Bandung,
Putera Sang Surya
Tulisan
ini adalah untuk memperkuat Rangkuman Taushiyah Ustadz Dr. Haikal Hassan
tentang Peradaban Islam di Indonesia.
Penelusuran sejarah masuknya Islam ke Indonesia pada abad
ke-7 sebelumnya sudah dikemukakan Prof.
Dr. Hamka. Ajaran Islam pada saat itu langsung didakwahkan oleh khulafaur rasyiddin dengan misi utama
dakwah, bukan perdagangan. Pendapat tersebut berbeda dengan pakar lainnya,
yaitu bahwa Islam masuk ke Indonesia melalui pedagang Gujarat (abad ke-13).
Pendapat kedua tersebut sengaja disimpangkan oleh kolonial Belanda.
Adalah rangkuman taushiyah Ustd. Dr. Haikal Hassan
tentang Peradaban Islam di Indonesia yang tersebar di media sosial yang
mendorong penulis ikut “nimbrung” memposting tulisan ini.
Berdasarkan penelusuran bukti-bukti sejarah seperti yang
ada di perpustakaan Spanyol dan Inggris, menurut Dr. Haikal Hassan, Sayidina Ali bin Abi Thalib as, pernah
datang dan berdakwah di Garut, Cirebon, Jawa Barat (tanah Sunda), Indonesia
pada 625 M; Ja’far bin Abi Thalib
berdakwah di Jepara, Kerajaan Kalingga, Jawa Tengah (Jawa Dwipa), Indonesia
sekitar 626 M; Ubay bin Kaab
berdakwah di Sumatera Barat, Indonesia, kemudian kembali ke Madinah sekitar 626
M; Abdullah bin Mas’ud berdakwah di
Aceh Darussalam dan kembali lagi ke Madinah sekitar 626 M; Abdurrahman bin Muadz bin Jabal
dan putera-puteranya, Mahmud dan Ismail berdakwah dan wafat dimakamkan di
Barus, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara sekitar 625 M; Akasyah bin Muhsin Al Usdi berdakwah di Palembang, Sumatera
Selatan, dan sebelum Rasulullah
wafat, ia kembali ke Madinah sekitar 623 M; Salman
Al Farisi berdakwah ke Perlak, Aceh Timur dan kembali ke Madinah sekitar
626 M.
Teori
“Kapur Barus” Hamka
Pendapat mendiang Prof. Dr.
Hamka bahwa Islam sudah masuk ke Indonesia pada era khulafaur rasyiddin (abad
ke-7 M) pada awalnya banyak ditentang sejarawan, Menurut Hamka, salah satu
bukti Islam sudah masuk ke Nusantara pada abad ke-7 adalah kapur barus yang hanya ada di Indonesia (Asia Tenggara) dan pada saat
itu, barang komoditas yang amat mahal di dunia tersebut sudah dipergunakan di
Jazirah Arab untuk wewangian, campuran minuman, bahan obat-obatan, bahan
pewangi pengurusan jenazah, dll.. Bahkan, sumber tertua menyebutkan bahwa
catatan seorang pedagang Cina yang menelusuri Jalur Sutera pada awal abad ke-4,
catatan seorang dokter Yunani di Mesopotamia yang bernama Actius (502-578 M) dan catatan dinasti
Liang (502-577 M) sudah mengenal kapur barus tersebut. Jika catatan Ptolomaeus (seorang filsuf Alexandria pada abad pertama masehi)
benar, yang disebutnya “kapur” adalah kapur (barus) yang berasal dari Barus,
kemungkinan besar bahan yang sangat berharga tersebut sudah digunakan sejak SM.
Atas dugaan tersebut, mungkinkah mumi jenazah Firaun pun di Mesir sudah menggunakan
kapur barus?
Saat sekarang pendapat Hamka yang menjelaskan bahwa Islam
masuk ke Nusantara pada abad ke-7 M tersebut semakin menguat setelah
ditemukannya bukti lain bahwa salah seorang sahabat
Rasulullah saw, yakni Abdurrahman bin
Muadz bin Jabal dan putera-puteranya, Mahmud
dan Ismail, berdakwah dan wafat
dimakamkan di Barus, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, sekitar 625 M.
Dinamakan “Barus” karena daerah tersebut adalah daerah endemik
pohon kapur (drybalanops aromatic) sebagai
bahan baku kapur barus. Selain di Sumatera Utara, pohon yang sangat langka di
dunia tersebut tumbuh di Borneo.
Islam
dan Kapur Barus
“Sungguh
orang-orang yang berbuat kebajikan akan minum dari gelas (berisi minuman) yang
campurannya adalah air kafur.” (QS 76 : 5)
Apakah air kafur yang dimaksud Al Quran tersebut adalah
suatu mata air di surga yang airnya putih, baunya wangi, dan sedap sekali
rasanya?
Ataukah pohon Barus termasuk tanaman surga yang ada di
Bumi seperti halnya pohon Tin dan pohon Gaharu?
Jika benar, pantaslah jika minuman dengan wewangian
campuran dari pohon barus menjadi sajian yang sangat istimewa di Cina dan
Jazirah Arab pada masanya, sebagaimana digambarkan dalam Al Quran tersebut.
Wallaahualam
Bidang
Kesehatan
Di bidang kesehatan, ilmuwan
muslim, yakni Ibnu Sina (980-1037 M)
sudah menggunakan kapur barus sebagai obat dan wewangian. Bahkan, Ibnu Sina
sudah menjelaskan teknik penyulingannya.
“Menjadi Kapur di Dalam
Barus”
Memasuki abad ke-16, Barus
yang semula sebagai pusat perdagangan dunia dengan komoditas utama barus,
mengakhiri masa emasnya. Pujangga Hamzah
Fansuri dalam beberapa bait syairnya menggambarkan:
Hamzah
Fansuri di dalam Makkah
Mencari
Tuhan di Bayt al Kabah
Dari
Barus ke Qudus terlalu payah
Akhirnya
dapat di dalam rumah
….
Hamzah
Syahr Nawi terlalu hapus
Seperti
kayu sekalian hangus
Asalnya
laut tiada berharus
Menjadi
kapur di dalam Barus
….
Semoga Islam jaya, jaya
deui.
Wallaahualam bishshawab
Salam
Asia Afrika
Salam
Bandung Lautan Api
Salam
“Halo-Halo Bandung”
Mari
Bung (kejayaan Islam) Rebut Kembali
Allahu Akbar …!
No comments:
Post a Comment