oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Ini peringatan bagi gerakan kaum Islam!
Dalam sejarah pergerakannya kaum Islam sering sekali
merendahkan kaum nasionalis. Hal itu disebabkan kaum Islam memiliki sifat
universal yang tidak terbatas pada batas-batas teritorial negara, suku, maupun
ras. Islam selalu memikirkan persaudaraan dan kejayaan umat Islam di seluruh
dunia serta memperjuangkan nilai-nilai Islam ke seluruh dunia. Sementara itu,
kaum nasionalis hanya mementingkan negaranya, tanah airnya, yang dibatas oleh
batas-batas teritorial. Oleh sebab itu, kaum Islam memandang kerdil pada kaum
nasionalis.
Di samping itu, kaum Islam kerap memandang kaum
nasionalis sebagai orang-orang yang tidak teratur hidupnya, tidak tertata
tindakannya, dan jauh dari nilai-nilai ketuhanan. Bahkan, tak jarang kaum Islam
melihat kaum nasionalis yang sering bergerombol sambil mabuk-mabukkan,
merendahkan perempuan, dan kerap bertindak seperti preman.
Sesungguhnya, nilai-nilai yang diperjuangkan kaum
nasionalis adalah memiliki banyak kesamaan dengan kaum Islam, yaitu
kemerdekaan, kebebasan, keadilan, kemanusiaan, dan kebencian pada penjajahan,
kebencian pada kejahatan, kemunkaran, kemiskinan, dan perlakuan
sewenang-wenang. Di samping itu, jika kaum Islam melihat kaum nasionalis banyak
yang belum melakukan perilaku Islami, padahal beragama Islam, seharusnya kaum
Islam menjadikan kaum nasionalis itu sebagai “ladang pahala” dan bukan sebagai
musuh yang berseberangan. Kaum Islam dengan bijak bisa mendekati kaum
nasionalis agar dapat hidup lebih tertata lagi dengan lebih baik.
Kaum Islam harus ingat bahwa semangat nasionalisme adalah
semangat kemerdekaan, keadilan, dan kebencian terhadap segala bentuk kejahatan
manusia terhadap manusia lainnya. Oleh sebab itu, semangat nasionalisme
sebenarnya merupakan modal dasar yang sangat besar bagi terwujudnya bangunan Islam yang rahmatan lil alamin di seluruh
dunia.
Pemimpin Besar
Revolusi Indonesia Soekarno mengingatkan hal ini.
“Bukankah seperti
yang sudah saya terangkan, Islam yang sejati mewajibkan pemeluknya mencintai dan bekerja untuk negeri yang
ia diami, mencintai dan bekerja untuk
rakyat di lingkungan ia hidup selama
negeri dan rakyat itu masuk Darul Islam?
Seyid
Djamaluddin El Afghani di mana-mana telah mengkhutbahkan nasionalisme
dan patriotisme yang oleh musuhnya lantas saja disebutkan ‘fanatisme’. Di
mana-mana Pendekar Pan-Islamisme ini mengkhutbahkan kehormatan pada diri
sendiri, mengkhutbahkan rasa luhur diri, mengkhutbahkan rasa kehormatan bangsa.
Oleh musuhnya, lantas saja dinamakan ‘chauvinisme’. Di mana-mana, terutama di
Mesir, Seyid Djamaluddin menanam benih nasionalisme itu. Seyid Djamaluddin-lah
yang menjadi ‘Bapak Nasionalisme Mesir di dalam segala bagian-bagiannya’.
Bukan Seyid Djamaluddin sajalah yang
menjadi penanam benih nasionalisme dan cinta bangsa, Arabi Pasha, Mustafa Kamil, Mohammad Farid Bey, Ali Pasha, Ahmad Bey
Agayeff, Mohammad Ali, dan Shaukat
Ali … semuanya adalah panglima Islam yang mengajarkan cinta bangsa,
semuanya adalah propagandis nasionalisme di negerinya masing-masing!
Hendaklah pemimpin-pemimpin itu
menjadi teladan bagi Islamis-islamis yang ‘fanatik’ dan sempit budi yang tidak
suka mengetahui terhadap wajibnya merapatkan diri dengan gerakan bangsanya yang
nasionalistis.
Hendaklah Islamis-islamis yang
demikian itu ingat bahwa pergerakannya yang antikafir itu, pastilah menimbulkan
rasa nasionalisme oleh karena
golongan-golongan yang disebutkan kafir itu adalah kebanyakan dari lain bangsa,
bukan bangsa Indonesia!
Islamisme
yang memusuhi pergerakan nasional yang layak, bukanlah Islamisme yang sejati.
Islamisme yang demikian adalah Islamisme yang ‘kolot’, Islamisme yang tak
mengerti aliran zaman!”
Sudah tidak perlu
lagi ada saling mencurigai dan saling mengejek antara gerakan Islam dengan
gerakan nasionalisme karena memiliki banyak kesamaan nilai yang harus
diperjuangkan. Musuh nasionalis yang kafir itu jelas merupakan pula musuh umat
Islam. Gerakan nasionalis dan gerakan Islam di Indonesia harus bersama-sama
dalam mewujudkan tujuan pembangunan nasional Indonesia, yaitu mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya yang
makmur lahir dan makmur batin.
Jangan lupa bahwa di
dalam tubuh kaum Islam pun, terdapat orang-orang yang sesungguhnya menghalangi
kemajuan Islam. Mereka bekerja sama dengan musuh-musuh Islam untuk membuat
rusak nama baik Islam dan menciptakan sekat-sekat yang menghalangi umat Islam
untuk bersatu dan dan berkarya bagi bangsanya dalam rangka mengabdikan diri
kepada Allah swt.
Tak boleh dilupakan pula bahwa kaum nasionalis yang kerap
bertindak dengan gaya premanisme hanyalah segelintir orang yang tidak tahu
tujuan hidupnya. Teramat banyak sesungguhnya kaum nasionalisme yang berperilaku
sangat beradab, penuh kesantunan, idealis, bahkan selalu melaksanakan
kewajibannya untuk beribadat kepada Allah swt selaku muslim. Perilaku tidak
teratur sebagian orang-orang nasionalis tidak harus membuat kaum Islam
menggeneralisir bahwa orang-orang nasionalis adalah preman. Orang-orang
nasionalis yang paham tujuan hidupnya dan taat menjalankan agamanya adalah jauh
lebih berharga dan lebih mulia dibandingkan orang-orang yang tak tertata
perilakunya yang kadang-kadang harus berurusan dengan pihak kepolisian.
Patut pula diingat bahwa penjajahan dalam bentuk “halus’ saat
ini masih berlangsung. Soekarno mengatakannya sebagai neokolonialisme, neoimperialisme, dan neoliberalisme. Penjajahan halus sebagai perwujudan dari nafsu-nafsu barat itulah yang justru
harus diperangi oleh kaum nasionalisme dan kaum Islam karena sumbernya berasal
dari luar negara Indonesia yang digerakkan orang-orang kafir yang pernah
menjadi bangsa-bangsa penjajah di muka Bumi.
Apabila kaum Islam selalu memandang “buruk” kaum
nasionalis, apalagi belum-belum sudah memvonis kaum nasionalis sebagai calon
penghuni neraka, bangsa Indonesia akan menjadi lemah. Kaum Islam yang
berpandangan seperti itu, kata Soekarno, adalah kaum Islam yang “sempit budi
dan ketinggalan zaman”, selama-lamanya kaum Islam seperti itu tetap hina dan mesum serta ketinggalan zaman
seribu tahun.
Sampurasun.
No comments:
Post a Comment