oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Indonesia adalah negara yang
dilahirkan melalui perjuangan darah, keringat, air mata, nyawa, dan harta
benda. Kemerdekaan Indonesia tidak didapat dari pemberian, hadiah, atau
didapatkan dengan gratis, tetapi diperoleh dengan harga yang sangat mahal. Jutaan
orang telah mati untuk kemerdekaan Indonesia. Ribuan pahlawan telah gugur untuk
kemerdekaan Indonesia. Ratusan pendiri bangsa telah menderita dalam penjara
untuk kemerdekaan Indonesia. Mereka semua berkorban untuk kemerdekaan. Mereka
berhasil. Indonesia telah merdeka.
Akan tetapi, harus diingat bahwa kemerdekaan bukanlah
akhir dari segalanya. Kemerdekaan bukanlah tujuan yang sebenarnya. Sebagaimana
yang dikatakan Pemimpin Besar Revolusi Indonesia Soekarno, kemerdekaan hanyalah jembatan emas untuk mencapai kemerdekaan yang
sesungguhnya. Oleh sebab itu, meskipun Indonesia sudah merdeka, Soekarno selalu
mengingatkan bahwa revolusi belum
selesai, revolusi belumlah selesai. Kemerdekaan sesungguhnya yang
diinginkan oleh Soekarno adalah kesejahteraan
bagi seluruh rakyat Indonesia. Selama seluruh rakyat Indonesia belum
sejahtera, kata Soekarno, sejatinya Indonesia belum merdeka.
Hal itu menunjukkan bahwa pengorbanan masih harus terus
dilakukan. Kita semua harus berkorban untuk kesejahteraan bersama. Kita
menyangka bahwa setelah merdeka, kita bebas berekspresi untuk mencapai kekayaan
masing-masing, bekerja keras untuk hidup masing-masing, dan mengupayakan
mendapatkan kedudukan yang kita inginkan sebagai buah dari kemerdekaan.
Sesungguhnya, itu teramat salah. Kita telah terbuai dan terlena oleh keadaan
yang menipu, kemudian berbangga-bangga dengan apa yang telah kita capai.
Sementara itu, masih banyak saudara kita yang masih hidup dalam penderitaan dan
kesengsaraan. Celakanya, banyak di antara kita yang mempertontonkan
keberhasilan kita dalam memperoleh kedudukan dan kekayaan dengan angkuh di
depan mata saudara-saudara kita yang masih belum beruntung dan selalu sedih
setiap hari. Kemudian, kita menyalahkan mereka sebagai orang yang malas dan tidak
kreatif. Padahal, mereka masih berada di dalam tanggung jawab perjuangan kita
bersama. Selama kita masih melihat saudara-saudara kita yang hidup dalam
penderitaan, Indonesia belumlah merdeka.
Sungguh, kita masih belum merdeka. Kalau dulu para
orangtua kita memiliki musuh secara fisik, yaitu orang-orang yang menghalangi
proklamasi kemerdekaan Indonesia, kini kita memiliki musuh yang lebih jahat,
yaitu orang-orang yang menghalangi dan menghambat kesejahteraan seluruh rakyat
Indonesia. Musuh kesejahteraan adalah mereka yang gemar melakukan aksi-aksi
perpecahan di antara kita, menimbulkan huru-hara, mengundang pihak asing untuk
melakukan keributan, koruptor, penghasut, penipu, orang-orang licik, birokrat
yang mempersulit masyarakat, perilaku kapitalistis, orang-orang serakah, dan
lain sebagainya.
Bagaimana mungkin Indonesia dapat mewujudkan sila kelima dari Pancasila yang mewajibkan
adanya keadilan dalam berbagai bidang
bagi seluruh rakyat Indonesia jika perilaku-perilaku penghambat
kesejahteraan itu masih ada?
Bangsa ini memang sedang berupaya untuk mengatasi itu
semua, tetapi menganggap bahwa upaya itu hanya merupakan sebuah “pekerjaan” dan
bukan “pengorbanan”. Terdapat perbedaan yang jauh antara pekerjaan dengan
pengorbanan. Pekerjaan adalah sesuatu hal yang harus dilakukan untuk
mendapatkan upah dan meminimalisasi kerugian. Adapun pengorbanan adalah upaya
maksimal untuk meraih cita-cita meskipun harus menderita kerugian.
Ada contoh yang menarik disampaikan oleh Soekarno tentang
pengorbanan. Ia mengisahkan pengorbanan yang dilakukan oleh dr. Tjipto Mangunkusumo. Tjipto adalah
seorang dokter yang memiliki “perusahaan tabib” yang cukup besar dan maju. Akan
tetapi, kecintaan Tjipto terhadap rakyat Indonesia membuatnya harus ditangkap
dan dibuang oleh penjajah. Akibatnya, perusahaannya hancur dan jatuh miskin
secara tiba-tiba. Bukan hanya menjadi miskin, melainkan Tjipto melarat
benar-benar. Soekarno memujinya dan menjadikannya contoh bagi seluruh rakyat
Indonesia, baik rakyat yang dulu maupun rakyat pada masa sekarang ini. Bagi
mereka yang saat ini tidak mau berkorban seperti Tjipto Mangunkusumo, harus
ditanyakan apakah dia orang Indonesia atau bukan. Kalau bukan dan tidak mau
berkorban, persilakan untuk pergi dari Indonesia dan menjadi warga negara lain.
Indonesia masih membutuhkan orang-orang yang rela berkorban untuk bhineka tunggal ika, persaudaraan,
persatuan, dan kesejahteraan dengan cara berkorban untuk mau “berbagi”
dengan sesama.
“Tjipto
Mangunkusumo telah menunjukkan jalan dalam mengabdi kepada rakyat dan bangsa. Ia
menuntun. Ia memberi contoh …. Walaupun menderita kesengsaraan rezeki, walaupun
merasakan kemelaratan yang terjadi oleh matinya ia punya perusahaan tabib,
walaupun lijdensbeker ada
sepenuh-penuhnya, dengan roman muka penuh senyum, ia memikul segenap beban yang
ditimbunkan di atas pundaknya oleh pengabdiannya kepada rakyat dan bangsanya.
Inilah contoh dan pengajaran yang
kawan Tjipto Mangunkusumo berikan kepada kita. Pengajaran pengorbanan dan
pengajaran kewajiban, der leer van het
offer, de leer van den plicht, pengajaran yang menyerapi segenap Bhagavad Ghita, menyerapi segenap
nasihat-nasihat Chri Krishna dengan
arti bahwa tiada suatu hal yang besar bisa tercapai bila tidak dibeli dengan
pengorbanan yang mahal serta menyerapi nasihat-nasihat Chri Krishna itu dengan
arti pula bahwa tiap-tiap manusia harus melakukan kewajibannya dengan tidak
menghitung-hitung apa yang nanti akan menjadi buahnya, tidak membilang-bilang
apa yang nanti akan berikut.
Di dalam pengabdian kepada Ibu
Indonesia, di dalam menjalankan kewajiban-kewajiban patriot, putera-putera
Indonesia harus mempersembahkan dengan iman yang besar dan hati yang ridla segala
pengorbanan walaupun bagaimanapun juga pahitnya dan walaupun bagaimana juga
getirnya. Selama putera-putera Indonesia belum cukup mempunyai kekuatan
tersenyum manakala Ibu Indonesia minta kebesaran iman dan keridlaan hati atas
pengorbanan yang sepahit-pahitnya dan segetir-getirnya, selama itu, maka mereka
pun belum cukup kekuatan menerima hadiah yang diingininya.
Selama mereka belum kuat memikul
susah, selama itu mereka belum kuat memikul senang!
Di dalam arti inilah pengorbanan
kawan Tjipto itu harus kita artikan.
Apakah pengorbanan ini tidak akan
sia-sia?
Apakah ia akan berfaedah?
Tiada pengorbanan yang sia-sia,
tiada pengorbanan yang tidak berfaedah, tiada pengorbanan yang terbuang.
‘No sacrifice is wasted,” begitulah Sir Oliver Lodge berkata.
Dari pengorbanan-pengorbanan hari
sekarang itulah, hari kemudian akan terjadi. Dari pengorbanan-pengorbanan hari
sekarang itulah, hari Indonesia baru akan terlahir, lebih besar, dan lebih
mulia daripada Indonesia sekarang yang lebih mulia daripada Indonesia dahulu.
No
sacrifice is wasted!
Oleh
karenanya, putera-putera Indonesia, bekerjalah, bekerja, jangan putus asa!”
Sesungguhnya, masih panjang ajaran Soekarno itu, Saudara.
Akan tetapi, beberapa paragraf itu sudah cukup untuk mempermalukan mereka yang
tidak mau berkorban untuk bangsa dan negara. Mereka dan kita semua sebenarnya
terlalu cepat menganggap diri sudah merdeka, padahal masih banyak yang harus
kita lakukan sebagai sebuah bentuk pengorbanan. Kita seolah-olah sudah terlepas
dari gangguan atas persatuan, kesatuan, dan kedaulatan Indonesia, padahal masih
jauh Saudara. Kita masih rentan perpecahan, masih banyak para oportunis yang
hanya menginginkan kekuasaan meskipun menimbulkan kekusutan pikiran dan
kekacauan di tengah masyarakat, masih banyak mereka yang serakah dan tidak mau
berbagi rezeki, masih banyak yang ingin menguasai sumber-sumber energi Indonesia
sendirian, masih banyak saudara-saudara kita yang hanya makan satu kali dalam
sehari, masih banyak saudara-saudara kita yang tinggal di gubuk-gubuk derita,
masih banyak saudara-saudara kita yang kebingungan apakah besok hari bisa makan
atau tidak, masih banyak yang harus berhenti sekolah karena uangnya hanya cukup
untuk beli makanan, dan rupa-rupa kondisi lain yang menunjukkan bahwa
sebenarnya Indonesia belumlah merdeka benar-benar.
Indonesia belum sejati merdeka, Saudara. Kita masih harus
berkorban untuk “kebersamaan”. Mereka yang tidak mau berkorban, sebaiknya
dipersilakan pergi ke negara-negara lain yang sudah benar-benar merdeka agar
mereka bisa mendapatkan segala yang mereka inginkan. Kita masih belum merdeka
dan masih harus banyak berkorban.
Sampurasun.
No comments:
Post a Comment