Monday 17 April 2017

Kisah Wayang Asli Indonesia, Bukan India

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Kisah-kisah wayang selama ini dikenal dunia berasal dari India. Mereka yang pertama kali mengatakan bahwa kisah-kisah wayang ini berasal dari India adalah orang-orang Belanda. Mereka mengatakan berasal dari India karena kisah-kisah itu banyak dipengaruhi bahasa Sansakerta. Mereka menduga bahasa Sansakerta berasal dari India, padahal kuat dugaan bahwa bahasa Sansakerta itu adalah berasal dari Indonesia dan merupakan bahasa tinggi yang berlaku di lingkungan orang-orang tinggi, para pejabat tinggi, dan terpelajar saat itu. Akan tetapi, bahasa Sansakerta musnah di Indonesia karena para penggunanya dihukum Allah swt pada bencana mahadahsyat yang menghancurkan Benua Sundaland menjadi kepulauan seperti sekarang ini. Untuk lebih jelasnya, baca tulisan saya yang lalu berjudul Matinya Bahasa Sansakerta.

            Berdasarkan konstruksi yang saya buat pada tulisan Matinya Bahasa Sansakerta, berarti pula kisah-kisah pewayangan ini berasal dari Indonesia yang kemudian menyebar ke India.

            Kalaulah kisah-kisah Ramayana, Mahabharata, atau yang lainnya benar dari India, siapa yang membawanya ke Indonesia?

            Orangnya harus terkenal karena kisah ini sangat populer di Indonesia dalam bentuk pewayangan. Akan tetapi, ternyata tidak diketahui.

            Kalaulah kisah-kisah itu berasal dari orang Indonesia yang pernah ke India, dia harus lama berada di India, kemudian sangat populer di Indonesia karena kisah-kisah ini sangat populer di Indonesia.

            Siapa orangnya?

            Tidak jelas. Gelap.

            Sebagaimana yang telah saya tulis bahwa berdasarkan peta yang dibuat Prof. Dr. Edi S. Ekadjati, dulu pada masa Indonesia masih berbentuk Sundaland, India itu hanyalah sebuah kadipaten dari kekuasaan Kerajaan Sunda, Indonesia. Pengaruh politik Kerajaan Sunda sangat besar pada wilayah-wilayah yang dikuasainya, termasuk India. Pengaruh itu di antaranya bahasa Sansakerta dan kisah-kisah pewayangan.

            Akan tetapi, ketika terjadi bencana besar yang menghancurkan Benua Sundaland berkeping-keping menjadi kepulauan seperti sekarang ini, para pengguna bahasa Sansakerta dan para penggemar kisah pewayangan itu pun ikut musnah, kecuali masih diingat oleh sedikit orang yang diselamatkan Allah swt dalam jumlah sedikit dan termasuk golongan lemah, terhina, tetapi masih beriman kepada Allah swt. Adapun daratan India meskipun ikut bergetar dan tertimpa bencana juga, kerusakannya tidak separah kehancuran Sundaland. Oleh sebab itu, bahasa Sansakerta dan kisah pewayangan itu masih bertahan di India.

            Orang-orang lemah dan beriman yang selamat inilah yang kemudian tetap melestarikan kisah-kisah itu karena isinya sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia. Isinya biasanya tentang sastra, pernikahan, agama, dan pengaturan negara. Mereka pun membangun kembali dunia yang telah hilang itu dari awal dalam bentuk kepulauan sambil tetap melestarikan kisah-kisah itu.

            Pada perkembangan berikutnya kisah-kisah ini disebut kakawin. Kawi adalah bahasa Sansakerta yang artinya “ia yang diberkati dengan kearifan”, “Yang Mahatahu”, “Yang Suci”. Akan tetapi, kemudian diartikan sebagai “penyair” (Partini Sardjono, 1986).

            Penulisan kakawin ini terus terjadi berabad-abad kemudian, berkembang, dan semakin populer. Hasil karya sastra kakawin yang paling populer dan paling tua adalah berasal dari Jawa Tengah, Indonesia yang berjudul Ramayana.

            Dr. Partini Sardjono Pr., S.S. saat pengukuhan penerimaan jabatan Guru Besar dalam Ilmu Sastra pada Fakultas Sastra, Universitas Padjadjaran, Bandung dalam pidatonya yang berjudul Peranan Sastra Nusantara Kuna dalam Alam Pembangunan Nasional (5 Juli 1986) mengatakan bahwa penulisan sastra kakawin berpindah dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Dari sinilah mulai lebih terang diketahui beberapa penulis kakawin berikut karya-karyanya. Arjunawiwaha ditulis oleh Mpu Kanwa (abad 11), Bharatayudha ditulis oleh Mpu Sedah yang kemudian diteruskan Mpu Panuluh (abad 12), Hari Wangca dan Ghatotkacasraya ditulis Mpu Panuluh (abad 12), Kresnayana ditulis Mpu Triguna (abad 13), Smaradahana ditulis Mpu Dharmaraja (abad 12), Sumasantaka ditulis Mpu Monaguna (abad 13), Bhomantaka (abad 13), Negarakrtagama ditulis Mpu Prapanca (abad 14), Sutasoma ditulis Mpu Tantular, dan Lubdhaka atau Siwaratrikalpa ditulis Mpu Tanakung (abad 15).

            Sayangnya, penulisan-penulisan karya sastra jenis ini mengalami kemunduran seiring dengan mundurnya kekuasaan Majapahit akibat konflik-konflik politik yang terjadi pada abad 16. Memang pada abad 16 ini di samping konflik politik yang sangat keras terjadi di Majapahit, juga mulai datangnya penjajahan Belanda pada 1602. Para ahli dan peneliti Belanda mengatakan bahwa kakawin itu merupakan kisah-kisah Hindu atau Budha dan berasal dari India. Dari sinilah tampaknya mulai kekeliruan itu. Hal itu menyebabkan orang-orang yang sudah mengikuti Islam Muhammad saw setelah sebelumnya menganut Islam berdasarkan nabi-nabi terdahulu menganggap bahwa kisah-kisah kakawin itu tidak penting karena menurut Belanda berasal dari Hindu, Budha, dan India. Adapun para wali dan penyebar ajaran Muhammad saw lebih banyak berceritera tentang Nabi Muhammad saw, keluarganya, para sahabat, serta para pejuang Islam.

            Tampaknya, konflik politik di Majapahit yang sangat keras, kehadiran penjajah Belanda, dan kisah-kisah Nabi Muhammad saw membuat karya sastra kakawin tidak lagi disukai, bahkan cenderung akan dimusnahkan karena ya itu tadi anggapan keliru mengenai kakawin berasal dari India dan merupakan alat untuk menyebarkan Hindu dan Budha. Hampir saja kisah-kisah ini benar-benar musnah jika para bangsawan dan rohaniwan Majapahit tidak menyingkir ke Pulau Bali.

            Di Bali para bangsawan Majapahit dan para rohaniwannya mendapat kehidupan yang lebih layak sehingga kisah-kisah kakawin ini masih lestari. Kemudian, penulisan karya sastra ini dilanjutkan oleh orang-orang Bali. Akibatnya, latar belakang hidup, pengalaman hidup, dan agama orang-orang Bali yang Hindu pun mempengaruhi isi kakawin. Jadi, kakawin ini sekarang benar-benar terpengaruhi agama Hindu. Dari sini tampaknya hubungan dengan India menjadi erat. Hal ini bisa dilihat dari ceritera asal India yang mengisahkan Dewa Krisna sedang berada di Bali.

            Berbeda dengan di Pajajaran, Sunda. Karena di Pajajaran tidak terjadi konflik-konflik keras seperti yang terjadi di Majapahit, para bangsawan dan rohaniwan Pajajaran tidak lari kabur ke pulau lain. Dengan demikian, karya-karya sastra kakawin tidak lari ke mana-mana, malahan masuk ke dalam berbagai kawih (tembang, lagu). Karena tidak lari ke mana-mana dan menerima dengan baik ajaran Muhammad saw setelah sebelumnya menganut Sunda Wiwitan, hasil karya sastra jenis ini mendapatkan pengaruh ajaran Islam sangat kuat sehingga justru digunakan menjadi alat untuk menyebarkan agama Islam. Hal ini bisa kita lihat dari setiap pagelaran wayang golek. Siapa pun dalangnya, dari ke generasi ke generasi, wayang golek selalu sarat dipenuhi oleh nasihat-nasihat Islami dan keluhuran budi pekerti Sunda yang memperkuat akhlakul karimah sebagaimana diajarkan Muhammad saw.

WAYANG GOLEK. Foto: manuskripkesunyian.wordpress.com 

            Begitulah kira-kira konstruksinya jika kita melibatkan eksistensi Benua Sundaland dalam sejarah hidup Indonesia. Memang sudah seharusnya eksistensi Benua Sundaland berikut kehancurannya dimasukkan menjadi bagian dari kronologis sejarah Indonesia dari masa ke masa.

            Sesungguhnya, Allah swt yang lebih mengetahui segalanya.


            Sampurasun.

4 comments:

  1. Semoga Allah akan memberi kekuatan kepada kita semua agar nantinya lahir para peneliti yg benar2 bisa mengungkap sejarah yg benar. Sy prihatin banyak pribumi yg sdh lupa dgn asal usulnya. Selalu meremehkan asal usulnya. Itu yang haduh

    ReplyDelete