oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Pertama kali mendengar atau
membaca kalimat Tamasya Al Maidah, langsung
saja bingung.
Ini kalimat apa?
Apa artinya?
Apa maksudnya?
Kalimat ini termasuk kategori kalimat rancu. Kalimat
rancu itu biasanya diartikan kalimat yang tidak masuk akal, tidak memiliki
arti, berlebihan, tidak sesuai antara arti dengan kalimat yang dibangun, dan
lain sebagainya.
Kalimat Tamasya Al Maidah sama sekali tidak memiliki
arti. Bahkan, jauh dari tujuan kegiatan yang dinamakan Tamasya Al Maidah itu
sendiri.
Dalam kalimat Tamasya Al Maidah itu tidak jelas siapa
yang melakukan tamasya dan ke mana tujuan tamasyanya. Kalau “Tamasya Ruhani”,
masih bisa dipahami karena ruhani peserta adalah yang melakukan tamasya ke
berbagai hal yang bersifat ruhani. Kalau “Wisata Religi”, juga bisa dipahami
bahwa hal-hal yang bersifat religi yang menjadi tujuan wisata. Kalau “Wisata Demokrasi”, bisa pula dipahami
dengan lebih baik bahwa wisata yang dilakukan adalah untuk menambah wawasan
demokrasi atau melihat-lihat dengan santai situasi demokrasi yang sedang
dijalankan.
Kalau Tamasya Al Maidah, siapa pesertanya dan ke mana
tujuannya?
Aneh.
Bandingkan dengan kalimat “Tamasya Universitas Indonesia”.
Siapa pesertanya dan ke mana tujuannya jika mendapatkan
kalimat Tamasya Universitas Indonesia?
Kalimat ini sebenarnya kalimat buruk karena tidak jelas. Akan
tetapi, orang masih bisa menduga artinya. Bisa dua dugaan artinya, yaitu
tamasya mahasiswa Universitas Indonesia ke tempat wisata atau Universitas
Indonesia sendiri yang menjadi tujuan wisata. Oleh sebab itu, saya katakan ini
kalimat yang buruk, kalimat ambigu, tetapi kalimat Tamasya Al Maidah adalah
jauh lebih buruk lagi.
Bandingkan dengan kalimat ini, “Tamasya ke Universitas
Indonesia”.
Kalimat itu lebih jelas, bukan?
Sekarang tentang “Tamasya Al Maidah”.
Apakah Al Maidah adalah peserta tamasya?
Tidak masuk akal.
Apakah Al Maidah yang menjadi tujuan tamasya?
Juga tidak masuk akal.
Jadi, kalimat ini benar-benar rancu karena tidak masuk
akal dan sama sekali tidak memiliki arti. Tidak berarti apa pun.
Apalagi jika dikaitkan dengan maksud para penggagas kegiatan
kalimat rancu itu yang mengatakan bahwa kegiatan itu berisi pengerahan massa
untuk memastikan Paslon Ahok-Djarot kalah dan mengawal pemilihan gubernur DKI
supaya berjalan tertib. Tamasya ya tamasya, bukan melakukan pengawalan.
Mengawal itu berarti bekerja, bukan tamasya. Mengalahkan Ahok-Djarot itu bukan
tamasya, melainkan “penyerangan”. Tamasya itu piknik, senang-senang, ngabisin
uang, ngabisin waktu, rileks, santai, ketawa-ketiwi tanpa menyakiti orang lain.
Nanti-nanti kalau bikin kalimat itu yang benar. Saya
kasih contoh, “Tamasya Demi Al Maidah”. Kalimat itu lebih masuk akal dan bisa
dipahami dengan benar.
Jangan dibiasakan membuat kalimat yang tidak masuk akal
karena akan berakibat buruk. Salah satunya adalah akan menjadi terbiasa
memahami kalimat sesuai dengan dugaannya sendiri dan tidak berdasarkan arti
kata-kata yang ada dalam kalimat itu. Akibatnya, mudah salah persepsi, salah
tafsir. Kemudian, parahnya, akan mudah menyalahkan orang lain hanya karena
tidak bisa memahami kata-kata orang lain dengan benar. Lebih parah lagi jika
tiba-tiba mengklaim dirinyalah yang paling benar, sedangkan orang lain yang
salah, padahal dirinya sendiri yang terlalu banyak imajinasi menyimpang dari
makna setiap kata yang dia dengar atau dia baca. Apalagi jika ada thagut di dalam dirinya yang berupa hawa
nafsu negatif, dia bisa seenaknya menafsirkan kata-kata orang lain sesuai hawa
nafsunya, padahal orang lain yang mengatakan kata-kata itu memiliki maksud yang
berbeda.
Kalau tidak ngerti, nanya. Jangan sok tahu.
Jangan kebanyakan teriak-teriak, tetapi isinya kosong.
Malu.
Sampurasun.
No comments:
Post a Comment