oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Kita harus membedakan antara
sistem khilafah dengan arti khilafah secara bahasa. Arti khilafah secara bahasa
adalah “pengganti” atau “pewaris”. Secara bahasa, semua orang pasti setuju
bahwa sebuah kepemimpinan jika sudah berhenti, harus ada penggantinya untuk
meneruskannya. Kepemimpinan sistem apapun harus ada penggantinya untuk
meneruskan kepemimpinan. Semudah itu untuk memahaminya.
Pemahaman menjadi lebih sulit dan semrawut ketika
khalifah ini diartikan sebagai sistem khilafah yang telah runtuh itu yang
diakibatkan berbagai sebab. Ketika sistem khilafah ini runtuh, selesailah
kekhalifahan secara sistem. Kekhalifahan memang runtuh, tetapi Islam tidak runtuh.
Bahkan, Islam lebih cepat menyebar ke seluruh dunia hingga sekarang ini tanpa
menggunakan sistem kekhalifahan yang tersambung ke Turki.
Begitu pula umat Islam Indonesia tidak pernah tersambung
dengan sistem kekhalifahan pada masa lalu. Umat Islam Indonesia hidup dengan
sistem masing-masing di wilayahnya masing-masing. Umat Islam Indonesia sejak
zaman Rasulullah saw sama sekali tidak terhubung pada sistem di Mekah itu. Hal
itu disebabkan sistem khilafah hanyalah sebuah sistem politik yang ada di wilayah
tertentu pada saat itu.
Coba itu baca tulisan teman saya Dr. H. Gunawan Undang di
blog ini yang berjudul Teori Kapur Barus”
Prof. Hamka Terbukti?. Dalam tulisan itu dipaparkan bagaimana para sahabat
pada zaman Nabi Muhammad saw berduyun-duyun berdatangan ke Indonesia
menyebarkan ajaran Islam dan tidak mengaitkan Indonesia pada sistem khilafah.
Hal itu menunjukkan bahwa sistem khilafah bukanlah ajaran ajaran Islam. Itu
hanya sebuah sistem politik yang digunakan saat itu pada wilayah tertentu.
Para pendukung sistem khilafah tidak pernah bisa
menemukan ayat Al Quran maupun Hadits yang mewajibkan untuk membentuk sistem politik khilafah. Semua dalil
yang digunakan mereka, baik dari Al Quran maupun Hadits adalah pendapat mereka
sendiri atau pendapat para ulama mereka. Kalau hanya pendapat, penafsiran,
opini manusia atau ulama, semua orang bisa berpendapat dan berhak menafsirkan
sepanjang tidak bertentangan dengan Al Quran. Bahkan, terkadang saya melihat
mereka memaksakan kehendak dengan menafsirkan ayat Al Quran maupun hadits
sebagai alasan atau dasar untuk mewajibkan sistem khilafah.
Kalau soal hukum-hukum yang belum dilaksanakan di
Indonesia sesuai dengan hukum pada masa lalu, tidak perlu harus menggunakan
sistem khilafah, sepakati saja hukum-hukum itu, lalu masukkan ke dalam lembaran
negara. Hukum itu pasti berlaku.
Persoalannya, sejauh mana dan sehebat apa kita memberikan
penyadaran kepada masyarakat tentang pentingnya penegakkan hukum yang tertulis
di dalam Al Quran itu?
Kalau cuma teriak-teriak pengecut dan putus asa dengan
menggunakan kata-kata kafir, sesat, bidah, musyrik, dan lain sebagainya dengan
iming-iming surga dan ancaman neraka, apalagi dengan hujatan penuh kebencian,
jangan harap masyarakat akan mengerti. Bahkan, masyarakat akan merasa jijik dan
marah.
Khilafah adalah fitrah manusia di seluruh dunia. Sistem
apa pun memerlukan pengganti untuk meneruskan kepemimpinan. Akan tetapi, sistem
khilafah hanyalah sebuah sistem politik yang pernah digunakan manusia dan kini
sudah runtuh oleh berbagai sebab, lalu diganti dengan sistem-sistem politik yang
baru. Untuk sistem politik, tak ada keharusan bentuk yang khusus, baik dari
Allah swt maupun Nabi Muhammad saw. Hal yang harus diperjuangkan adalah sistem
apa pun harus dapat menjamin praktik-praktik pengabdian manusia kepada Allah
swt dan memiliki kemungkinan untuk lebih menyempurnakan pengetahuan tentang
Islam dan penerapan syariat Islam dengan cara yang damai, terdidik, dan dapat
dipahami masyarakat.
Kalau diterapkan dengan cara kasar dan penuh kebencian, itu
namanya bukan rahmatan lil alamin. Itu
hanya memancing huru-hara dan keributan.
Sampurasun.
No comments:
Post a Comment