Sunday, 23 April 2017

Rentenir Dicaci dan Dicari

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Keberadaan dan aktivitas para rentenir selalu digambarkan negatif, kotor, dan busuk. Para rentenir mendapatkan serangan dari berbagai sisi. Di sekolah-sekolah diajarkan bahwa rentenir itu adalah lintah darat, perusak ekonomi, pemeras, pencekik ekonomi keluarga. Di lingkungan agama Islam, para rentenir disudutkan sebagai penyebar harta haram, riba, tempatnya di neraka. Di lingkungan perbankan pun rentenir digambarkan sebagai pihak nonbank yang tidak bertanggung jawab dan seharusnya dihilangkan. Masyarakat harus lebih percaya pada bank dibandingkan pada rentenir. Masih banyak lagi cacian bagi para rentenir ini.

            Sayangnya, dalam kenyataan hidup sehari-hari, para rentenir ini selalu menjadi tumpuan harapan masyarakat untuk menyelesaikan berbagai masalah ekonomi masyarakat. Rentenir berada di tengah-tengah masyarakat dengan segala aktivitasnya berikut penilaian baik atau buruk terhadap mereka. Para rentenir pun memiliki pandangan baik dan buruk terhadap dirinya sendiri. Ada yang menganggap dirinya buruk. Adapula yang menganggap dirinya baik karena telah menolong banyak orang yang sedang terhimpit ekonominya.

            Dalam beberapa kali acara seminar atau diskusi mengenai peranan bank di tengah masyarakat, selalu saja muncul pengalaman-pengalaman klasik masyarakat terhadap bank dan selalu ada jawaban klasik pula dari bank. Lucunya, masalah tidak pernah terselesaikan. Selalu ada kesenjangan antara masyarakat dengan bank dan kondisinya tetap seperti itu.

            Dialog terakhir yang saya ikuti di gedung koperasi yang ada di Jawa Barat antara beberapa bank pemerintah dan bank swasta besar dengan masyarakat petani, peternak, dan nelayan berakhir sama, tidak ada penyelesaian, selalu seperti itu. Masyarakat sesungguhnya merasa senang dengan adanya berbagai “nama kredit”, seperti, Kredit Cinta Rakyat, Kredit Usaha Rakyat, atau kredit-kredit yang lainnya. Mereka melihat ada keringanan apabila mendapatkan kredit tersebut. Akan tetapi, ketika mereka mengajukan kredit, masalahnya selalu sama dengan yang lalu-lalu. Meskipun mereka sudah memiliki syarat-syarat yang diperlukan dan sangat komplit sempurna, selalu saja ada hambatan lain serta merasa dipersulit oleh pihak bank. Misalnya, proses survey yang lama dari pihak bank bisa mencapai satu atau dua bulan, padahal masyarakat sangat membutuhkan untuk modal kerja atau kebutuhan keluarga. Celakanya, tenaga surveyor-nya pun ada yang tidak pernah datang ke masyarakat, padahal pihak bank menginformasikan akan ada surveyor untuk memastikan kelayakan penerimaan kredit. Di samping itu, informasi yang diterima masyarakat pun sering berubah-ubah, seperti, jumlah angsuran atau tiba-tiba ada kewajiban lain, yaitu harus rutin menabung dengan jumlah yang ditentukan pihak bank. Sesungguhnya, ada banyak masalah lain yang tidak sempat saya catat dalam dialog itu. Akan tetapi, intinya masyarakat tetap merasa sulit berhubungan dengan bank.

            Kesulitan-kesulitan dari bank itu membuat masyarakat memilih untuk berhubungan dengan para rentenir. Masyarakat tahu bahwa bunga yang ditetapkan rentenir selalu lebih besar dibandingkan dengan bank, tetapi masyarakat tetap melakukan pinjaman ke pihak rentenir karena di samping proses yang sangat cepat, hanya satu atau dua hari, apalagi yang sudah saling percaya, juga pihak rentenir sangat rajin mendekati masyarakat untuk menawarkan uang pinjaman. Bahkan, ada beberapa petani dan peternak yang merasa lebih “nyaman” berbisnis dengan rentenir dibandingkan dengan bank. Mereka sudah berkali-kali berbisnis dengan rentenir dan selalu lancar.

            Dalam menjawab berbagai kenyataan di masyarakat seperti itu, pihak bank selalu mengutarakan hal-hal yang klasik, misalnya, syarat-syarat melakukan pinjaman harus lengkap, usaha masyarakat harus visible, serta bank kurang memiliki tenaga marketing dan surveyor. Jawaban itu sering sekali didengar oleh masyarakat. Masyarakat sudah tidak aneh dengan jawaban seperti itu. Bahkan, dalam dialog itu ada pengurus koperasi yang sedikit “memaki-maki” bank yang berakibat suasana dialog menjadi memanas.

            Bagi saya, sungguh hal ini merupakan keanehan dan keganjilan. Pemerintah Indonesia menginginkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, daya beli masyarakat yang tinggi, tumbuhnya kemampuan berwirausaha masyarakat, tetapi masyarakat memiliki “halangan” besar dalam memperoleh pinjaman dari bank. Masyarakat kerap tergiring untuk meminjam ke rentenir dengan jumlah bunga yang lebih besar. Masyarakat tahu bahwa risiko meminjam ke rentenir adalah lebih besar dan lebih berat dibandingkan meminjam ke bank. Akan tetapi, rentenir memiliki kecepatan dan hubungan yang lebih baik dengan masyarakat dibandingkan dengan bank.

            Masyarakat sudah tidak bisa ditipu lagi dengan kisah-kisah rentenir yang dikabarkan kerap melakukan pemerasan, pemaksaan, perampasan, atau penjabelan kendaraan atau rumah. Hal itu disebabkan pihak bank juga akan melakukan hal yang sama akan menyita rumah jaminan apabila memandang nasabah sudah tidak bisa lagi melakukan angsuran kredit. Bagi masyarakat kecil, sama saja perlakuan bank dengan rentenir jika masyarakat memiliki masalah dalam hal angsuran.

            Adalah suatu hal yang aneh jika pemerintah dikabarkan menginginkan masyarakat sejahtera, tetapi dikabarkan pula uang di bank tidak pernah terserap habis oleh masyarakat, sementara itu masyarakat kesulitan mendapatkan pinjaman dari bank dan tetap meminjam ke rentenir dengan risiko keuntungan yang didapat masyarakat lebih kecil karena “tersedot” oleh angsuran dan bunga yang ditetapkan rentenir yang lebih besar dibandingkan bank.

            Rentenir selalu dimaki, tetapi masyarakat tetap mencarinya karena lebih mudah, lebih cepat, dan lebih friendly dibandingkan dengan bank. Di samping itu, jangan diharapkan kesejahteraan masyarakat akan meningkat dengan cepat jika penyaluran kredit dari bank-bank resmi membuat sulit masyarakat sehingga masyarakat selalu tergiring untuk meminjam ke rentenir.


            Sampurasun.

No comments:

Post a Comment