oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Keberadaan dan aktivitas
para rentenir selalu digambarkan negatif, kotor, dan busuk. Para rentenir
mendapatkan serangan dari berbagai sisi. Di sekolah-sekolah diajarkan bahwa
rentenir itu adalah lintah darat, perusak
ekonomi, pemeras, pencekik ekonomi keluarga. Di lingkungan agama Islam, para
rentenir disudutkan sebagai penyebar harta haram, riba, tempatnya di neraka. Di lingkungan perbankan pun rentenir digambarkan
sebagai pihak nonbank yang tidak bertanggung jawab dan seharusnya dihilangkan. Masyarakat
harus lebih percaya pada bank dibandingkan pada rentenir. Masih banyak lagi
cacian bagi para rentenir ini.
Sayangnya, dalam kenyataan hidup sehari-hari, para
rentenir ini selalu menjadi tumpuan harapan masyarakat untuk menyelesaikan
berbagai masalah ekonomi masyarakat. Rentenir berada di tengah-tengah
masyarakat dengan segala aktivitasnya berikut penilaian baik atau buruk
terhadap mereka. Para rentenir pun memiliki pandangan baik dan buruk terhadap
dirinya sendiri. Ada yang menganggap dirinya buruk. Adapula yang menganggap
dirinya baik karena telah menolong banyak orang yang sedang terhimpit
ekonominya.
Dalam beberapa kali acara seminar atau diskusi mengenai
peranan bank di tengah masyarakat, selalu saja muncul pengalaman-pengalaman
klasik masyarakat terhadap bank dan selalu ada jawaban klasik pula dari bank.
Lucunya, masalah tidak pernah terselesaikan. Selalu ada kesenjangan antara
masyarakat dengan bank dan kondisinya tetap seperti itu.
Dialog terakhir yang saya ikuti di gedung koperasi yang
ada di Jawa Barat antara beberapa bank pemerintah dan bank swasta besar dengan masyarakat petani,
peternak, dan nelayan berakhir sama, tidak ada penyelesaian, selalu seperti
itu. Masyarakat sesungguhnya merasa senang dengan adanya berbagai “nama kredit”,
seperti, Kredit Cinta Rakyat, Kredit Usaha Rakyat, atau kredit-kredit yang
lainnya. Mereka melihat ada keringanan apabila mendapatkan kredit tersebut.
Akan tetapi, ketika mereka mengajukan kredit, masalahnya selalu sama dengan
yang lalu-lalu. Meskipun mereka sudah memiliki syarat-syarat yang diperlukan dan
sangat komplit sempurna, selalu saja ada hambatan lain serta merasa dipersulit
oleh pihak bank. Misalnya, proses survey yang lama dari pihak bank bisa mencapai
satu atau dua bulan, padahal masyarakat sangat membutuhkan untuk modal kerja
atau kebutuhan keluarga. Celakanya, tenaga surveyor-nya pun ada yang tidak
pernah datang ke masyarakat, padahal pihak bank menginformasikan akan ada surveyor
untuk memastikan kelayakan penerimaan kredit. Di samping itu, informasi yang
diterima masyarakat pun sering berubah-ubah, seperti, jumlah angsuran atau
tiba-tiba ada kewajiban lain, yaitu harus rutin menabung dengan jumlah yang
ditentukan pihak bank. Sesungguhnya, ada banyak masalah lain yang tidak sempat
saya catat dalam dialog itu. Akan tetapi, intinya masyarakat tetap merasa sulit
berhubungan dengan bank.
Kesulitan-kesulitan dari bank itu membuat masyarakat
memilih untuk berhubungan dengan para rentenir. Masyarakat tahu bahwa bunga
yang ditetapkan rentenir selalu lebih besar dibandingkan dengan bank, tetapi
masyarakat tetap melakukan pinjaman ke pihak rentenir karena di samping proses
yang sangat cepat, hanya satu atau dua hari, apalagi yang sudah saling percaya,
juga pihak rentenir sangat rajin mendekati masyarakat untuk menawarkan uang
pinjaman. Bahkan, ada beberapa petani dan peternak yang merasa lebih “nyaman”
berbisnis dengan rentenir dibandingkan dengan bank. Mereka sudah berkali-kali
berbisnis dengan rentenir dan selalu lancar.
Dalam menjawab berbagai kenyataan di masyarakat seperti
itu, pihak bank selalu mengutarakan hal-hal yang klasik, misalnya,
syarat-syarat melakukan pinjaman harus lengkap, usaha masyarakat harus visible, serta bank kurang memiliki
tenaga marketing dan surveyor. Jawaban itu sering sekali didengar oleh
masyarakat. Masyarakat sudah tidak aneh dengan jawaban seperti itu. Bahkan,
dalam dialog itu ada pengurus koperasi yang sedikit “memaki-maki” bank yang berakibat
suasana dialog menjadi memanas.
Bagi saya, sungguh hal ini merupakan keanehan dan
keganjilan. Pemerintah Indonesia menginginkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi,
daya beli masyarakat yang tinggi, tumbuhnya kemampuan berwirausaha masyarakat,
tetapi masyarakat memiliki “halangan” besar dalam memperoleh pinjaman dari
bank. Masyarakat kerap tergiring untuk meminjam ke rentenir dengan jumlah bunga
yang lebih besar. Masyarakat tahu bahwa risiko meminjam ke rentenir adalah
lebih besar dan lebih berat dibandingkan meminjam ke bank. Akan tetapi,
rentenir memiliki kecepatan dan hubungan yang lebih baik dengan masyarakat
dibandingkan dengan bank.
Masyarakat sudah tidak bisa ditipu lagi dengan
kisah-kisah rentenir yang dikabarkan kerap melakukan pemerasan, pemaksaan,
perampasan, atau penjabelan kendaraan atau rumah. Hal itu disebabkan pihak bank
juga akan melakukan hal yang sama akan menyita rumah jaminan apabila memandang
nasabah sudah tidak bisa lagi melakukan angsuran kredit. Bagi masyarakat kecil,
sama saja perlakuan bank dengan rentenir jika masyarakat memiliki masalah dalam
hal angsuran.
Adalah suatu hal yang aneh jika pemerintah dikabarkan
menginginkan masyarakat sejahtera, tetapi dikabarkan pula uang di bank tidak
pernah terserap habis oleh masyarakat, sementara itu masyarakat kesulitan
mendapatkan pinjaman dari bank dan tetap meminjam ke rentenir dengan risiko
keuntungan yang didapat masyarakat lebih kecil karena “tersedot” oleh angsuran
dan bunga yang ditetapkan rentenir yang lebih besar dibandingkan bank.
Rentenir selalu dimaki, tetapi masyarakat tetap
mencarinya karena lebih mudah, lebih cepat, dan lebih friendly dibandingkan dengan bank. Di samping itu, jangan
diharapkan kesejahteraan masyarakat akan meningkat dengan cepat jika penyaluran
kredit dari bank-bank resmi membuat sulit masyarakat sehingga masyarakat selalu
tergiring untuk meminjam ke rentenir.
Sampurasun.
No comments:
Post a Comment