Friday, 28 April 2017

Hoax Vs Pengadilan Jujur

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Hoax dan hate speech sebetulnya sudah sejak lama menyerang Indonesia. Para penjajah Indonesia yang berkulit putih dan berasal dari wilayah barat itu selalu menggunakan hoax dan ujaran kebencian untuk mengecilkan dan merendahkan Indonesia. Para penjajahlah yang tercatat pertama kali melakukan banyak hoax dan ujaran kebencian kepada bangsa Indonesia untuk tetap melestarikan penghinaan dan melanggengkan kekuasaannya di Indonesia. Mereka berharap bahwa rakyat Indonesia dan dunia tetap memandang rendah terhadap rakyat Indonesia. Rakyat diharapkan mengakui bahwa dirinya adalah lemah, bodoh, dan terbelakang. Pada saat yang sama pun mereka mengharapkan bahwa dunia memandang Indonesia memang terbelakang sehingga pantas untuk dijajah dan dikendalikan oleh mereka.

            Para penjajah dan bangsa penjajah yang senang menjajah orang lain menggunakan kekuatan pers untuk mendiskreditkan Indonesia. Hal itu terus berlangsung dan tidak pernah berhenti meskipun Indonesia telah merdeka, hoax dan ujaran kebencian itu selalu ada. Bahkan, terus terjadi hingga hari ini.

            Pemimpin Besar Revolusi Indonesia Soekarno pernah mengatakan hal tersebut ketika diwawancarai Cindy Adams, “Mengapa pers asing suka merendahkan aku? Mengapa mereka mengatakan aku silly, foolish, sick man? Hahaha ….”

            Bukan hanya kepada Soekarno pers asing menyerang dengan menggunakan hoax dan ujaran kebencian, melainkan pula terhadap para pejuang Indonesia lainnya. Jadi, pers asing tidak perlu dijadikan ukuran bagi kita. Bahkan, kita, bangsa Indonesia, tidak perlu heboh dengan menjadikan pers asing sebagai rujukan untuk kita berbuat ini atau berbuat itu. Kita tidak perlu berupaya menampilkan “sesuatu” hanya agar tidak ditulis secara buruk oleh pers asing. Percuma kita melakukan hal yang positif karena mereka dari dulu juga sebagian besar gemar melakukan hoax dan ujaran kebencian terhadap Indonesia. Jangankan kita dalam keadaan buruk, dalam keadaan baik saja “dijelek-jelekin”. Jangan terpengaruh oleh pers asing. Kalau kita bisa dimain-mainkan oleh pers asing, berarti kita masih terjajah dan selalu takut dipandang jelek oleh bangsa lain. Kita ya kita saja. Kita bergerak dan membangun untuk kita sendiri. Persetan dengan mereka.

            Ada catatan buruk dari Soekarno tentang pers asing tersebut. Soekarno memaparkan bagaimana pers asing ‘menjelek-jelekkan” Indonesia tanpa ada bukti dan memang dinyatakan tidak ada bukti oleh pengadilan Belanda.

            “Datanglah penggeledahan-penggeledahan di rumah beberapa saudara kita.

            Penggeledahan yang oleh pers kaum sana begitu digegerkan dan begitu ‘dikocakkan’ dengan ceritera bahwa Saudara Mohammad Hatta ketika itu kabur ke luar negeri Belanda, tiap-tiap pengurus ‘Perhimpunan Indonesia’ ketika itu bersenjata revolver, dan dalam sebuah piano terdapat bom beberapa butir!

            Tidak lama sesudahnya, empat saudara kita ditangkap, dimasukkan dalam tahanan. Mereka disangka berhubungan dengan Moskow, diperkirakan menjadi anggota suatu perhimpunan rahasia dan terlarang, serta membuat rancangan pemberontakan di Indonesia yang sangat kejam.

            Selagi sebagian rakyat Indonesia tengah menjalankan puasa, selagi majelis-majelis kehakiman di Indonesia tutup berhubung dengan ‘bulan perdamaian’ ini, dituntutlah saudara-saudara itu di muka hakim, dijatuhi dakwaan memuat tulisan-tulisan dalam Indonesia Merdeka nomor Maret-April ’27 yang menghasut pada kekerasan senjata adanya.

            Di manakah tinggalnya dakwaan bahwa saudara-saudara itu berhubungan dengan Moskow?

            Di manakah tinggalnya dakwaan saudara-saudara itu menjadi anggota suatu perhimpunan rahasia dan terlarang?

            Di manakah tinggalnya dakwaan bahwa saudara-saudara itu membuat rancangan pemberontakan di Indonesia …?

            Tidak, tidak sedikit pun dari sangkaan-sangkaan itu dapat dibuat dakwaan di muka hakim.

            Tidak sedikit pun dari sangkaan-sangkaan itu dapat dibuat senjata untuk menghukum saudara-saudara kita!

            Perkara menggoncangkan yang tadinya begitu digegerkan yang tadinya begitu dikocak-kocakkan, ternyata mengeret menjadi persdelict yang kecil, mengeret menjadi perkara opruiing, mengeret menjadi perkara artikel 131 yang begitu lembek dan begitu lemah alasan pendakwaannya sehingga majelis yang memeriksanya menjatuhkan putusan bebas di atas saudara-saudara itu adanya!”

            Dari penuturan Soekarno tersebut, kita sudah melihat adanya kenyataan bahwa hoax dan ujaran kebencian digunakan pers barat, pers asing untuk menggerakkan masyarakat barat dan Indonesia yang pro-penjajahan agar tetap memandang Indonesia sebagai bangsa yang masih harus dikendalikan dan dijajah. Pers dan mereka yang pro-penjajahan pun berharap dapat mempengaruhi keputusan hakim agar Mohammad Hatta dan teman-temannya dihukum dengan sangat berat. Mereka membangun opini dan kisah bahwa Mohammad Hatta dan teman-temannya memiliki senjata revolver, menyiapkan bom, mengikuti organisasi terlarang, dan berhubungan erat dengan Moskow. Akan tetapi, semua hasutan, hoax, dan ujaran kebencian itu sama sekali tidak terbukti serta tidak mampu mempengaruhi keputusan hakim. Karena tidak terbukti melakukan segala hal yang dituduhkan kepada para pejuang Indonesia itu, majelis hakim memutuskan bahwa mereka tidak bersalah dan divonis bebas.

            Kita pun bisa mellihat bahwa betapa kuatnya dan berwibawanya pengadilan saat itu yang tidak mempedulikan hoax, ujaran kebencian, dan opini yang menggoncangkan dan menggegerkan, baik di Belanda maupun di Indonesia yang menyerang pribadi para tokoh Indonesia itu. Majelis hakim tetap menjaga kehormatan dirinya untuk memutuskan sesuai dengan keyakinan majelis hakim sendiri. Tidak ada kekuasaan yang mampu mempengaruhi hakim, baik itu kekuasaan pemerintah kolonial, kekuasaan pers, maupun kekuatan opini massa.

            Itu majelis hakim pada masa penjajahan Belanda. Mereka begitu mempertahankan wibawa hakim dan pengadilan yang ingin tetap jujur dan bersih dari pengaruh siapa pun.

            Kita kini sudah merdeka. Sudah seharusnya majelis hakim pada masa kini pun bebas untuk memutuskan sesuatu perkara agar harga diri dan kemuliaan hakim, pengadilan, dan hukum dapat dijaga dengan sangat bersih dan kuat.

            Sangatlah memalukan jika majelis hakim di Indonesia pada masa kemerdekaan ini “tidak merdeka” dalam memutuskan perkara disebabkan adanya tekanan dari sana-sini. Kalau memutuskan perkara bukan atas dasar keputusan dan keyakinan yang tepat, melainkan berdasarkan tekanan dari pemerintah, pers, maupun massa, majelis hakim pada masa merdeka ini sebenarnya “belum merdeka” dan kualitasnya masih jauh dari hakim-hakim pada zaman penjajahan dulu.


            Sampurasun.

No comments:

Post a Comment