oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Tak ada kesalahan sama
sekali orang Islam memilih pemimpin beragama Islam, orang Jawa memilih pemimpin
bersuku Jawa. Tak ada salahnya jika masyarakat memilih pemimpin berdasarkan
agamanya, sukunya, rasnya, ataupun adat istiadatnya.
Apanya yang salah?
Sama sekali tidak salah!
Ini demokrasi. Orang bebas menentukan pilihan berdasarkan
apa saja yang mereka sukai. Tak ada larangan untuk hal itu. Bebas
sebebas-bebasnya. Ini demokrasi. Dalam demokrasi itu bukan “pendapat terbaik”
yang dicari dalam menentukan pemimpin atau pemecahan masalah, melainkan “pendapat
terbanyak”. Ketika pendapat terbanyak sudah menentukan “orang” atau “cara
memecahkan masalah”, itulah yang harus diikuti. Kita harus berdamai dengan hal
itu karena itulah risiko yang harus diambil sebagai masyarakat pengguna
demokrasi.
Itulah yang saya sering kritik keras soal demokrasi.
Dalam demokrasi itu tidak penting baik dan buruk, tetapi jumlah yang banyak
adalah yang terpenting sekalipun itu buruk. Kalau kalian tinggal di lingkungan
mayoritas penyamun, penyamunlah pemimpin kalian. Kalau kalian tinggal di
lingkungan orang-orang saleh dan mulia, para bijaklah yang akan memimpin
kalian. Ini demokrasi.
Di Negara Indonesia yang mayoritas muslim terbesar di
dunia, wajar jika para pemimpinnya mayoritas beragama Islam. Akan tetapi, di
Indonesia Bagian Timur yang mayoritas penduduknya bukan Islam, wajar jika
pemimpinnya nonmuslim. Soal baik, buruk, saleh, tidak saleh, cerdas, atau
bodoh, itu soal lain karena demokrasi menginginkan suara mayoritas. Apabila ada
pemimpin terpilih, tetapi berlainan agama dengan masyarakat pemilihnya, itu
kasuistis, seperti, Ahok (Kristen) di
DKI Jakarta, Indonesia, yang muslim atau Sadiq
Khan (Muslim) di London, Inggris, yang nonmuslim.
Masyarakat pemilih itu beragam dan memiliki kebebasan
mutlak. Ada masyarakat yang memilih secara rasional, ada pula yang emosional,
bahkan ada yang memilih berdasarkan keduanya, yaitu rasional-emosional. Kita
tidak bisa memaksa masyarakat untuk memilih secara rasional, secara emosional,
maupun rasional-emosional. Masyarakat memilih berdasarkan pertimbangannya
masing-masing dan harus dipatuhi jika jumlah terbanyak sudah menentukan
pilihan. Ini demokrasi.
Politik identitas tidaklah salah, wajar, normal, dan ini
terjadi di seluruh dunia. Amerika Serikat pun sering menggunakan nilai-nilai
primordialismenya dalam memilih pemimpin, terutama presiden. Mereka dikenal dengan
menggunakan isu Wasp, yaitu white, anglo saxon, and protestan, ‘berkulit
putih, keturunan Ishak, dan beragama Protestan’. Mereka kadang-kadang menang,
kadang-kadang pula kalah.
Sesungguhnya, bukanlah politik identitas yang menjadi
masalah, melainkan hoax, hate speech, pemutarbalikan
fakta, kemunafikan, penyalahgunaan agama untuk kepentingan politik, pemaksaan
kehendak, intimidasi, kecurangan, money
politics, kebohongan, dan kebencian yang ditumpuk untuk mendapatkan
kekuasaan. Hal-hal itulah sebenarnya yang harus diperangi dan bukan politik
identitas karena setiap bangsa, suku bangsa, atau agama memiliki identitas
masing-masing yang akan dipertahankan oleh anggota-anggotanya. Identitas
mayoritas wajib dihormati oleh mereka yang beridentitas minoritas. Pemilik identitas
mayoritas wajib melindungi mereka yang beridentitas minoritas. Begitu seharusnya.
Ini demokrasi. Kita harus selalu berdamai dengan
hasil-hasilnya meskipun sudah pasti orang secerdas mantan Presiden RI Habibie
pasti kalah oleh dua pemakai Narkoba di dalam bilik suara karena sistemnya
adalah one man one vote. Ini
demokrasi.
Iya, toh?
Iya toh pisan eta
mah.
Sampurasun.
No comments:
Post a Comment