oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Sesungguhnya, saya tidak
pernah mengerti apa itu yang disebut sistem pemerintahan Islam. Hal itu
disebabkan Allah swt dan Nabi Muhammad saw sendiri tidak pernah “mengharuskan, memerinci,
dan menegaskan” sebuah sistem pemerintahan tertentu yang “wajib” dilaksanakan. Kalau
ada, sebutkan surat apa dan ayat ke berapa di dalam Al Quran. Kalau ada,
sebutkan hadits shahih mana yang menjelaskan hal tersebut.
Di antara para pengkaji Islam sendiri banyak pendapat
tentang sistem pemerintahan Islam. Ada yang bernostalgia dengan sistem
kekhalifahan sehingga berpendapat bahwa sistem khilafah adalah sistem
pemerintahan Islam. Padahal, sistem ini sudah hancur sejak lama, sebagaimana
sistem pemerintahan lain pada zamannya yang digunakan Romawi dan Mongol. Pada
saat itu ketiga kekuatan dunia ini, yaitu kekhalifahan di Timur Tengah, Romawi,
dan Mongol sering berseteru untuk mempertahankan diri dan memperluas
wilayahnya. Teori yang dipergunakan mereka adalah pertahanan yang terbaik adalah melakukan penyerangan ke pihak lain.
Alhasil, ketiga kekuatan sistem pemerintahan itu runtuh.
Ada pula yang berpendapat bahwa sistem demokrasi adalah sesuai dengan cita-cita Islam, terutama
demokrasi parlementer. Ada banyak
kajian tentang hal ini.
Dari beberapa pendapat yang beredar, semuanya memiliki
dasar pemikiran masing-masing. Itu artinya setiap pemikir boleh berpendapat,
setiap orang boleh berpendapat. Tak ada larangan untuk itu. Selama hal itu
berputar dan “berasyik-asyik” dalam perbedaan pemikiran dan pendapat, semuanya
tetap dalam koridor kehidupan yang “beradab”. Akan tetapi, jika setiap
pendukung pemikiran-pemikiran itu menganggap bahwa pemikirannya adalah
“kehendak Allah swt” dan paling suci sehingga mengkafir-kafirkan orang lain
yang berbeda pendapat, kehidupan pun menjurus ke arah “tidak beradab” alias
“biadab”. Perilaku-perilaku yang
menjurus ke arah biadab inilah yang harus “diperangi” karena merusakkan nama baik
Islam dan mengganggu keharmonisan hidup manusia.
Kata Nabi Muhammad saw, “Akan datang suatu masa ketika orang-orang yang pendek pikiran
mengobarkan perang. Orang yang paling mulia adalah orang yang memerangi
mereka.”
Jika orang-orang yang
pendek pikiran itu mengobarkan perang fisik, harus dihentikan dengan perlawanan
fisik juga. Akan tetapi, jika mereka tidak melakukannya, tetap harus diperangi
dengan pemikiran yang jernih, pendapat yang memiliki dasar kuat, dan nasihat
yang mengarah pada kehidupan rahmatan lil
alamin.
Kalaulah disebutkan
bahwa sistem pemerintahan Islam adalah yang menegakkan hukum-hukum Allah swt,
lantas yang disebut hukum Allah swt itu apa?
Potong leher?
Potong tangan?
Cambuk?
Lempar batu?
Terus, apa lagi?
Cukupkah sebuah negara hanya diatur oleh hukum-hukum itu?
Bagaimana cara pemerintahan Islam menerapkan hukum Allah
swt ketika negara hendak mengatur tentang hukum-hukum kelautan, hukum
pendistribusian Puskesmas, hukum pemerataan pembangunan infrastruktur?
Pasti tidak ada ayat yang jelas tentang hal itu.
Saya lebih suka dengan pendapat Amien Rais dan Abdurahman
Wahid. Mereka berpendapat bahwa Islam itu adalah “jiwa kita”. Artinya, apa pun
yang dilakukan kita dalam berbangsa dan bernegara, jiwa Islam kita itu menjadi
semangat dan koridor dalam menyelenggarakan negara, termasuk ketika membuat
suatu undang-undang. Tidak perlu menggunakan istilah negara Islam atau
pemerintahan Islam. Jika kita berjiwa Islam dan jiwa itu menjadi semangat
sekaligus koridor dalam menjalankan pemerintahan, jadilah kita, Indonesia,
“bersistem pemerintahan Islami”.
Pendapat
Demokrasi Sesuai dengan Islam
Mereka yang sudah
meninggalkan nostalgia kekhalifahan berpendapat bahwa sistem demokrasi
parlementer adalah sesuai dengan cita-cita Islam. Pendapat ini pun bisa
dikoreksi, diakui, dikritik, atau diperdebatkan.
Pemimpin Besar Revolusi Indonesia Soekarno pernah
mendebatnya.
“Brochure Tuan A.D.
Hasnie saya perhatikan betul. Buat sekarang. Sesudah saya baca brochure Hasnie
itu secara sambil lalu, maka bisalah sudah saya katakan bahwa ‘cara pemerintahan’
yang diterangkan di situ tidaklah memuaskan saya karena kurang up to date.
Begitukah
hukum kenegaraan Islam?
Tuan A.D. Hasnie menerangkan bahwa
demokrasi parlementer itu cita-cita Islam.
Akan tetapi, sudahkah demokrasi
parlementer itu menyelamatkan dunia?
Memang sudah menjadi anggapan tua
(kuno: peny.) bahwa demokrasi parlementer itu puncaknya ideal cara
pemerintahan. Juga Moh. Ali, di dalam ia punya tafsir Quran yang terkenal
mengatakan bahwa itulah idealnya Islam.
Padahal, ada cara pemerintahan yang
lebih sempurna lagi yang juga bisa dikatakan cocok dengan azas-azas Islam!”
Kita bisa lihat bukan
ada banyak pendapat di kalangan pengkaji Islam sendiri mengenai sistem
pemerintahan yang dianggap cocok dengan Islam?
Perbedaan pendapat itu sah. Kritikan Soekarno juga sah.
Menyalahkan pendapat orang lain juga sah. Mendukung pendapat orang lain juga
sah. Hal yang tidak sah adalah mengkafirkan orang lain yang berbeda,
memvonisnya sebagai calon penghuni neraka, menuduhnya sesat, menganggapnya
sebagai musuh apalagi musuh bebuyutan, dan lain sebagainya. Selama itu pendapat
manusia, boleh manusia lain berbeda pendapat. Kalau sudah berbeda ayat Al
Quran, baru itu salah satu ada yang kafir dan pasti masuk neraka jika kekafiran
itu dibawa sampai mati.
Indonesia
Islami
Sesungguhnya, Indonesia itu
sudah memiliki modal dasar yang kuat untuk menjalankan sistem pemerintahan yang
Islami. Sumber dasar hukum pertama di Indonesia adalah Proklamasi Kemerdekaan. Itu sudah sangat Islami yang menegaskan
pembebasan diri dari penjajahan dan perbudakan manusia atas manusia lainnya.
Kemudian, ada Pembukaan UUD 1945 yang
di dalamnya memuat Pancasila. Itu
juga sangat Islami dengan menyatakan bahwa kemerdekaan Indonesia merupakan berkat rahmat Allah swt dan dengan didorong
oleh keinginan yang luhur. Setelah itu, tujuan nasional bangsa Indonesia
pun sudah sangat Islami, yaitu mewujudkan
manusia Indonesia seutuhnya yang makmur lahir dan makmur batin.
Di mana
bertentangannya dengan Islam?
Kalaulah memang dirasakan masih ada yang kurang Islami
dalam penyelenggaraan negara atau penyusunan undang-undang, gunakan
lembaga-lembaga negara yang ada, seperti, eksekutif, legislatif, dan yudikatif
untuk menyalurkan aspirasi Islami yang kita perjuangkan.
Bukankah kalian-kalian juga yang memilih mereka duduk di
kursi kekuasaannya?
Dorong kekuasaan yang mereka miliki untuk memperjuangkan
aspirasi Islami kita. Kalau ternyata mereka tidak mendengarkan aspirasi Islami
rakyat Islam, salahkan diri sendiri.
Mengapa kita memilih mereka?
Salahkan diri sendiri.
Mengapa kalian ikut menikmati bantuan-bantuan dana dari
mereka?
Sampurasun.
No comments:
Post a Comment