menuduhnya sebagai sesat dan dianggap menghina para ulama. Padahal, para ulama itu yang sesungguhnya ilmunya di situ-situ saja.

            Tidak adanya perkembangan ilmu yang dimiliki ulama dan kebiasaan taklid dari para muridnya inilah yang sangat dicela oleh Pemimpin Besar Revolusi Indonesia Soekarno.

            “Bagaimana kita punya kiyai-kiyai dan ulama-ulama?

            Tajwidnya bagus, tetapi pengetahuan tentang sejarah umumnya nihil. Paling mujur, mereka hanya mengetahui tarikh Islam.

            Hal ini pun terambil dari buku-buku Islam kuno yang tak dapat tahan ujiannya modern science, yakni tak dapat tahan ujiannya pengetahuan modern!

            Padahal, justru sejarah yang mereka abaikan itu, persaksian sejarah yang mereka remehkan itu, adalah membuktikan dengan nyata dan dahsyat bahwa dunia Islam sangatlah mundur semenjak muncul aturan taklid. Dunia Islam adalah laksana bangkai yang hidup semenjak ada anggapan bahwa pintu ijtihad sekarang termasuk tanah yang sangar.

            Dunia Islam mati geniusnya semenjak ada anggapan bahwa mustahil ada mujtahid yang bisa melebihi ‘imam yang empat’, jadi harus mentaklid saja kepada tiap-tiap kiyai dan ulama dari sesuatu mazhab yang empat itu!

            Alangkah baiknya kalau kita punya pemuka-pemuka agama yang mampu mempelajari sejarah dan tidak hanya mati-hidup, bangun-tidur dengan kitab fiqih dan kitab parukunan saja!”

            Soekarno sangat tidak menyukai berhentinya ilmu pengetahuan dan membenci tidak adanya kemauan untuk mempelajari ilmu pengetahuan. Saya tidak tahu pasti apakah kiyai dan ulama sekarang masih sebagaimana yang dikatakan Soekarno pada masanya dulu, yaitu tetap saja menggunakan buku-buku yang tidak tahan ujian ilmu modern atau sudah melangkah jauh mempelajari banyak hal. Akan tetapi, saya memiliki dugaan keras hampir tidak ada bedanya ulama dulu dengan sekarang, yaitu tidak ada yang mendorong dirinya dan muridnya untuk maju melangkah lebih cerdas daripada “imam yang empat itu”. Seolah-olah ilmu-ilmu Islam mati dan terbatas pada imam yang empat itu. Demikian pula tentang ilmu-ilmu hadits, tak pernah saya mendengar ada kiyai atau ulama yang mendorong muridnya untuk lebih cerdas dibandingkan Bukhari dan Muslim. Seolah-olah, hanya Bukhari dan Muslim-lah yang layak dijadikan panutan sampai Hari Kiamat. Padahal, jika didorong lebih kuat yang dimulai dengan tidak mewajibkan untuk selalu patuh dan mengikuti ilmu-ilmu lama, generasi muda Islam sangat mungkin memiliki daya jelajah ilmu pengetahuan yang lebih kuat dan lebih besar sehingga memunculkan sosok-sosok pemikir Islam modern yang ilmu pengetahuannya mampu tahan uji ketika diuji dengan metode-metode ilmiah.

            Bagaimana tidak berkembang pengetahuan sejarah umat Islam?

            Kisah Isra Miraj saja babak belur dari segi kronologis kejadian, tetapi tetap saja diceramahkan di mana-mana bahwa Nabi Muhammad saw diperjalankan dari Mekah ke Palestina. Itu artinya, umat Islam masih bertahan pada ilmu-ilmu kuno yang sudah kedaluwarsa.

            Isra Miraj itu terjadi pada 620 Masehi. Masjid Umar dibangun pada 638 Masehi. Lalu, perkembangan berikutnya diperluas dan namanya diganti menjadi Masjid Al Aqsha.

            Mana mungkin Allah swt memperjalankan Nabi Muhammad saw ke masjid yang belum ada, bahkan tanah itu masih dikuasai pasukan Romawi yang gemar pesta dan bermabuk-mabukan?

            Anehnya, masih saja ada yang berceritera di mimbar-mimbar bahwa itu tidak bisa dipahami dengan akal dan harus dipercayai melalui iman. Itu semua adalah kekuasaan Allah swt. Sudah tahu tidak tahan uji karena tahun kejadiannya juga berbeda-beda, masih juga diomong-omongin. Aneh.

            Hal itu menandakan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan di kalangan umat Islam mengalami hambatan serius. Tak heran jika Soekarno mengatakan bahwa jika umat Islam tidak mau berubah, niscaya tetap hina, mesum, dan tertinggal zaman seribu tahun lamanya.


            Sampurasun.

No comments:

Post a Comment