Wednesday 26 April 2017

Kita Masih Harus Berkorban

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Indonesia adalah negara yang dilahirkan melalui perjuangan darah, keringat, air mata, nyawa, dan harta benda. Kemerdekaan Indonesia tidak didapat dari pemberian, hadiah, atau didapatkan dengan gratis, tetapi diperoleh dengan harga yang sangat mahal. Jutaan orang telah mati untuk kemerdekaan Indonesia. Ribuan pahlawan telah gugur untuk kemerdekaan Indonesia. Ratusan pendiri bangsa telah menderita dalam penjara untuk kemerdekaan Indonesia. Mereka semua berkorban untuk kemerdekaan. Mereka berhasil. Indonesia telah merdeka.

            Akan tetapi, harus diingat bahwa kemerdekaan bukanlah akhir dari segalanya. Kemerdekaan bukanlah tujuan yang sebenarnya. Sebagaimana yang dikatakan Pemimpin Besar Revolusi Indonesia Soekarno, kemerdekaan hanyalah jembatan emas untuk mencapai kemerdekaan yang sesungguhnya. Oleh sebab itu, meskipun Indonesia sudah merdeka, Soekarno selalu mengingatkan bahwa revolusi belum selesai, revolusi belumlah selesai. Kemerdekaan sesungguhnya yang diinginkan oleh Soekarno adalah kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Selama seluruh rakyat Indonesia belum sejahtera, kata Soekarno, sejatinya Indonesia belum merdeka.

            Hal itu menunjukkan bahwa pengorbanan masih harus terus dilakukan. Kita semua harus berkorban untuk kesejahteraan bersama. Kita menyangka bahwa setelah merdeka, kita bebas berekspresi untuk mencapai kekayaan masing-masing, bekerja keras untuk hidup masing-masing, dan mengupayakan mendapatkan kedudukan yang kita inginkan sebagai buah dari kemerdekaan. Sesungguhnya, itu teramat salah. Kita telah terbuai dan terlena oleh keadaan yang menipu, kemudian berbangga-bangga dengan apa yang telah kita capai. Sementara itu, masih banyak saudara kita yang masih hidup dalam penderitaan dan kesengsaraan. Celakanya, banyak di antara kita yang mempertontonkan keberhasilan kita dalam memperoleh kedudukan dan kekayaan dengan angkuh di depan mata saudara-saudara kita yang masih belum beruntung dan selalu sedih setiap hari. Kemudian, kita menyalahkan mereka sebagai orang yang malas dan tidak kreatif. Padahal, mereka masih berada di dalam tanggung jawab perjuangan kita bersama. Selama kita masih melihat saudara-saudara kita yang hidup dalam penderitaan, Indonesia belumlah merdeka.

            Sungguh, kita masih belum merdeka. Kalau dulu para orangtua kita memiliki musuh secara fisik, yaitu orang-orang yang menghalangi proklamasi kemerdekaan Indonesia, kini kita memiliki musuh yang lebih jahat, yaitu orang-orang yang menghalangi dan menghambat kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Musuh kesejahteraan adalah mereka yang gemar melakukan aksi-aksi perpecahan di antara kita, menimbulkan huru-hara, mengundang pihak asing untuk melakukan keributan, koruptor, penghasut, penipu, orang-orang licik, birokrat yang mempersulit masyarakat, perilaku kapitalistis, orang-orang serakah, dan lain sebagainya.

            Bagaimana mungkin Indonesia dapat mewujudkan sila kelima dari Pancasila yang mewajibkan adanya keadilan dalam berbagai bidang bagi seluruh rakyat Indonesia jika perilaku-perilaku penghambat kesejahteraan itu masih ada?

            Bangsa ini memang sedang berupaya untuk mengatasi itu semua, tetapi menganggap bahwa upaya itu hanya merupakan sebuah “pekerjaan” dan bukan “pengorbanan”. Terdapat perbedaan yang jauh antara pekerjaan dengan pengorbanan. Pekerjaan adalah sesuatu hal yang harus dilakukan untuk mendapatkan upah dan meminimalisasi kerugian. Adapun pengorbanan adalah upaya maksimal untuk meraih cita-cita meskipun harus menderita kerugian.

            Ada contoh yang menarik disampaikan oleh Soekarno tentang pengorbanan. Ia mengisahkan pengorbanan yang dilakukan oleh dr. Tjipto Mangunkusumo. Tjipto adalah seorang dokter yang memiliki “perusahaan tabib” yang cukup besar dan maju. Akan tetapi, kecintaan Tjipto terhadap rakyat Indonesia membuatnya harus ditangkap dan dibuang oleh penjajah. Akibatnya, perusahaannya hancur dan jatuh miskin secara tiba-tiba. Bukan hanya menjadi miskin, melainkan Tjipto melarat benar-benar. Soekarno memujinya dan menjadikannya contoh bagi seluruh rakyat Indonesia, baik rakyat yang dulu maupun rakyat pada masa sekarang ini. Bagi mereka yang saat ini tidak mau berkorban seperti Tjipto Mangunkusumo, harus ditanyakan apakah dia orang Indonesia atau bukan. Kalau bukan dan tidak mau berkorban, persilakan untuk pergi dari Indonesia dan menjadi warga negara lain. Indonesia masih membutuhkan orang-orang yang rela berkorban untuk bhineka tunggal ika, persaudaraan, persatuan, dan kesejahteraan dengan cara berkorban untuk mau “berbagi” dengan sesama.

            “Tjipto Mangunkusumo telah menunjukkan jalan dalam mengabdi kepada rakyat dan bangsa. Ia menuntun. Ia memberi contoh …. Walaupun menderita kesengsaraan rezeki, walaupun merasakan kemelaratan yang terjadi oleh matinya ia punya perusahaan tabib, walaupun lijdensbeker ada sepenuh-penuhnya, dengan roman muka penuh senyum, ia memikul segenap beban yang ditimbunkan di atas pundaknya oleh pengabdiannya kepada rakyat dan bangsanya.

            Inilah contoh dan pengajaran yang kawan Tjipto Mangunkusumo berikan kepada kita. Pengajaran pengorbanan dan pengajaran kewajiban, der leer van het offer, de leer van den plicht, pengajaran yang menyerapi segenap Bhagavad Ghita, menyerapi segenap nasihat-nasihat Chri Krishna dengan arti bahwa tiada suatu hal yang besar bisa tercapai bila tidak dibeli dengan pengorbanan yang mahal serta menyerapi nasihat-nasihat Chri Krishna itu dengan arti pula bahwa tiap-tiap manusia harus melakukan kewajibannya dengan tidak menghitung-hitung apa yang nanti akan menjadi buahnya, tidak membilang-bilang apa yang nanti akan berikut.

            Di dalam pengabdian kepada Ibu Indonesia, di dalam menjalankan kewajiban-kewajiban patriot, putera-putera Indonesia harus mempersembahkan dengan iman yang besar dan hati yang ridla segala pengorbanan walaupun bagaimanapun juga pahitnya dan walaupun bagaimana juga getirnya. Selama putera-putera Indonesia belum cukup mempunyai kekuatan tersenyum manakala Ibu Indonesia minta kebesaran iman dan keridlaan hati atas pengorbanan yang sepahit-pahitnya dan segetir-getirnya, selama itu, maka mereka pun belum cukup kekuatan menerima hadiah yang diingininya.

            Selama mereka belum kuat memikul susah, selama itu mereka belum kuat memikul senang!

            Di dalam arti inilah pengorbanan kawan Tjipto itu harus kita artikan.

            Apakah pengorbanan ini tidak akan sia-sia?

            Apakah ia akan berfaedah?

            Tiada pengorbanan yang sia-sia, tiada pengorbanan yang tidak berfaedah, tiada pengorbanan yang terbuang.

            ‘No sacrifice is wasted,” begitulah Sir Oliver Lodge berkata.

            Dari pengorbanan-pengorbanan hari sekarang itulah, hari kemudian akan terjadi. Dari pengorbanan-pengorbanan hari sekarang itulah, hari Indonesia baru akan terlahir, lebih besar, dan lebih mulia daripada Indonesia sekarang yang lebih mulia daripada Indonesia dahulu.

            No sacrifice is wasted!

            Oleh karenanya, putera-putera Indonesia, bekerjalah, bekerja, jangan putus asa!”

            Sesungguhnya, masih panjang ajaran Soekarno itu, Saudara. Akan tetapi, beberapa paragraf itu sudah cukup untuk mempermalukan mereka yang tidak mau berkorban untuk bangsa dan negara. Mereka dan kita semua sebenarnya terlalu cepat menganggap diri sudah merdeka, padahal masih banyak yang harus kita lakukan sebagai sebuah bentuk pengorbanan. Kita seolah-olah sudah terlepas dari gangguan atas persatuan, kesatuan, dan kedaulatan Indonesia, padahal masih jauh Saudara. Kita masih rentan perpecahan, masih banyak para oportunis yang hanya menginginkan kekuasaan meskipun menimbulkan kekusutan pikiran dan kekacauan di tengah masyarakat, masih banyak mereka yang serakah dan tidak mau berbagi rezeki, masih banyak yang ingin menguasai sumber-sumber energi Indonesia sendirian, masih banyak saudara-saudara kita yang hanya makan satu kali dalam sehari, masih banyak saudara-saudara kita yang tinggal di gubuk-gubuk derita, masih banyak saudara-saudara kita yang kebingungan apakah besok hari bisa makan atau tidak, masih banyak yang harus berhenti sekolah karena uangnya hanya cukup untuk beli makanan, dan rupa-rupa kondisi lain yang menunjukkan bahwa sebenarnya Indonesia belumlah merdeka benar-benar.

            Indonesia belum sejati merdeka, Saudara. Kita masih harus berkorban untuk “kebersamaan”. Mereka yang tidak mau berkorban, sebaiknya dipersilakan pergi ke negara-negara lain yang sudah benar-benar merdeka agar mereka bisa mendapatkan segala yang mereka inginkan. Kita masih belum merdeka dan masih harus banyak berkorban.


            Sampurasun.

No comments:

Post a Comment