oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Hasil dari penelusuran saya
pribadi yang menyandingkan antara Al Quran dengan sosok Prabu Siliwangi
menghasilkan simpulan bahwa Prabu Siliwangi adalah nabi kepercayaan Allah swt
yang ditugaskan untuk menyebarkan Islam pada masa Sundaland. Nama agamanya
belum disebut Islam saat itu, melainkan Sunda
Wiwitan. Inti ajarannya adalah tauhid,
praktiknya adalah budi pekerti dan kehalusan hati untuk mencapai kebahagiaan
dunia akhirat. Jadi, ajaran Sunda Wiwitan merupakan dasar-dasar akhlak Islam pra-Muhammad
saw yang kemudian disempurnakan oleh ajaran Islam Muhammad saw.
Hasil penelusuran saya tersebut ternyata mendapatkan
penguatan dari “pernyataan tulus” seorang peneliti yang bernama Dr. Nurhadi Magetsari. Ketika pemerintah
Provinsi Jawa Barat bekerja sama dengan Ecole
Francaise D’Extreme-Orient-Pusat Penelitian Arkeologi Nasional mengadakan
seminar Sejarah dan Tradisi tentang Prabu
Silihwangi, Dr. Nurhadi Magetsari diberi tugas untuk mengungkapkan agama
yang ada di tanah Sunda sebelum Islam.
Dengan jujur dan bahasa yang tulus ia mengatakan, “Panitia
pengarah telah menugaskan kepada saya untuk mengungkapkan agama yang berkembang
sebelum Islam, khususnya yang didasarkan atas naskah-naskah Cariosan Prabu Silihwangi, Carita Pakuan, serta
Bujangga Manik. Setelah mempelajari
ketiganya secara sekilas, ternyata bahwa data yang berkenaan dengan Agama
Buddha maupun Hindu yang dimuat dalam ketiga naskah itu hampir-hampir tidak
ada.”
Pernyataan Dr. Nurhadi Magetsari dalam makalahnya Kultus Dewa Raja Yang Didapat dari Cariosan
Prabu Silihwangi (1991) tersebut menandakan bahwa dirinya kesulitan untuk
mengambil simpulan apakah Prabu Siliwangi itu beragama Hindu atau Buddha karena
sebelumnya banyak sarjana dari Belanda dan Inggris yang menduga bahwa Prabu
Siliwangi beragama Hindu atau Buddha Tantra. Ia lebih jujur dibandingkan para
sarjana Belanda dan Inggris itu. Ia tidak memaksakan kehendak jika memang tidak
ada datanya. Ia tidak mau menyebarkan hoax
tentang Prabu Siliwangi untuk alasan apa pun.
Dua jempol untuk Nurhadi!
Meskipun kesulitan, Nurhadi tetap mencoba menelusurinya
dan hasilnya, cukup kalang kabut. Ia sendiri tampak bingung karena banyaknya
masalah dalam naskah.
Karena sebelumnya para sarjana Belanda dan Inggris
berpendapat bahwa Prabu Siliwangi beragama Hindu dan atau Budha Tantra serta
ada kalimat-kalimat dalam Carita Pakuan yang
diperkirakan agak mirip kata-kata dalam Hindu, Nurhadi mencoba menelusurinya
melalui agama Hindu. Padahal, kata-kata yang dipakai agak mirip saja sangat tidak cukup untuk menyatakan seseorang
beragama tertentu. Seperti kita saat ini, kata-kata wafat, shodaqoh, almarhum, almarhumah, insyaallah, dan masih banyak
lagi digunakan oleh semua orang, baik muslim, Kristen, Hindu, Budha, Konghucu,
ataupun penganut agama lokal. Seseorang yang mengucapkan kata almarhum untuk menyatakan kematian
seseorang, sangat tidak tepat jika dipastikan seseorang itu beragama Islam
hanya karena kata-kata itu berasal dari kaum muslimin. Kata-kata itu bukan
menentukan agama seseorang, melainkan kebiasaan berbahasa di lingkungan
tertentu.
Hal itulah yang membuat Nurhadi merasa kebingungan dalam isi makalahnya. Ketika ia menelusuri
agama Prabu Siliwangi lewat jalur Hindu, tampaknya seperti benar, misalnya,
Prabu Siliwangi berguru pada beberapa ahli agama, lalu mempraktikan agama
dengan ketat dan menghayati dharma. Sampai
akhirnya ia mencapai puncaknya dengan gelar Dewa
Raja yang tampan mirip Dewa Wisnu.
Istilah Dewa Raja itu
kalau dalam Islam mirip dengan Ulama-Umaro.
Dewa berarti dia Tuhan atau kepercayaan Tuhan. Raja berarti dia pemimpin
manusia. Dewa Raja bisa diartikan Tuhan
yang menjelma menjadi manusia untuk memimpin manusia atau manusia yang diangkat Tuhan untuk menjadi
pemimpin manusia.
Keanehan dan kekusutan muncul ketika Prabu Siliwangi
menuntut ilmu “kelepasan” pada Wairocana.
Wairocana sendiri merupakan salah satu Tathgata
yang tertinggi dari aliran Buddha
Mahayana, khususnya ajaran Mantrayana.
Nurhadi mengatakan bahwa ini sebuah masalah. Oleh sebab
itu, ia tidak berani menyimpulkan apakah Prabu Siliwangi beragama Hindu atau
Buddha Tantra.
Sangatlah tidak mungkin jika Prabu Siliwangi beragama
Hindu sehingga mencapai puncaknya menjadi mirip Dewa Wisnu dengan segala
keagungannya, kemudian mempraktikkan ajaran Budha.
Dr. Nurhadi sendiri mempertanyakan hal itu, “Mengapa
manusia yang sudah mencapai tingkat kedewaan juga diterangkan masih menempuh
dan kemudian mencapai kebudhaan?”
Bagi kita yang hidup pada zaman ini. Hal itu jelas
merupakan kekacauan.
Bagaimana mungkin orang bisa mempraktikan dua agama
sekaligus, yaitu Hindu dan Budha?
Kalau mengikuti hukum positif saat ini, perilaku
mengamalkan dua ajaran agama sekaligus, bisa dihukum penjara karena akan ada orang
yang tersinggung, lalu melaporkannya sebagai tindakan penghinaan, penodaan,
penistaan, ataupun pelecehan terhadap agama tertentu. Orang ini bisa dituding
kafir, sesat, dan bidah.
Hal itu sangat bertentangan dengan sosok Prabu Siliwangi
yang penuh keagungan dan keluhuran. Artinya, tidak mungkin Prabu Siliwangi
memeluk dua agama sekaligus. Tidak mungkin pula Prabu Siliwangi pindah agama
setelah sukses menjadi Dewa Raja dalam agama Hindu, lalu meneruskan belajar
menjadi Budha supaya karirnya meningkat.
Memangnya kuliah?
Habis S1 terus S2?
Supaya gelar, kedudukan, dan honornya naik?
Ada dua penjelasan untuk kekusutan tersebut. Pertama, naskah-naskah kunonya sendiri
sudah kalang kabut dalam arti tidak murni karena ditulis oleh para juru pantun
yang mendapatkan pengaruh dari penguasa. Kedua,
para peneliti tidak memahami ajaran Islam dan Sunda Wiwitan dengan baik.
Praktik-praktik keagamaan yang dilakukan Prabu Siliwangi
sebetulnya sudah ada dalam ajaran Islam, misalnya, uzlah (memisahkan diri dari keramaian), menuntut ilmu, khalwat, shaum, dzikir, riyadhoh, bangun
malam, dan lain sebagainya. Sesungguhnya, tapa laku yang dilakukan Prabu Siliwangi
tak lain dan tak bukan adalah dalam rangka mengamalkan ajaran Islam pra-Muhammad
saw, yaitu ajaran Sunda Wiwitan. Memang dalam praktik lahiriahnya banyak hal
yang sama dengan Hindu dan Budha yang juga mengenal pengekangan diri untuk
mencapai kesempurnaan.
Hal yang sangat menyesatkan adalah anggapan yang sangat
keliru bahwa Islam adalah agama yang berasal dari Arab. Oleh sebab itu, karena
bahasa dan kalimat yang digunakan bukan berbahasa Arab, disebutlah bukan Islam.
Padahal, Allah swt tidak pernah mengatakan bahwa Islam berasal dari Arab dan nabi
harus selalu berasal dari Arab atau Timur Tengah. Nabi itu ada di seluruh
penjuru dunia dengan bahasa sukunya masing-masing di kalangan umatnya
masing-masing. Di situ ada sebuah bahasa tertentu, di situlah ada nabi. Di situ
ada umat, di situlah ada nabi. Untuk lebih jelasnya, baca tulisan saya yang
berjudul Nabi Prabu Siliwangi
Alaihissalam.
Jadi, Prabu Siliwangi
itu adalah nabi yang mengajarkan Islam pra-Muhammad saw dengan nama agama Sunda
Wiwitan. Ia hidup pada masa Sundaland. Karena sepeninggal Nabi Prabu Siliwangi,
Daud as, Sulaeman as, dan nabi-nabi lain orang-orang Indonesia ini melakukan
dosa-dosa besar, dihancurkanlah dunianya oleh Allah swt.
Itulah salah satu kesulitan kita dalam memahami Prabu
Siliwangi, termasuk sejarah Indonesia secara keseluruhan. Peninggalan kebesaran
masa lalu kita banyak yang tenggelam dan terkubur akibat kemurkaan Allah swt
melalui bencana mahadahsyat yang menghancurkan Benua Sundaland menjadi
kepulauan bernama Indonesia.
Sampurasun.
No comments:
Post a Comment