Tuesday, 11 April 2017

Agama Sang Prabu

oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya
Hasil dari penelusuran saya pribadi yang menyandingkan antara Al Quran dengan sosok Prabu Siliwangi menghasilkan simpulan bahwa Prabu Siliwangi adalah nabi kepercayaan Allah swt yang ditugaskan untuk menyebarkan Islam pada masa Sundaland. Nama agamanya belum disebut Islam saat itu, melainkan Sunda Wiwitan. Inti ajarannya adalah tauhid, praktiknya adalah budi pekerti dan kehalusan hati untuk mencapai kebahagiaan dunia akhirat. Jadi, ajaran Sunda Wiwitan merupakan dasar-dasar akhlak Islam pra-Muhammad saw yang kemudian disempurnakan oleh ajaran Islam Muhammad saw.

            Hasil penelusuran saya tersebut ternyata mendapatkan penguatan dari “pernyataan tulus” seorang peneliti yang bernama Dr. Nurhadi Magetsari. Ketika pemerintah Provinsi Jawa Barat bekerja sama dengan Ecole Francaise D’Extreme-Orient-Pusat Penelitian Arkeologi Nasional mengadakan seminar Sejarah dan Tradisi tentang Prabu Silihwangi, Dr. Nurhadi Magetsari diberi tugas untuk mengungkapkan agama yang ada di tanah Sunda sebelum Islam.

            Dengan jujur dan bahasa yang tulus ia mengatakan, “Panitia pengarah telah menugaskan kepada saya untuk mengungkapkan agama yang berkembang sebelum Islam, khususnya yang didasarkan atas naskah-naskah Cariosan Prabu Silihwangi, Carita Pakuan, serta Bujangga Manik. Setelah mempelajari ketiganya secara sekilas, ternyata bahwa data yang berkenaan dengan Agama Buddha maupun Hindu yang dimuat dalam ketiga naskah itu hampir-hampir tidak ada.”

            Pernyataan Dr. Nurhadi Magetsari dalam makalahnya Kultus Dewa Raja Yang Didapat dari Cariosan Prabu Silihwangi (1991) tersebut menandakan bahwa dirinya kesulitan untuk mengambil simpulan apakah Prabu Siliwangi itu beragama Hindu atau Buddha karena sebelumnya banyak sarjana dari Belanda dan Inggris yang menduga bahwa Prabu Siliwangi beragama Hindu atau Buddha Tantra. Ia lebih jujur dibandingkan para sarjana Belanda dan Inggris itu. Ia tidak memaksakan kehendak jika memang tidak ada datanya. Ia tidak mau menyebarkan hoax tentang Prabu Siliwangi untuk alasan apa pun.

            Dua jempol untuk Nurhadi!

            Meskipun kesulitan, Nurhadi tetap mencoba menelusurinya dan hasilnya, cukup kalang kabut. Ia sendiri tampak bingung karena banyaknya masalah dalam naskah.

            Karena sebelumnya para sarjana Belanda dan Inggris berpendapat bahwa Prabu Siliwangi beragama Hindu dan atau Budha Tantra serta ada kalimat-kalimat dalam Carita Pakuan yang diperkirakan agak mirip kata-kata dalam Hindu, Nurhadi mencoba menelusurinya melalui agama Hindu. Padahal, kata-kata yang dipakai agak mirip saja  sangat tidak cukup untuk menyatakan seseorang beragama tertentu. Seperti kita saat ini, kata-kata wafat, shodaqoh, almarhum, almarhumah, insyaallah, dan masih banyak lagi digunakan oleh semua orang, baik muslim, Kristen, Hindu, Budha, Konghucu, ataupun penganut agama lokal. Seseorang yang mengucapkan kata almarhum untuk menyatakan kematian seseorang, sangat tidak tepat jika dipastikan seseorang itu beragama Islam hanya karena kata-kata itu berasal dari kaum muslimin. Kata-kata itu bukan menentukan agama seseorang, melainkan kebiasaan berbahasa di lingkungan tertentu.

            Hal itulah yang membuat Nurhadi merasa kebingungan dalam isi makalahnya. Ketika ia menelusuri agama Prabu Siliwangi lewat jalur Hindu, tampaknya seperti benar, misalnya, Prabu Siliwangi berguru pada beberapa ahli agama, lalu mempraktikan agama dengan ketat dan menghayati dharma. Sampai akhirnya ia mencapai puncaknya dengan gelar Dewa Raja yang tampan mirip Dewa Wisnu.

            Istilah Dewa Raja itu kalau dalam Islam mirip dengan Ulama-Umaro. Dewa berarti dia Tuhan atau kepercayaan Tuhan. Raja berarti dia pemimpin manusia. Dewa Raja bisa diartikan Tuhan yang menjelma menjadi manusia untuk memimpin manusia atau manusia yang diangkat Tuhan untuk menjadi pemimpin manusia.

            Keanehan dan kekusutan muncul ketika Prabu Siliwangi menuntut ilmu “kelepasan” pada Wairocana. Wairocana sendiri merupakan salah satu Tathgata yang tertinggi dari aliran Buddha Mahayana, khususnya ajaran Mantrayana.

            Nurhadi mengatakan bahwa ini sebuah masalah. Oleh sebab itu, ia tidak berani menyimpulkan apakah Prabu Siliwangi beragama Hindu atau Buddha Tantra.

            Sangatlah tidak mungkin jika Prabu Siliwangi beragama Hindu sehingga mencapai puncaknya menjadi mirip Dewa Wisnu dengan segala keagungannya, kemudian mempraktikkan ajaran Budha.

            Dr. Nurhadi sendiri mempertanyakan hal itu, “Mengapa manusia yang sudah mencapai tingkat kedewaan juga diterangkan masih menempuh dan kemudian mencapai kebudhaan?”

            Bagi kita yang hidup pada zaman ini. Hal itu jelas merupakan kekacauan.

            Bagaimana mungkin orang bisa mempraktikan dua agama sekaligus, yaitu Hindu dan Budha?

            Kalau mengikuti hukum positif saat ini, perilaku mengamalkan dua ajaran agama sekaligus, bisa dihukum penjara karena akan ada orang yang tersinggung, lalu melaporkannya sebagai tindakan penghinaan, penodaan, penistaan, ataupun pelecehan terhadap agama tertentu. Orang ini bisa dituding kafir, sesat, dan bidah.

            Hal itu sangat bertentangan dengan sosok Prabu Siliwangi yang penuh keagungan dan keluhuran. Artinya, tidak mungkin Prabu Siliwangi memeluk dua agama sekaligus. Tidak mungkin pula Prabu Siliwangi pindah agama setelah sukses menjadi Dewa Raja dalam agama Hindu, lalu meneruskan belajar menjadi Budha supaya karirnya meningkat.

            Memangnya kuliah?

            Habis S1 terus S2?

            Supaya gelar, kedudukan, dan honornya naik?

            Ada dua penjelasan untuk kekusutan tersebut. Pertama, naskah-naskah kunonya sendiri sudah kalang kabut dalam arti tidak murni karena ditulis oleh para juru pantun yang mendapatkan pengaruh dari penguasa. Kedua, para peneliti tidak memahami ajaran Islam dan Sunda Wiwitan dengan baik.

            Praktik-praktik keagamaan yang dilakukan Prabu Siliwangi sebetulnya sudah ada dalam ajaran Islam, misalnya, uzlah (memisahkan diri dari keramaian), menuntut ilmu, khalwat, shaum, dzikir, riyadhoh, bangun malam, dan lain sebagainya. Sesungguhnya, tapa laku yang dilakukan Prabu Siliwangi tak lain dan tak bukan adalah dalam rangka mengamalkan ajaran Islam pra-Muhammad saw, yaitu ajaran Sunda Wiwitan. Memang dalam praktik lahiriahnya banyak hal yang sama dengan Hindu dan Budha yang juga mengenal pengekangan diri untuk mencapai kesempurnaan.

            Hal yang sangat menyesatkan adalah anggapan yang sangat keliru bahwa Islam adalah agama yang berasal dari Arab. Oleh sebab itu, karena bahasa dan kalimat yang digunakan bukan berbahasa Arab, disebutlah bukan Islam. Padahal, Allah swt tidak pernah mengatakan bahwa Islam berasal dari Arab dan nabi harus selalu berasal dari Arab atau Timur Tengah. Nabi itu ada di seluruh penjuru dunia dengan bahasa sukunya masing-masing di kalangan umatnya masing-masing. Di situ ada sebuah bahasa tertentu, di situlah ada nabi. Di situ ada umat, di situlah ada nabi. Untuk lebih jelasnya, baca tulisan saya yang berjudul Nabi Prabu Siliwangi Alaihissalam.

            Jadi, Prabu Siliwangi itu adalah nabi yang mengajarkan Islam pra-Muhammad saw dengan nama agama Sunda Wiwitan. Ia hidup pada masa Sundaland. Karena sepeninggal Nabi Prabu Siliwangi, Daud as, Sulaeman as, dan nabi-nabi lain orang-orang Indonesia ini melakukan dosa-dosa besar, dihancurkanlah dunianya oleh Allah swt.

            Itulah salah satu kesulitan kita dalam memahami Prabu Siliwangi, termasuk sejarah Indonesia secara keseluruhan. Peninggalan kebesaran masa lalu kita banyak yang tenggelam dan terkubur akibat kemurkaan Allah swt melalui bencana mahadahsyat yang menghancurkan Benua Sundaland menjadi kepulauan bernama Indonesia.                 

            Sampurasun.

No comments:

Post a Comment