Tuesday, 25 April 2017

Politik Identitas Tidak Salah

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Tak ada kesalahan sama sekali orang Islam memilih pemimpin beragama Islam, orang Jawa memilih pemimpin bersuku Jawa. Tak ada salahnya jika masyarakat memilih pemimpin berdasarkan agamanya, sukunya, rasnya, ataupun adat istiadatnya.

            Apanya yang salah?

            Sama sekali tidak salah!

            Ini demokrasi. Orang bebas menentukan pilihan berdasarkan apa saja yang mereka sukai. Tak ada larangan untuk hal itu. Bebas sebebas-bebasnya. Ini demokrasi. Dalam demokrasi itu bukan “pendapat terbaik” yang dicari dalam menentukan pemimpin atau pemecahan masalah, melainkan “pendapat terbanyak”. Ketika pendapat terbanyak sudah menentukan “orang” atau “cara memecahkan masalah”, itulah yang harus diikuti. Kita harus berdamai dengan hal itu karena itulah risiko yang harus diambil sebagai masyarakat pengguna demokrasi.

            Itulah yang saya sering kritik keras soal demokrasi. Dalam demokrasi itu tidak penting baik dan buruk, tetapi jumlah yang banyak adalah yang terpenting sekalipun itu buruk. Kalau kalian tinggal di lingkungan mayoritas penyamun, penyamunlah pemimpin kalian. Kalau kalian tinggal di lingkungan orang-orang saleh dan mulia, para bijaklah yang akan memimpin kalian. Ini demokrasi.

            Di Negara Indonesia yang mayoritas muslim terbesar di dunia, wajar jika para pemimpinnya mayoritas beragama Islam. Akan tetapi, di Indonesia Bagian Timur yang mayoritas penduduknya bukan Islam, wajar jika pemimpinnya nonmuslim. Soal baik, buruk, saleh, tidak saleh, cerdas, atau bodoh, itu soal lain karena demokrasi menginginkan suara mayoritas. Apabila ada pemimpin terpilih, tetapi berlainan agama dengan masyarakat pemilihnya, itu kasuistis, seperti, Ahok (Kristen) di DKI Jakarta, Indonesia, yang muslim atau Sadiq Khan (Muslim) di London, Inggris, yang nonmuslim.

            Masyarakat pemilih itu beragam dan memiliki kebebasan mutlak. Ada masyarakat yang memilih secara rasional, ada pula yang emosional, bahkan ada yang memilih berdasarkan keduanya, yaitu rasional-emosional. Kita tidak bisa memaksa masyarakat untuk memilih secara rasional, secara emosional, maupun rasional-emosional. Masyarakat memilih berdasarkan pertimbangannya masing-masing dan harus dipatuhi jika jumlah terbanyak sudah menentukan pilihan. Ini demokrasi.

            Politik identitas tidaklah salah, wajar, normal, dan ini terjadi di seluruh dunia. Amerika Serikat pun sering menggunakan nilai-nilai primordialismenya dalam memilih pemimpin, terutama presiden. Mereka dikenal dengan menggunakan isu Wasp, yaitu white, anglo saxon, and protestan, ‘berkulit putih, keturunan Ishak, dan beragama Protestan’. Mereka kadang-kadang menang, kadang-kadang pula kalah.

            Sesungguhnya, bukanlah politik identitas yang menjadi masalah, melainkan hoax, hate speech, pemutarbalikan fakta, kemunafikan, penyalahgunaan agama untuk kepentingan politik, pemaksaan kehendak, intimidasi, kecurangan, money politics, kebohongan, dan kebencian yang ditumpuk untuk mendapatkan kekuasaan. Hal-hal itulah sebenarnya yang harus diperangi dan bukan politik identitas karena setiap bangsa, suku bangsa, atau agama memiliki identitas masing-masing yang akan dipertahankan oleh anggota-anggotanya. Identitas mayoritas wajib dihormati oleh mereka yang beridentitas minoritas. Pemilik identitas mayoritas wajib melindungi mereka yang beridentitas minoritas. Begitu seharusnya.

            Ini demokrasi. Kita harus selalu berdamai dengan hasil-hasilnya meskipun sudah pasti orang secerdas mantan Presiden RI Habibie pasti kalah oleh dua pemakai Narkoba di dalam bilik suara karena sistemnya adalah one man one vote. Ini demokrasi.

            Iya, toh?

            Iya toh pisan eta mah.


            Sampurasun.

No comments:

Post a Comment