oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Kisah-kisah wayang selama
ini dikenal dunia berasal dari India. Mereka yang pertama kali mengatakan bahwa
kisah-kisah wayang ini berasal dari India adalah orang-orang Belanda. Mereka mengatakan
berasal dari India karena kisah-kisah itu banyak dipengaruhi bahasa Sansakerta.
Mereka menduga bahasa Sansakerta berasal dari India, padahal kuat dugaan bahwa
bahasa Sansakerta itu adalah berasal dari Indonesia dan merupakan bahasa tinggi
yang berlaku di lingkungan orang-orang tinggi, para pejabat tinggi, dan
terpelajar saat itu. Akan tetapi, bahasa Sansakerta musnah di Indonesia karena
para penggunanya dihukum Allah swt pada bencana mahadahsyat yang menghancurkan
Benua Sundaland menjadi kepulauan seperti sekarang ini. Untuk lebih jelasnya,
baca tulisan saya yang lalu berjudul Matinya
Bahasa Sansakerta.
Berdasarkan
konstruksi yang saya buat pada tulisan Matinya
Bahasa Sansakerta, berarti pula kisah-kisah pewayangan ini berasal dari
Indonesia yang kemudian menyebar ke India.
Kalaulah kisah-kisah Ramayana,
Mahabharata, atau yang lainnya benar dari India, siapa yang membawanya ke
Indonesia?
Orangnya harus terkenal karena kisah ini sangat populer di
Indonesia dalam bentuk pewayangan. Akan tetapi, ternyata tidak diketahui.
Kalaulah kisah-kisah itu berasal dari orang Indonesia
yang pernah ke India, dia harus lama berada di India, kemudian sangat populer di
Indonesia karena kisah-kisah ini sangat populer di Indonesia.
Siapa orangnya?
Tidak jelas. Gelap.
Sebagaimana yang telah saya tulis bahwa berdasarkan peta
yang dibuat Prof. Dr. Edi S. Ekadjati, dulu pada masa Indonesia masih berbentuk
Sundaland, India itu hanyalah sebuah kadipaten dari kekuasaan Kerajaan Sunda,
Indonesia. Pengaruh politik Kerajaan Sunda sangat besar pada wilayah-wilayah
yang dikuasainya, termasuk India. Pengaruh itu di antaranya bahasa Sansakerta dan
kisah-kisah pewayangan.
Akan tetapi, ketika terjadi bencana besar yang menghancurkan
Benua Sundaland berkeping-keping menjadi kepulauan seperti sekarang ini, para
pengguna bahasa Sansakerta dan para penggemar kisah pewayangan itu pun ikut
musnah, kecuali masih diingat oleh sedikit orang yang diselamatkan Allah swt
dalam jumlah sedikit dan termasuk golongan lemah, terhina, tetapi masih beriman
kepada Allah swt. Adapun daratan India meskipun ikut bergetar dan tertimpa
bencana juga, kerusakannya tidak separah kehancuran Sundaland. Oleh sebab itu,
bahasa Sansakerta dan kisah pewayangan itu masih bertahan di India.
Orang-orang lemah dan beriman yang selamat inilah yang
kemudian tetap melestarikan kisah-kisah itu karena isinya sangat bermanfaat
bagi kehidupan manusia. Isinya biasanya tentang sastra, pernikahan, agama, dan
pengaturan negara. Mereka pun membangun kembali dunia yang telah hilang itu
dari awal dalam bentuk kepulauan sambil tetap melestarikan kisah-kisah itu.
Pada perkembangan berikutnya kisah-kisah ini disebut kakawin. Kawi adalah bahasa Sansakerta
yang artinya “ia yang diberkati dengan kearifan”, “Yang Mahatahu”, “Yang Suci”.
Akan tetapi, kemudian diartikan sebagai “penyair” (Partini Sardjono, 1986).
Penulisan kakawin ini terus terjadi berabad-abad
kemudian, berkembang, dan semakin populer. Hasil karya sastra kakawin yang
paling populer dan paling tua adalah berasal dari Jawa Tengah, Indonesia yang
berjudul Ramayana.
Dr. Partini Sardjono
Pr., S.S. saat pengukuhan penerimaan jabatan Guru Besar dalam Ilmu Sastra pada
Fakultas Sastra, Universitas Padjadjaran, Bandung dalam pidatonya yang berjudul
Peranan Sastra Nusantara Kuna dalam Alam
Pembangunan Nasional (5 Juli 1986) mengatakan bahwa penulisan sastra
kakawin berpindah dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Dari sinilah mulai lebih
terang diketahui beberapa penulis kakawin berikut karya-karyanya. Arjunawiwaha ditulis oleh Mpu Kanwa (abad 11), Bharatayudha ditulis oleh Mpu Sedah yang kemudian diteruskan Mpu Panuluh (abad 12), Hari Wangca dan Ghatotkacasraya ditulis Mpu
Panuluh (abad 12), Kresnayana ditulis
Mpu Triguna (abad 13), Smaradahana ditulis Mpu Dharmaraja (abad 12), Sumasantaka
ditulis Mpu Monaguna (abad 13), Bhomantaka (abad 13), Negarakrtagama ditulis Mpu Prapanca (abad 14), Sutasoma ditulis Mpu Tantular, dan Lubdhaka atau
Siwaratrikalpa ditulis Mpu Tanakung (abad 15).
Sayangnya, penulisan-penulisan karya sastra jenis ini
mengalami kemunduran seiring dengan mundurnya kekuasaan Majapahit akibat
konflik-konflik politik yang terjadi pada abad 16. Memang pada abad 16 ini di
samping konflik politik yang sangat keras terjadi di Majapahit, juga mulai
datangnya penjajahan Belanda pada 1602. Para ahli dan peneliti Belanda
mengatakan bahwa kakawin itu merupakan kisah-kisah Hindu atau Budha dan berasal
dari India. Dari sinilah tampaknya mulai kekeliruan itu. Hal itu menyebabkan
orang-orang yang sudah mengikuti Islam Muhammad saw setelah sebelumnya menganut
Islam berdasarkan nabi-nabi terdahulu menganggap bahwa kisah-kisah kakawin itu
tidak penting karena menurut Belanda berasal dari Hindu, Budha, dan India.
Adapun para wali dan penyebar ajaran Muhammad saw lebih banyak berceritera
tentang Nabi Muhammad saw, keluarganya, para sahabat, serta para pejuang Islam.
Tampaknya, konflik politik di Majapahit yang sangat
keras, kehadiran penjajah Belanda, dan kisah-kisah Nabi Muhammad saw membuat
karya sastra kakawin tidak lagi disukai, bahkan cenderung akan dimusnahkan
karena ya itu tadi anggapan keliru mengenai kakawin berasal dari India dan
merupakan alat untuk menyebarkan Hindu dan Budha. Hampir saja kisah-kisah ini
benar-benar musnah jika para bangsawan dan rohaniwan Majapahit tidak menyingkir
ke Pulau Bali.
Di Bali para bangsawan Majapahit dan para rohaniwannya
mendapat kehidupan yang lebih layak sehingga kisah-kisah kakawin ini masih
lestari. Kemudian, penulisan karya sastra ini dilanjutkan oleh orang-orang
Bali. Akibatnya, latar belakang hidup, pengalaman hidup, dan agama orang-orang
Bali yang Hindu pun mempengaruhi isi kakawin. Jadi, kakawin ini sekarang benar-benar
terpengaruhi agama Hindu. Dari sini tampaknya hubungan dengan India menjadi
erat. Hal ini bisa dilihat dari ceritera asal India yang mengisahkan Dewa Krisna
sedang berada di Bali.
Berbeda dengan di Pajajaran, Sunda. Karena di Pajajaran
tidak terjadi konflik-konflik keras seperti yang terjadi di Majapahit, para
bangsawan dan rohaniwan Pajajaran tidak lari kabur ke pulau lain. Dengan
demikian, karya-karya sastra kakawin tidak lari ke mana-mana, malahan masuk ke
dalam berbagai kawih (tembang, lagu).
Karena tidak lari ke mana-mana dan menerima dengan baik ajaran Muhammad saw
setelah sebelumnya menganut Sunda Wiwitan, hasil karya sastra jenis ini
mendapatkan pengaruh ajaran Islam sangat kuat sehingga justru digunakan menjadi
alat untuk menyebarkan agama Islam. Hal ini bisa kita lihat dari setiap pagelaran wayang golek. Siapa pun
dalangnya, dari ke generasi ke generasi, wayang golek selalu sarat dipenuhi
oleh nasihat-nasihat Islami dan keluhuran budi pekerti Sunda yang memperkuat
akhlakul karimah sebagaimana diajarkan Muhammad saw.
WAYANG GOLEK. Foto: manuskripkesunyian.wordpress.com |
Begitulah kira-kira konstruksinya jika kita melibatkan
eksistensi Benua Sundaland dalam sejarah hidup Indonesia. Memang sudah
seharusnya eksistensi Benua Sundaland berikut kehancurannya dimasukkan menjadi
bagian dari kronologis sejarah Indonesia dari masa ke masa.
Sesungguhnya, Allah swt yang lebih mengetahui segalanya.
Sampurasun.
sundaland.. haduh..
ReplyDeleteKenapa haduh?
DeleteSemoga Allah akan memberi kekuatan kepada kita semua agar nantinya lahir para peneliti yg benar2 bisa mengungkap sejarah yg benar. Sy prihatin banyak pribumi yg sdh lupa dgn asal usulnya. Selalu meremehkan asal usulnya. Itu yang haduh
ReplyDeleteAamiin ....
Delete