Sunday, 23 April 2017

Nasionalisme Barat Vs Nasionalisme Timur

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Terdapat banyak pemahaman atau pengertian mengenai nasionalisme dari para ahli, seperti, Ernest Renan, Karl Kautsky, Karl Radek, dan Otto Bauer. Pemimpin Besar Revolusi Indonesia Soekarno memiliki pengertian sendiri yang singkat, namun penuh makna tentang nasionalisme.

            Kata Soekarno, “Nasionalisme adalah suatu itikad, suatu keinsyafan rakyat bahwa rakyat adalah satu golongan, satu ‘bangsa’! … rasa nasionalistis itu menimbulkan suatu rasa percaya terhadap diri sendiri, rasa yang perlu sekali untuk mempertahankan diri di dalam perjuangan menempuh keadaan-keadaan yang mau mengalahkan kita.”

            Di dalam mengajarkan nasionalisme kepada bangsa Indonesia, Soekarno mendapat ganjalan dari teman-temannya sendiri, misalnya, H. Agus Salim yang mengkhawatirkan Soekarno terjebak dalam paham nasionalisme yang chauvinistis, rasa nasionalisme yang berlebihan sehingga merusakkan kehidupan manusia. Atas nama nasionalisme, bangsa Perancis menyerang negeri-negeri lain dan menghina para pemimpinnya. Napoleon menghina raja-raja yang berdekatan dengan negerinya, lalu menindas rakyatnya. Jerman memaksa anak-anak laki-laki ingusan untuk berperang agar bisa menaklukan dunia. Italia mempersenjatai anak-anak laki-laki dan perempuan ingusan agar bisa menjajah negeri lain. Eropa merendahkan derajat bangsa di luar mereka.

SOEKARNO. Foto: baeksoo11.blogspot.co.id

            Untuk memberikan pemahaman yang lebih jelas, Soekarno membagi dua pemahaman tentang nasionalisme, yaitu nasionalisme barat dan nasionalisme timur.

            Begini pemahaman nasionalisme barat atau nasionalisme Eropa yang diajarkan Soekarno, “Nasionalisme Eropa ialah suatu nasionalisme yang bersifat serang-menyerang, suatu nasionalisme yang mengejar keperluan sendiri, suatu nasionalisme perdagangan yang untung atau rugi. Nasionalisme semacam itu akhirnya pasti kalah, pasti binasa.”

            Memanglah benar sekali Soekarno mengajarkan hal semacam itu karena sejarah mencatat bahwa di dunia barat atau Eropa pada masa lalu saling menjajah, saling menguasai, saling bunuh, dan saling rampok. Kebanggaan atas dasar nasionalisme telah mengobarkan permusuhan dan perang-perang besar. Kebanggaan atas dasar ras, agama, dan kesukuan telah menumpahkan banyak darah, menyebarkan teror, perkosaan, perampokan, penjajahan, dan berbagai kesadisan lainnya.

            Pada masa ini pun sebenarnya nasionalisme barat itu tetap seperti itu. Bedanya mereka sudah berpengalaman bahwa jika melakukan perang atau konfrontasi langsung, kerugian yang akan mereka derita teramat besar atau bahkan mereka bisa kalah sama sekali secara memalukan seperti masa lalu. Seluruh penjajahan sudah selesai, kecuali di Palestina. Itu artinya mereka memiliki catatan sejarah memalukan dalam arti kalah dan terusir dari sebuah negara jajahan. Saat ini nasionalisme barat yang penuh dengan kesombongan itu disalurkan melalui pasukan-pasukan gabungan dari berbagai negara untuk melakukan penyerangan pada negara yang lebih lemah dan memiliki celah untuk difitnah agar dapat dirampok kekayaan manusia dan alamnya sekaligus. Sering pula mereka menyewa atau bekerja sama dengan penduduk lokal suatu negara untuk melakukan pemberontakan atau huru hara agar terjadi ketidakamanan dan kekacauan sehingga mereka bisa masuk untuk merampok sumber daya manusia dan sumber daya alamnya sekaligus. Kita bisa lihat konflik-konflik yang terjadi saat ini di seluruh dunia, selalu ada pihak barat di dalam berbagai kekacauan itu. Libya, Irak, Suriah, Isis, semenanjung Korea, dan lain sebagainya selalu ada pihak barat yang terlibat di sana. Kalaupun tidak langsung secara fisik, pikiran dan isme-isme barat berperan sangat besar dalam kekacauan itu. Hal itu disebabkan memang pada dasarnya nasionalisme barat itu seperti yang diajarkan Soekarno, yaitu bersifat serang-menyerang.

            Adapun nasionalisme timur berbeda sangat jauh dibandingkan nasionalisme barat.

            Kata Soekarno, “Hanya nasionalisme ketimuran sejatilah yang pantas dipeluk oleh nasionalis timur sejati. … Nasionalis sejati yang cintanya pada tanah air itu bersendi pada pengetahuan atas susunan ekonomi dunia dan riwayat serta bukan semata-mata timbul dari kesombongan bangsa belaka—nasionalis yang bukan chauvinis, tidak boleh tidak, haruslah menolak segala paham pengecualian yang sempit budi, Nasionalis sejati haruslah nasionalismenya itu bukan semata-mata suatu copie atau tiruan dari nasionalisme barat, tetapi timbul dari rasa cinta terhadap manusia dan kemanusiaan. Nasionalisme yang menerima rasa nasionalismenya sebagai suatu bakti pasti terhindar dari segala paham kekecilan dan kesempitan. Baginya, rasa cinta bangsa itu lebar dan luas, yaitu dengan memberi tempat pada golongan-golongan lain bagaikan lebar dan luasnya udara yang memberi tempat pada segenap sesuatu yang perlu untuk hidupnya segala hal yang hidup.”

             Dari ajaran Soekarno tersebut, kita bisa memahami bahwa nasionalisme timur adalah harus tumbuh dari perasaan cinta tanah air untuk memberikan tempat hidup pada segala hal yang hidup dan sedermawan udara yang selalu memberikan kehidupan tanpa membeda-bedakan manusia untuk mewujudkan rasa cinta terhadap manusia dan kemanusiaan.

            Soekarno pun lebih menjelaskan, “Nasionalisme kita adalah nasionalisme yang membuat kita menjadi ‘perkakasnya Tuhan’ dan membuat kita ‘hidup dalam ruh’ seperti yang saban-saban dikhutbahkan oleh Bipin Chandra Pal, pemimpin India yang besar itu. Dengan nasionalisme yang demikian ini, kita insyaf dengan seinsyaf-insyafnya bahwa negeri kita dan rakyat kita adalah bagian dari negeri Asia dan rakyat Asia juga bagian dari dunia dan penduduk dunia …. Kita, kaum pergerakan nasional Indonesia bukan saja merasa menjadi abdi atau hamba dari tumpah darah kita, melainkan kita juga merasa menjadi abdi dan hamba Asia, abdi dan hamba semua kaum yang sengsara, abdi dan hamba dunia.”

            Banyak sebenarnya ajaran Soekarno soal nasionalisme. Akan tetapi, hal itu sudah lumaya cukup untuk kita agar kita memahami bahwa rasa cinta kepada Indonesia itu merupakan dasar-dasar kita untuk mencintai Asia dan dunia. Dalam kata lain, kita harus menjadikan diri kita sebagai alat bagi Allah swt dalam rangka mencintai manusia dan mencintai kemanusiaan demi terwujudnya keadilan dan kedamaian bagi seluruh manusia di seluruh dunia. Syaratnya, jelas bahwa sebelum berjuang untuk Asia dan dunia, kita harus mewujudkan terlebih dahulu keadilan dan perdamaian di Indonesia.


            Sampurasun.

No comments:

Post a Comment