Friday, 14 April 2017

Uang Mengalahkan Ukhuwah Islamiyah

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Cukup menyedihkan juga jika kita memperhatikan ulang kunjungan Raja Arab Saudi Salman ke Indonesia. Presiden Indonesia Jokowi dan jajarannya menyambutnya dengan sangat baik meskipun sempat hujan. Acara penyambutan dan salam hangat datang dari para petinggi Indonesia, baik eksekutif maupun legislatif. Demikian pula keramahan ditunjukkan dengan tulus oleh seluruh pemimpin agama apa pun di Indonesia. Islam, Hindu, Kristen, Budha, Konghucu, dan pemeluk agama lokal pun ramah dan gembira menyambutnya.

            Hal itu mudah dipahami karena rakyat Indonesia ini menghormati Kerajaan Arab Saudi yang berperan sebagai “Penjaga Dua Kota Suci Umat Islam”, yaitu Mekah dan Madinah. Di samping itu, dunia memandang bahwa Kerajaan Arab Saudi merupakan simbol Islam terbesar karena dua kota suci itu. Adapun Indonesia adalah negara dengan jumlah pemeluk Islam terbesar di dunia. Bertemunya negara simbol Islam terbesar dengan negara berpenduduk Islam terbesar adalah sejarah besar. Bukan hanya rakyat muslim Indonesia yang menghormati Raja Arab Saudi, melainkan pula seluruh umat beragama nonmuslim pun ikut gembira dan senang. Rasa senang itu pun didorong oleh adanya berita yang mengatakan bahwa Raja Salman datang dengan membawa investasi sekitar Rp 331 triliun untuk ditanamkan di Indonesia. Jumlah yang sangat besar. Rakyat berharap ikut “kebagian” dari investasi itu dalam arti ada peningkatan pada berbagai sektor ekonomi.

JOKOWI DAN SALMAN. Foto: nasional.kompas.com
            Sayangnya, kenyataan menunjukkan hal lain. Rakyat Indonesia yang berharap besar, baik muslim maupun nonmuslim, terhadap realisasi investasi itu harus sedikit kecewa karena ternyata investasi yang ditanamkan Raja Salman hanya sejumlah Rp 89 triliun. Itu juga memang investasi yang sangat besar, tetapi tidak sebesar harapan pertama saat Raja Salman hadir di Indonesia. Presiden Indonesia Jokowi pun ikut merasa kecewa.

            Hal yang cukup menjadi perhatian adalah ternyata jumlah investasi yang ditanamkan di Cina jauh lebih besar dibandingkan dengan di Indonesia. Dalam kata lain, Raja Salman berinvestasi di Indonesia jauh lebih kecil dibandingkan dengan di Cina. Padahal, Indonesia dan Arab Saudi adalah sama-sama muslim dan rakyat berharap rasa persaudaraan sesama muslim itu merupakan nilai lebih dalam melakukan hubungan internasional. Adapun dengan Cina, Arab Saudi memiliki perbedaan agama dan keyakinan. Cina itu adalah negara komunis, sedangkan Arab Saudi negara simbol Islam terbesar. Tak ada nilai lebih dari Cina selain ekonomi.

            Mengapa hal ini bisa terjadi?

            Kok sepertinya tidak saling percaya antarsesama umat Islam sendiri?

            Kok Arab Saudi lebih percaya pada komunis daripada pada saudaranya sendiri sesama muslim?

            Bahkan, ketika salah seorang pangeran Arab Saudi bertemu dengan Donald Trump, mengatakan dengan tegas bahwa Trump adalah sahabat umat Islam. Padahal, saat itu dunia tahu bahwa Presiden AS Donald Trump sedang mengambil kebijakan yang dirasakan cukup menekan beberapa negara muslim, bahkan umat Islam. Akan tetapi, Arab Saudi berinvestasi sangat besar di Cina dibandingkan dengan di Indonesia.

            Mengapa ini bisa terjadi?

            Hal ini terjadi karena bisa dipandang dari dua sisi, yaitu dari sisi negatif dan sisi positif. Dari sisi negatif kita bisa melihat betapa lemahnya ukhuwah Islamiyah di kalangan kaum muslimin. Rasa saling percaya dan saling mendukung di antara sesama muslim tidak terjalin dengan baik. Negara-negara muslim hanya mementingkan negaranya sendiri dan kurang mementingkan kehidupan kaum muslimin secara keseluruhan. Hal itu menunjukkan betapa lemahnya iman kaum muslimin terhadap ajarannya sendiri, yaitu Islam dan Al Quran.

            Islam selalu menganjurkan, bahkan memerintahkan untuk saling menjaga di antara sesama muslim. Jika seorang muslim sakit atau menderita, seluruh muslim harus merasakan sakit pula. Jika terjadi rasa persaudaraan yang kuat dan saling merasakan penderitaan di antara sesama muslim, Allah swt pun akan melimpahkan rezeki dan harta yang lebih berlimpah penuh berkah di dunia dan akhirat.

            Secara negatif, hal itu bisa dipandang sebagai kelemahan iman di antara kaum muslimin sendiri. Untuk hal ini, kita masih harus memegang teori-teori hubungan internasional yang sesungguhnya agak bertentangan dengan Islam, yaitu hubungan internasional yang terjadi selalu didasarkan pada kepentingan negara masing-masing yang melakukan hubungan internasional itu. Artinya, Arab Saudi datang ke Indonesia adalah bukan untuk kesejahteraan rakyat Indonesia, melainkan untuk mendapatkan keuntungan pribadi bagi Negara Arab Saudi sendiri. Demikian pula dengan Indonesia. Kerja sama yang terjadi dengan Arab Saudi bukanlah untuk kepentingan Penjaga Dua Kota Suci Umat Islam, melainkan untuk kepentingan rakyat Indonesia. Teori ini ternyata masih tetap berlaku hingga hari ini. Oleh sebab itu, kita pun harus memegang teguh teori ini untuk sementara waktu hingga timbul fenomena lain yang menggugurkan teori tersebut. Soal kesamaan agama, dalam kerja sama ini tidaklah begitu penting. Tak ada unsur agama dalam kerja sama tersebut karena setiap negara melakukan interaksi internasional hanyalah untuk kepentingan negaranya sendiri-sendiri. Setiap negara berjuang untuk mendapatkan uang untuk dirinya sendiri dan bukan untuk ukhuwah Islamiyah, apalagi untuk kesejahteraan seluruh kaum muslimin.

            Secara positif, kita, sebagai bangsa Indonesia, harus memandang bahwa lebih banyaknya Arab Saudi berinvestasi di Cina yang komunis dibandingkan dengan di Indonesia yang mayoritas muslim adalah disebabkan sumber daya manusia Cina lebih baik dan lebih bisa dipercaya untuk mengembangkan investasi Arab Saudi. Raja Salman masih lebih percaya pada Cina dibandingkan pada Indonesia. Oleh sebab itu, kita, Indonesia, harus introspeksi diri bahwa kita masih memiliki kelemahan pada beberapa bidang dan itu harus diperbaiki sehingga orang lain lebih percaya pada diri kita. Kelemahan itu bisa dari sumber daya manusia, dari birokrasi, atau dari sistem. Artinya, Indonesia harus meningkatkan kemampuan sumber daya manusia, memperbaiki birokrasi, serta menyederhanakan sistem untuk investasi dengan tetap mengedepankan nasionalisme dan kepentingan rakyat Indonesia.

            Sekarang bergantung kita bagaimana menyikapinya. Adalah suatu hal yang wajar jika Presiden Jokowi kembali melakukan sambungan telepon pada Raja Salman untuk meminta investasi lebih besar lagi agar seimbang dengan investasi di Cina, bahkan lebih besar lagi.

            Sampurasun.

No comments:

Post a Comment