oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Hoax
dan
hate speech sebetulnya sudah sejak
lama menyerang Indonesia. Para penjajah Indonesia yang berkulit putih dan
berasal dari wilayah barat itu selalu menggunakan hoax dan ujaran kebencian
untuk mengecilkan dan merendahkan Indonesia. Para penjajahlah yang tercatat pertama
kali melakukan banyak hoax dan ujaran kebencian kepada bangsa Indonesia untuk
tetap melestarikan penghinaan dan melanggengkan kekuasaannya di Indonesia.
Mereka berharap bahwa rakyat Indonesia dan dunia tetap memandang rendah
terhadap rakyat Indonesia. Rakyat diharapkan mengakui bahwa dirinya adalah
lemah, bodoh, dan terbelakang. Pada saat yang sama pun mereka mengharapkan
bahwa dunia memandang Indonesia memang terbelakang sehingga pantas untuk
dijajah dan dikendalikan oleh mereka.
Para penjajah dan bangsa penjajah yang senang menjajah
orang lain menggunakan kekuatan pers untuk mendiskreditkan Indonesia. Hal itu terus
berlangsung dan tidak pernah berhenti meskipun Indonesia telah merdeka, hoax
dan ujaran kebencian itu selalu ada. Bahkan, terus terjadi hingga hari ini.
Pemimpin Besar Revolusi Indonesia Soekarno pernah
mengatakan hal tersebut ketika diwawancarai Cindy
Adams, “Mengapa pers asing suka merendahkan aku? Mengapa mereka mengatakan
aku silly, foolish, sick man? Hahaha ….”
Bukan hanya kepada
Soekarno pers asing menyerang dengan menggunakan hoax dan ujaran kebencian,
melainkan pula terhadap para pejuang Indonesia lainnya. Jadi, pers asing tidak
perlu dijadikan ukuran bagi kita. Bahkan, kita, bangsa Indonesia, tidak perlu
heboh dengan menjadikan pers asing sebagai rujukan untuk kita berbuat ini atau
berbuat itu. Kita tidak perlu berupaya menampilkan “sesuatu” hanya agar tidak
ditulis secara buruk oleh pers asing. Percuma kita melakukan hal yang positif
karena mereka dari dulu juga sebagian besar gemar melakukan hoax dan ujaran
kebencian terhadap Indonesia. Jangankan kita dalam keadaan buruk, dalam keadaan
baik saja “dijelek-jelekin”. Jangan terpengaruh oleh pers asing. Kalau kita
bisa dimain-mainkan oleh pers asing, berarti kita masih terjajah dan selalu
takut dipandang jelek oleh bangsa lain. Kita ya kita saja. Kita bergerak dan
membangun untuk kita sendiri. Persetan dengan mereka.
Ada catatan buruk dari Soekarno tentang pers asing
tersebut. Soekarno memaparkan bagaimana pers asing ‘menjelek-jelekkan” Indonesia
tanpa ada bukti dan memang dinyatakan tidak ada bukti oleh pengadilan Belanda.
“Datanglah
penggeledahan-penggeledahan di rumah beberapa saudara kita.
Penggeledahan yang oleh pers kaum
sana begitu digegerkan dan begitu ‘dikocakkan’ dengan ceritera bahwa Saudara
Mohammad Hatta ketika itu kabur ke luar negeri Belanda, tiap-tiap pengurus ‘Perhimpunan
Indonesia’ ketika itu bersenjata revolver,
dan dalam sebuah piano terdapat bom beberapa butir!
Tidak lama sesudahnya, empat saudara
kita ditangkap, dimasukkan dalam tahanan. Mereka disangka berhubungan dengan
Moskow, diperkirakan menjadi anggota suatu perhimpunan rahasia dan terlarang,
serta membuat rancangan pemberontakan di Indonesia yang sangat kejam.
Selagi sebagian rakyat Indonesia
tengah menjalankan puasa, selagi majelis-majelis kehakiman di Indonesia tutup
berhubung dengan ‘bulan perdamaian’ ini, dituntutlah saudara-saudara itu di
muka hakim, dijatuhi dakwaan memuat tulisan-tulisan dalam Indonesia Merdeka nomor Maret-April ’27 yang menghasut pada
kekerasan senjata adanya.
Di manakah tinggalnya dakwaan bahwa
saudara-saudara itu berhubungan dengan Moskow?
Di manakah tinggalnya dakwaan
saudara-saudara itu menjadi anggota suatu perhimpunan rahasia dan terlarang?
Di manakah tinggalnya dakwaan bahwa
saudara-saudara itu membuat rancangan pemberontakan di Indonesia …?
Tidak, tidak sedikit pun dari
sangkaan-sangkaan itu dapat dibuat dakwaan di muka hakim.
Tidak sedikit pun dari sangkaan-sangkaan
itu dapat dibuat senjata untuk menghukum saudara-saudara kita!
Perkara menggoncangkan yang tadinya
begitu digegerkan yang tadinya begitu dikocak-kocakkan, ternyata mengeret
menjadi persdelict yang kecil,
mengeret menjadi perkara opruiing, mengeret
menjadi perkara artikel 131 yang begitu lembek dan begitu lemah alasan
pendakwaannya sehingga majelis yang memeriksanya menjatuhkan putusan bebas di
atas saudara-saudara itu adanya!”
Dari penuturan
Soekarno tersebut, kita sudah melihat adanya kenyataan bahwa hoax dan ujaran
kebencian digunakan pers barat, pers asing untuk menggerakkan masyarakat barat
dan Indonesia yang pro-penjajahan agar tetap memandang Indonesia sebagai bangsa
yang masih harus dikendalikan dan dijajah. Pers dan mereka yang pro-penjajahan pun
berharap dapat mempengaruhi keputusan hakim agar Mohammad Hatta dan
teman-temannya dihukum dengan sangat berat. Mereka membangun opini dan kisah
bahwa Mohammad Hatta dan teman-temannya memiliki senjata revolver, menyiapkan
bom, mengikuti organisasi terlarang, dan berhubungan erat dengan Moskow. Akan
tetapi, semua hasutan, hoax, dan ujaran kebencian itu sama sekali tidak terbukti
serta tidak mampu mempengaruhi keputusan hakim. Karena tidak terbukti melakukan
segala hal yang dituduhkan kepada para pejuang Indonesia itu, majelis hakim memutuskan
bahwa mereka tidak bersalah dan divonis bebas.
Kita pun bisa mellihat bahwa betapa kuatnya dan
berwibawanya pengadilan saat itu yang tidak mempedulikan hoax, ujaran
kebencian, dan opini yang menggoncangkan
dan menggegerkan, baik di Belanda maupun di Indonesia yang menyerang
pribadi para tokoh Indonesia itu. Majelis hakim tetap menjaga kehormatan
dirinya untuk memutuskan sesuai dengan keyakinan majelis hakim sendiri. Tidak ada
kekuasaan yang mampu mempengaruhi hakim, baik itu kekuasaan pemerintah kolonial,
kekuasaan pers, maupun kekuatan opini massa.
Itu majelis hakim pada masa penjajahan Belanda. Mereka
begitu mempertahankan wibawa hakim dan pengadilan yang ingin tetap jujur dan
bersih dari pengaruh siapa pun.
Kita kini sudah merdeka. Sudah seharusnya majelis hakim
pada masa kini pun bebas untuk memutuskan sesuatu perkara agar harga diri dan
kemuliaan hakim, pengadilan, dan hukum dapat dijaga dengan sangat bersih dan
kuat.
Sangatlah memalukan jika majelis hakim di Indonesia pada
masa kemerdekaan ini “tidak merdeka” dalam memutuskan perkara disebabkan adanya
tekanan dari sana-sini. Kalau memutuskan perkara bukan atas dasar keputusan dan
keyakinan yang tepat, melainkan berdasarkan tekanan dari pemerintah, pers,
maupun massa, majelis hakim pada masa merdeka ini sebenarnya “belum merdeka”
dan kualitasnya masih jauh dari hakim-hakim pada zaman penjajahan dulu.
Sampurasun.
No comments:
Post a Comment