Friday, 12 May 2017

Sistem Khilafah Bukan Ajaran Islam

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Kita harus membedakan antara sistem khilafah dengan arti khilafah secara bahasa. Arti khilafah secara bahasa adalah “pengganti” atau “pewaris”. Secara bahasa, semua orang pasti setuju bahwa sebuah kepemimpinan jika sudah berhenti, harus ada penggantinya untuk meneruskannya. Kepemimpinan sistem apapun harus ada penggantinya untuk meneruskan kepemimpinan. Semudah itu untuk memahaminya.

            Pemahaman menjadi lebih sulit dan semrawut ketika khalifah ini diartikan sebagai sistem khilafah yang telah runtuh itu yang diakibatkan berbagai sebab. Ketika sistem khilafah ini runtuh, selesailah kekhalifahan secara sistem. Kekhalifahan memang runtuh, tetapi Islam tidak runtuh. Bahkan, Islam lebih cepat menyebar ke seluruh dunia hingga sekarang ini tanpa menggunakan sistem kekhalifahan yang tersambung ke Turki.

            Begitu pula umat Islam Indonesia tidak pernah tersambung dengan sistem kekhalifahan pada masa lalu. Umat Islam Indonesia hidup dengan sistem masing-masing di wilayahnya masing-masing. Umat Islam Indonesia sejak zaman Rasulullah saw sama sekali tidak terhubung pada sistem di Mekah itu. Hal itu disebabkan sistem khilafah hanyalah sebuah sistem politik yang ada di wilayah tertentu pada saat itu.

            Coba itu baca tulisan teman saya Dr. H. Gunawan Undang di blog ini yang berjudul Teori Kapur Barus” Prof. Hamka Terbukti?. Dalam tulisan itu dipaparkan bagaimana para sahabat pada zaman Nabi Muhammad saw berduyun-duyun berdatangan ke Indonesia menyebarkan ajaran Islam dan tidak mengaitkan Indonesia pada sistem khilafah. Hal itu menunjukkan bahwa sistem khilafah bukanlah ajaran ajaran Islam. Itu hanya sebuah sistem politik yang digunakan saat itu pada wilayah tertentu.

            Para pendukung sistem khilafah tidak pernah bisa menemukan ayat Al Quran maupun Hadits yang mewajibkan untuk membentuk sistem politik khilafah. Semua dalil yang digunakan mereka, baik dari Al Quran maupun Hadits adalah pendapat mereka sendiri atau pendapat para ulama mereka. Kalau hanya pendapat, penafsiran, opini manusia atau ulama, semua orang bisa berpendapat dan berhak menafsirkan sepanjang tidak bertentangan dengan Al Quran. Bahkan, terkadang saya melihat mereka memaksakan kehendak dengan menafsirkan ayat Al Quran maupun hadits sebagai alasan atau dasar untuk mewajibkan sistem khilafah.

            Kalau soal hukum-hukum yang belum dilaksanakan di Indonesia sesuai dengan hukum pada masa lalu, tidak perlu harus menggunakan sistem khilafah, sepakati saja hukum-hukum itu, lalu masukkan ke dalam lembaran negara. Hukum itu pasti berlaku.

            Persoalannya, sejauh mana dan sehebat apa kita memberikan penyadaran kepada masyarakat tentang pentingnya penegakkan hukum yang tertulis di dalam Al Quran itu?

            Kalau cuma teriak-teriak pengecut dan putus asa dengan menggunakan kata-kata kafir, sesat, bidah, musyrik, dan lain sebagainya dengan iming-iming surga dan ancaman neraka, apalagi dengan hujatan penuh kebencian, jangan harap masyarakat akan mengerti. Bahkan, masyarakat akan merasa jijik dan marah.

            Khilafah adalah fitrah manusia di seluruh dunia. Sistem apa pun memerlukan pengganti untuk meneruskan kepemimpinan. Akan tetapi, sistem khilafah hanyalah sebuah sistem politik yang pernah digunakan manusia dan kini sudah runtuh oleh berbagai sebab, lalu diganti dengan sistem-sistem politik yang baru. Untuk sistem politik, tak ada keharusan bentuk yang khusus, baik dari Allah swt maupun Nabi Muhammad saw. Hal yang harus diperjuangkan adalah sistem apa pun harus dapat menjamin praktik-praktik pengabdian manusia kepada Allah swt dan memiliki kemungkinan untuk lebih menyempurnakan pengetahuan tentang Islam dan penerapan syariat Islam dengan cara yang damai, terdidik, dan dapat dipahami masyarakat.

            Kalau diterapkan dengan cara kasar dan penuh kebencian, itu namanya bukan rahmatan lil alamin. Itu hanya memancing huru-hara dan keributan.


            Sampurasun.

No comments:

Post a Comment