oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Aksi 1998 adalah aksi
tuntutan reformasi yang disuarakan mahasiswa, aktivis, dan rakyat Indonesia
untuk menjatuhkan Presiden ke-2 RI Soeharto dan menata ulang Indonesia. Aksi
ini memang berhasil membuat Soeharto lengser
dalam bahasa Jawa dan lungsur dalam
bahasa Sunda. Soeharto jatuh pada seperempat jalan kekuasaannya.
Orang banyak menduga bahwa keberhasilan aksi ini
merupakan aktivitas dan pengorbanan dari para mahasiswa, aktivis, dan rakyat.
Jumlah mereka yang melakukan aksi, baik di jalan maupun di media massa
sesungguhnya hanya sebagian kecil dari rakyat Indonesia. Akan tetapi, suara
mereka ini mewakili suara diam dari sebagian masyarakat Indonesia dan berhasil
membungkam sebagian rakyat lainnya dengan fakta-fakta dan kemampuan berpikir
yang lebih tinggi dibandingkan rakyat lainnya. Aksi sejumlah kecil elemen
bangsa inilah yang terus-terusan dikenang sebagai keberhasilan dengan segala
tindakannya.
Tindakan peserta aksi yang dipandang monumental adalah
mampu mendesakkan keinginannya pada anggota DPR/MPR RI untuk menghentikan
Soeharto sebagai presiden. Rakyat dan mahasiswa mengeroyok para legislator,
bahkan menduduki Gedung DPR/MPR RI di Senayan, Jakarta. Ketika para legislator
terdesak dan gedungnya diduduki, Soeharto pun mengundurkan diri. Berhasillah
aksi 1998 itu.
PENDUDUKAN GEDUNG DPR/MPR RI. Sumber Foto: ic-mes.org |
Tak heran jika aksi itulah yang dipandang sebagai cara
yang hebat dalam menjatuhkan Soeharto. Padahal, hal yang sesungguhnya terjadi
tidaklah sesederhana itu.
Tak heran pula keberhasilan aksi 1998 itu sepertinya
ingin dicontoh oleh pelaku-pelaku dugaan tindakan makar pada era kepemimpinan
Presiden Jokowi. Setidak-tidaknya, itulah yang saya dengar dari kepolisian RI bahwa
mereka yang diduga akan melakukan makar itu, baik waktunya yang berdekatan dengan
aksi 212 atau dengan aksi 313, akan melakukan pengepungan terhadap Gedung
DPR/MPR RI dan memaksa anggota DPR/MPR RI untuk menjatuhkan pemerintahan
Jokowi-JK. Hal itu mirip dengan aksi 1998 ketika menjatuhkan Soeharto.
SOEHARTO MUNDUR. Sumber Foto: www.babatpost.com |
Dikiranya bakal berhasil kayak dulu, nyatanya tidak,
bukan?
Bahkan, mereka ditangkapin polisi.
Mengapa mereka gagal dan ditangkap polisi?
Mereka sepertinya hanya mengandalkan dugaan. Dugaan itu
diyakini mereka sebagai kebenaran. Dugaan yang diklaim sebagai kebenaran sesungguhnya
adalah hoax. Jadi, mereka bergerak
karena hoax.
Ya pasti gagal atuh mengandalkan hoax mah!
Kacow.
Kan sudah saya bilang
berulang-ulang bahwa dugaan yang diklaim sebagai kebenaran itu adalah hoax. Untuk memastikan apakah dugaan itu
benar atau salah, harus melakukan penelitian. Gunakan metode kuantitaif, kualitatif,
atau campuran. Lalu, analisis secara mendalam. Dengan demikian, akan didapat
kesimpulan yang lebih pasti.
Dibilangin juga jangan percaya hoax, masih percaya juga.
Jadinya kan tersesat, salah jalan, salah cara, akhirnya rugi sendiri.
Apanya yang hoax sesungguhnya?
Hoax itu adalah Soeharto
jatuh karena rakyat dan mahasiswa mendesak DPR/MPR RI serta menduduki Gedung
DPR/MPR RI!
Sudah saya bilang tadi, hal yang sesungguhnya terjadi
adalah tidak sesederhana itu. Memang perlu penelitian lebih mendalam tentang
kejatuhan Soeharto itu. Para mahasiswa Fisip bisa menelitinya. Taruna
kepolisian dan ketentaraan juga bisa melakukan penelitian itu. Hal yang saya tulis
ini bisa dijadikan penelitian pendahuluan bagi para peneliti.
Memang benar bahwa aksi mahasiswa dan rakyat mengepung,
mendesak, dan menduduki Gedung DPR/MPRI RI itu mendorong Soeharto jatuh. Akan
tetapi, hal itu bukanlah satu-satunya penyebab Soeharto jatuh. Masyarakat
melupakan peranan pers yang juga mendukung penuh aksi itu. Di samping itu,
orang meminggirkan kiprah orang-orang di dalam pemerintahan Soeharto sendiri
yang memang juga sama-sama menginginkan reformasi.
Soal aksi mahasiswa dan rakyat, sudah pasti terjadi dan
itu kebenaran yang nyata. Di luar pemerintahan ada aktivitas yang sangat tinggi
di bawah pengaruh Amien Rais yang
disebut sebagai Lokomotif Reformasi. Amien
Rais adalah simbol ilmuwan kelas wahid dan pemimpin Ormas besar Muhammadiyah
yang juga memiliki pengaruh sangat besar di Indonesia. Di samping itu, pers
juga memberikan dukungan penuh yang selalu mem-blow up berita sekecil apa pun yang terkait dengan gerakan
reformasi. Pers dengan senang hati mendukungnya karena mereka pun bosan
dikungkung dan dipenjara oleh ketidakbebasan pers.
AMIEN RAIS. Sumber Foto: www.merdeka.com |
Selain itu, ada hal yang sangat dilupakan orang, bahkan
mungkin ingin dilupakan orang sampai mungkin ingin dihilangkan peranannya dalam
proses reformasi. Hal itu adalah peranan Ginanjar
Kartasasmita yang saat itu adalah menteri dalam kabinet yang dibentuk
Soeharto. Saat aksi marak apalagi ada bumbu huru hara rasis dalam medio Mei
1998, Soeharto sebenarnya sudah memberikan jawaban bagi tuntutan mahasiswa dan
rakyat dengan membentuk Kabinet
Reformasi. Ia menginginkan reformasi berjalan gradual, padahal reformasi sendiri sudah merupakan perubahan yang gradual. Perubahan yang tidak gradual itu bukan reformasi, melainkan revolusi. Akan tetapi, kenyataannya Kabinet
Reformasi yang dibentuk Soeharto tidaklah berjalan efektif, bahkan melakukan
pembangkangan terhadap Soeharto sendiri. Ginanjar Kartasasmita menjadi hulu atau pemimpin dari para menteri
yang juga sama-sama menginginkan reformasi dalam arti Soeharto berhenti menjadi presiden.
GINANJAR KARTASASMITA. Sumber Foto: www.pikiranmerdeka.co |
Hal itu ada dalam pidato pengunduran Soeharto sendiri. Ia
mengatakan bahwa Kabinet Reformasi tidak mendapatkan tanggapan sebagaimana yang
diharapkannya. Oleh sebab itu, Soeharto memilih untuk mengundurkan diri dari
kursi kepresidenan. Seandainya Kabinet Reformasi berjalan dengan baik di
samping ABRI (kini TNI) dan kepolisian masih setia kepada Soeharto,
pemerintahan pasti masih berjalan. Soal aksi-aksi di jalan, masih bisa diatasi
dengan kebiasaan represif seperti
yang sudah-sudah. Paling-paling, jadi insiden berdarah seperti di Tiananmen.
Jadi, keberhasilan aksi 1998 itu bukan hanya oleh desakan
mahasiswa dan rakyat pada anggota legislatif dan pendudukan gedung wakil
rakyat, melainkan pula ada dukungan kuat dari pers yang bulat, kaum intelektual
yang berwibawa, Ormas besar yang terpercaya, dan hal yang sangat penting adalah
ada orang berpengaruh di dalam tubuh pemerintahan yang menghalangi program
kerja Soeharto, yaitu Ginanjar Kartasasmita.
Sebaiknya, bukan hanya Amien Rais yang memiliki gelar Lokomotif Reformasi, Ginanjar
Kartasasmita pun berhak mendapatkan gelar serupa atau gelar lain sebagai
pendorong reformasi. Dia berperan sangat besar dalam reformasi, tetapi karena
dirinya masih berada dalam pemerintahan, orang menganggapnya masih orangnya
Soeharto. Padahal, Ginanjar Kartasasmita
memiliki andil cukup kuat dalam gerakan reformasi. Kita tidak boleh melupakan
jasa orang, tidak baik bagi kesehatan. Ginanjar Kartasasmita punya jasa besar.
Jadi, jangan bermimpi untuk menjatuhkan pemerintahan Presiden
Jokowi hanya dengan cara menggunakan massa, mengepung dan menduduki Gedung
DPR/MPR RI, lalu mendesak anggota DPR/MPR RI untuk memecat Jokowi. Itu tidak
cukup dan tidak akan pernah berhasil. Kalaupun seluruh anggota legislatif
terdesak dan terpaksa untuk menyetujui penggulingan pemerintahan Jokowi, tetapi
kabinet beserta TNI dan Polri masih berjalan baik dan setia, kejadiannya bisa
seperti di Chile dulu. Gedung
parlemen Chile dibombardir tank-tank
baja pasukan pemerintah. Penggulingan kekuasaan di Chile itu hanya menjadi kisah
kudeta yang gagal.
Makanya, kalau punya dugaan, jangan lantas diyakini
sebagai kebenaran karena bisa jadi hoax. Teliti
dulu benar-tidaknya. Analisis dengan baik. Setelah itu, baru bersikap.
Hati-hati. Mau beli barang saja harus hati-hati, teliti sebelum membeli, apalagi mau mengganti pemerintahan, harus
ekstra hati-hati karena bisa malik piloko,
senjata makan tuan, golok di tangan menebas leher sendiri.
Dibilangin jangan suka hoax, masih gemar juga, kan sesat
jadinya, salah jalan, salah cara, rugi lagi.
Hayu ah.
Sampurasun.
No comments:
Post a Comment