Thursday, 20 April 2017

Semua Rusak Akibat Ingkar Janji

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Kerusakan di dunia ini hampir seluruhnya diakibatkan oleh perilaku ingkar janji. Sebuah bangsa, negara, sekelompok orang, sekeluarga, pertemanan, persahabatan, bahkan sejarah kehidupan daratan dan lautan di seluruh muka Bumi ini rusak karena perilaku ingkar janji.

            Janji yang telah diucapkan akan menjadi kesepakatan. Kesepakatan itu berubah menjadi peraturan yang harus ditaati. Apabila peraturan tidak ditaati, terjadilah pelanggaran yang akan mengakibatkan jatuhnya sanksi.

            Pelanggaran janji yang pertama kali kita kenal adalah pelanggaran janji yang dilakukan Adam-Hawa. Mereka sudah berjanji untuk tidak akan memakan “buah terlarang”. Akan tetapi, janji itu mereka langgar. Akibatnya, mereka harus turun dari surga dan harus berjuang memenuhi kebutuhan hidupnya jauh lebih sulit dibandingkan ketika dilayani para malaikat di surga.

            Penurunan kejayaan Kerajaan Sunda yang mengalami masa kegemilangannya pada masa Sundaland pun akibat dari pelanggaran terhadap janji. Prabu Siliwangi as dan masyarakat Sundaland sudah berjanji tidak akan memperjualbelikan “padi” atau “beras”. Makanan itu hanya digunakan sebagai bakti kepada manusia dan kemanusiaan. Gratis. Ketika janji itu dipenuhi, rakyat pun hidup dalam kemakmuran luar biasa. Segala bidang kehidupan berkembang pesat dengan sangat cepat. Kemegahan dan ketinggian teknologi begitu mengagumkan dan tidak bisa dipahami manusia hingga hari ini. Bangunan-bangunan megah masa lalu yang kemudian muncul secara “ajaib” di Indonesia pada masa ini masih dipelajari peneliti karena rumitnya konstruksi dan sulitnya memperkirakan cara pembuatannya. Dalam hal makanan, tidak pernah kekurangan. Sebanyak apa pun beras diambil dari gudang, seolah-olah tumpukannya tidak pernah turun, tidak pernah berkurang.  Itulah yang disebut-sebut dengan leuit Pajajaran pinuh, ‘lumbung padi Pajajaran selalu penuh’. Sebelum manusia “melanggar janji”, segala sesuatunya serba sempurna, terutama tentang buah padi yang dijadikan makanan yang dapat diambil dengan sangat enteng tanpa susah payah (cf. Archaimbault, 1973 : 80-81, 113, 124, dan 229-231 dalam V. Sukanda-Tessier, 1991).

            Sayangnya, pada generasi-generasi berikutnya, janji itu dilanggar. Seorang permasuri Sunda terbujuk rayu oleh pebisnis asal Cina yang terus-terusan ingin membeli padi/beras. Awalnya, ditolak dan selalu ditolak. Akan tetapi, bujukan pebisnis itu benar-benar kuat. Akhirnya, terjadilah transaksi jual-beli beras/padi. Akibatnya, jatuhlah hukuman dari Allah swt. Hukuman itu adalah jelas sekali bahwa persediaan padi/beras semakin menyusut drastis dan terus berkurang, laki-laki harus bekerja dua kali lipat untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, dan perempuan harus berletih-letih membantu laki-laki untuk bekerja mencari nafkah. Padahal, sebelumnya segalanya serba mudah, enteng, dan menyenangkan, makanan banyak, dan perempuan tidak perlu bekerja, perempuan hanya perlu mempercantik diri untuk menyenangkan para laki-lakinya dan menunggu para pria di kaputren atau di taman-taman indah.

            Akibat dari kondisi kehidupan yang menurun, terjadi banyak pelanggaran-pelanggaran janji berikutnya. Janji untuk tetap rajin beribadat dan mengagungkan Allah swt, dilupakan dan diingkari. Janji untuk saling menjaga dan saling mengisi, berubah menjadi saling bersaing. Janji untuk saling menyayangi dan saling melindungi berubah menjadi saling menguasai. Janji untuk melindungi perempuan berubah menjadi memperalat perempuan. Janji untuk tidak musyrik berubah menjadi kafir, bahkan menyembah berhala dan mengikuti Iblis.

            Pelanggaran-pelanggaran yang terus terjadi itu membuat murka Allah swt terwujud. Hancurlah Benua Sundaland yang megah dan gagah perkasa itu menjadi berkeping-keping berbentuk kepulauan yang bernama Indonesia.

            Pelanggaran-pelanggaran terhadap janji ini terjadi di seluruh dunia, baik di Arab, Eropa, Afrika, maupun Asia. Di seluruh pelosok dunia ada nabi. Janji-janji manusia lewat para nabi inilah yang dilanggar dan diingkari akibat hawa nafsu yang berlebihan dan kurangnya kesabaran manusia dalam menghadapi kehidupan.

            Seandainya kita semua dapat memegang janji kita, baik janji kecil maupun janji besar, baik kepada seseorang, sekelompok orang, maupun kepada Allah swt, niscaya hidup kita akan baik-baik saja. Kekusutan hidup kita sebenarnya akibat banyaknya janji dan kesepakatan yang kita langgar sendiri.

            Bahkan, kita semua, seluruh manusia sudah berjanji untuk hanya menyembah satu Tuhan, yaitu Allah swt, tetapi banyak yang melanggarnya. Oleh sebab itu, Allah swt menurunkan para nabi untuk mengingatkan kita atas janji kita yang hanya menyembah Tuhan Yang Satu. Jika janji itu kita tepati, kita akan baik-baik saja. Jika janji itu diingkari, wajar jika hidup kita kusut.

            Janji kita kepada Allah swt diabadikan dalam Al Quran.

            “Ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu?’

            Mereka menjawab, ‘Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.’

            (Kami lakukan yang demikian itu) agar kamu di hari kiamat tidak mengatakan, ‘Sesungguhnya, kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lupa terhadap ini (keesaan Tuhan).’” (QS Al Araaf 7 : 172)

            Karena kejadian ini sudah sangat lama, manusia lupa sama sekali. Saking lupanya, banyak manusia yang tidak percaya terhadap kejadian dirinya pernah bersumpah di hadapan Allah swt. Banyak manusia yang mengatakan bahwa itu hanya dongeng dan bohong belaka. Hanya karena lupa, mereka mengingkari janjinya.

            Allah swt tahu bahwa manusia pasti akan lupa. Oleh sebab itu, Allah swt mengingatkan kembali peristiwa itu melalui para nabi. Ayat ini pun merupakan pengingat bagi manusia agar kembali pada janjinya yang dulu.

            Lupa, kan?

            Pasti lupa.

            Manusia memang mudah lupa karena saking panjangnya peristiwa yang harus dialami.

            Bagi mereka yang mengingkari atau tidak percaya bahwa dirinya pernah bersumpah di hadapan Allah swt, saya punya pertanyaan, “Ketika kalian berusia lima tahun, pada hari Rabu, celana kalian berwarna apa?”

            Masih ingat warna celana kalian saat itu?

            Lupa, kan?

            Iya, kan?

            Warna celana ketika kita berusia lima tahun saja lupa, apalagi peristiwa yang terjadi ketika fisik kita masih berupa sperma ayah kita dan belum menyentuh sel telur ibu kita. Saat sperma ayah kita keluar, ruh kita yang akan dimasukkan ke dalam sperma yang bergabung dengan sel telur ibu kita, bersumpah kepada Allah swt bahwa hanya akan menyembah Tuhan Yang Satu, Tuhan yang menciptakan kita, yaitu Allah swt dalam bahasa Arab dan bisa sebutan lain dalam bahasa lain, tetapi semuanya berujung kepada Tuhan Yang Maha Esa.

            Supaya hidup kita baik-baik saja di dunia dan di akhirat, penuhi janji kita untuk tetap ber-Tuhan Yang Satu. Laksanakan segala perintah-Nya, jauhi segalah hal yang dilarang-Nya.


            Sampurasun.

No comments:

Post a Comment