oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Kerusakan di dunia ini
hampir seluruhnya diakibatkan oleh perilaku ingkar janji. Sebuah bangsa,
negara, sekelompok orang, sekeluarga, pertemanan, persahabatan, bahkan sejarah
kehidupan daratan dan lautan di seluruh muka Bumi ini rusak karena perilaku ingkar
janji.
Janji yang telah diucapkan akan menjadi kesepakatan.
Kesepakatan itu berubah menjadi peraturan yang harus ditaati. Apabila peraturan
tidak ditaati, terjadilah pelanggaran yang akan mengakibatkan jatuhnya sanksi.
Pelanggaran janji yang pertama kali kita kenal adalah
pelanggaran janji yang dilakukan Adam-Hawa. Mereka sudah berjanji untuk tidak
akan memakan “buah terlarang”. Akan tetapi, janji itu mereka langgar.
Akibatnya, mereka harus turun dari surga dan harus berjuang memenuhi kebutuhan
hidupnya jauh lebih sulit dibandingkan ketika dilayani para malaikat di surga.
Penurunan kejayaan Kerajaan Sunda yang mengalami masa kegemilangannya
pada masa Sundaland pun akibat dari pelanggaran terhadap janji. Prabu Siliwangi
as dan masyarakat Sundaland sudah berjanji tidak akan memperjualbelikan “padi”
atau “beras”. Makanan itu hanya digunakan sebagai bakti kepada manusia dan
kemanusiaan. Gratis. Ketika janji itu dipenuhi, rakyat pun hidup dalam
kemakmuran luar biasa. Segala bidang kehidupan berkembang pesat dengan sangat
cepat. Kemegahan dan ketinggian teknologi begitu mengagumkan dan tidak bisa
dipahami manusia hingga hari ini. Bangunan-bangunan megah masa lalu yang
kemudian muncul secara “ajaib” di Indonesia pada masa ini masih dipelajari
peneliti karena rumitnya konstruksi dan sulitnya memperkirakan cara
pembuatannya. Dalam hal makanan, tidak pernah kekurangan. Sebanyak apa pun
beras diambil dari gudang, seolah-olah tumpukannya tidak pernah turun, tidak
pernah berkurang. Itulah yang
disebut-sebut dengan leuit Pajajaran
pinuh, ‘lumbung padi Pajajaran selalu penuh’. Sebelum manusia “melanggar
janji”, segala sesuatunya serba sempurna, terutama tentang buah padi yang
dijadikan makanan yang dapat diambil dengan sangat enteng tanpa susah payah
(cf. Archaimbault, 1973 : 80-81, 113, 124, dan 229-231 dalam V.
Sukanda-Tessier, 1991).
Sayangnya, pada generasi-generasi berikutnya, janji itu
dilanggar. Seorang permasuri Sunda terbujuk rayu oleh pebisnis asal Cina yang
terus-terusan ingin membeli padi/beras. Awalnya, ditolak dan selalu ditolak.
Akan tetapi, bujukan pebisnis itu benar-benar kuat. Akhirnya, terjadilah
transaksi jual-beli beras/padi. Akibatnya, jatuhlah hukuman dari Allah swt.
Hukuman itu adalah jelas sekali bahwa persediaan padi/beras semakin menyusut drastis
dan terus berkurang, laki-laki harus bekerja dua kali lipat untuk memenuhi
kebutuhan rumah tangga, dan perempuan harus berletih-letih membantu laki-laki
untuk bekerja mencari nafkah. Padahal, sebelumnya segalanya serba mudah, enteng,
dan menyenangkan, makanan banyak, dan perempuan tidak perlu bekerja, perempuan
hanya perlu mempercantik diri untuk menyenangkan para laki-lakinya dan menunggu
para pria di kaputren atau di taman-taman indah.
Akibat dari kondisi kehidupan yang menurun, terjadi
banyak pelanggaran-pelanggaran janji berikutnya. Janji untuk tetap rajin
beribadat dan mengagungkan Allah swt, dilupakan dan diingkari. Janji untuk
saling menjaga dan saling mengisi, berubah menjadi saling bersaing. Janji untuk
saling menyayangi dan saling melindungi berubah menjadi saling menguasai. Janji
untuk melindungi perempuan berubah menjadi memperalat perempuan. Janji untuk
tidak musyrik berubah menjadi kafir, bahkan menyembah berhala dan mengikuti
Iblis.
Pelanggaran-pelanggaran yang terus terjadi itu membuat
murka Allah swt terwujud. Hancurlah Benua Sundaland yang megah dan gagah
perkasa itu menjadi berkeping-keping berbentuk kepulauan yang bernama
Indonesia.
Pelanggaran-pelanggaran terhadap janji ini terjadi di
seluruh dunia, baik di Arab, Eropa, Afrika, maupun Asia. Di seluruh pelosok
dunia ada nabi. Janji-janji manusia lewat para nabi inilah yang dilanggar dan
diingkari akibat hawa nafsu yang berlebihan dan kurangnya kesabaran manusia
dalam menghadapi kehidupan.
Seandainya kita semua dapat memegang janji kita, baik
janji kecil maupun janji besar, baik kepada seseorang, sekelompok orang, maupun
kepada Allah swt, niscaya hidup kita akan
baik-baik saja. Kekusutan hidup kita sebenarnya akibat banyaknya janji dan
kesepakatan yang kita langgar sendiri.
Bahkan, kita semua, seluruh manusia sudah berjanji untuk
hanya menyembah satu Tuhan, yaitu Allah swt, tetapi banyak yang melanggarnya. Oleh
sebab itu, Allah swt menurunkan para nabi untuk mengingatkan kita atas janji
kita yang hanya menyembah Tuhan Yang Satu. Jika janji itu kita tepati, kita
akan baik-baik saja. Jika janji itu diingkari, wajar jika hidup kita kusut.
Janji kita kepada Allah swt diabadikan dalam Al Quran.
“Ingatlah ketika
Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah
mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), ‘Bukankah Aku ini
Tuhanmu?’
Mereka menjawab, ‘Betul (Engkau
Tuhan kami), kami menjadi saksi.’
(Kami lakukan yang demikian itu)
agar kamu di hari kiamat tidak mengatakan, ‘Sesungguhnya, kami (bani Adam)
adalah orang-orang yang lupa terhadap ini (keesaan Tuhan).’” (QS
Al Araaf 7 : 172)
Karena kejadian ini sudah sangat lama, manusia lupa sama
sekali. Saking lupanya, banyak manusia yang tidak percaya terhadap kejadian
dirinya pernah bersumpah di hadapan Allah swt. Banyak manusia yang mengatakan
bahwa itu hanya dongeng dan bohong belaka. Hanya karena lupa, mereka mengingkari
janjinya.
Allah swt tahu bahwa manusia pasti akan lupa. Oleh sebab
itu, Allah swt mengingatkan kembali peristiwa itu melalui para nabi. Ayat ini
pun merupakan pengingat bagi manusia agar kembali pada janjinya yang dulu.
Lupa, kan?
Pasti lupa.
Manusia memang mudah lupa karena saking panjangnya peristiwa
yang harus dialami.
Bagi mereka yang mengingkari atau tidak percaya bahwa
dirinya pernah bersumpah di hadapan Allah swt, saya punya pertanyaan, “Ketika
kalian berusia lima tahun, pada hari Rabu, celana kalian berwarna apa?”
Masih ingat warna celana kalian saat itu?
Lupa, kan?
Iya, kan?
Warna celana ketika kita berusia lima tahun saja lupa, apalagi
peristiwa yang terjadi ketika fisik kita masih berupa sperma ayah kita dan
belum menyentuh sel telur ibu kita. Saat sperma ayah kita keluar, ruh kita yang
akan dimasukkan ke dalam sperma yang bergabung dengan sel telur ibu kita,
bersumpah kepada Allah swt bahwa hanya akan menyembah Tuhan Yang Satu, Tuhan
yang menciptakan kita, yaitu Allah swt dalam bahasa Arab dan bisa sebutan lain
dalam bahasa lain, tetapi semuanya berujung kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Supaya hidup kita baik-baik
saja di dunia dan di akhirat, penuhi janji kita untuk tetap ber-Tuhan Yang
Satu. Laksanakan segala perintah-Nya, jauhi segalah hal yang dilarang-Nya.
Sampurasun.
No comments:
Post a Comment