Tuesday, 4 April 2017

Keberhasilan Aksi 1998 Tidak Akan Pernah Terulang Lagi

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Aksi 1998 adalah aksi tuntutan reformasi yang disuarakan mahasiswa, aktivis, dan rakyat Indonesia untuk menjatuhkan Presiden ke-2 RI Soeharto dan menata ulang Indonesia. Aksi ini memang berhasil membuat Soeharto lengser dalam bahasa Jawa dan lungsur dalam bahasa Sunda. Soeharto jatuh pada seperempat jalan kekuasaannya.

            Orang banyak menduga bahwa keberhasilan aksi ini merupakan aktivitas dan pengorbanan dari para mahasiswa, aktivis, dan rakyat. Jumlah mereka yang melakukan aksi, baik di jalan maupun di media massa sesungguhnya hanya sebagian kecil dari rakyat Indonesia. Akan tetapi, suara mereka ini mewakili suara diam dari sebagian masyarakat Indonesia dan berhasil membungkam sebagian rakyat lainnya dengan fakta-fakta dan kemampuan berpikir yang lebih tinggi dibandingkan rakyat lainnya. Aksi sejumlah kecil elemen bangsa inilah yang terus-terusan dikenang sebagai keberhasilan dengan segala tindakannya.

            Tindakan peserta aksi yang dipandang monumental adalah mampu mendesakkan keinginannya pada anggota DPR/MPR RI untuk menghentikan Soeharto sebagai presiden. Rakyat dan mahasiswa mengeroyok para legislator, bahkan menduduki Gedung DPR/MPR RI di Senayan, Jakarta. Ketika para legislator terdesak dan gedungnya diduduki, Soeharto pun mengundurkan diri. Berhasillah aksi 1998 itu.

PENDUDUKAN GEDUNG DPR/MPR RI. Sumber Foto: ic-mes.org
 
            Tak heran jika aksi itulah yang dipandang sebagai cara yang hebat dalam menjatuhkan Soeharto. Padahal, hal yang sesungguhnya terjadi tidaklah sesederhana itu.

            Tak heran pula keberhasilan aksi 1998 itu sepertinya ingin dicontoh oleh pelaku-pelaku dugaan tindakan makar pada era kepemimpinan Presiden Jokowi. Setidak-tidaknya, itulah yang saya dengar dari kepolisian RI bahwa mereka yang diduga akan melakukan makar itu, baik waktunya yang berdekatan dengan aksi 212 atau dengan aksi 313, akan melakukan pengepungan terhadap Gedung DPR/MPR RI dan memaksa anggota DPR/MPR RI untuk menjatuhkan pemerintahan Jokowi-JK. Hal itu mirip dengan aksi 1998 ketika menjatuhkan Soeharto.

SOEHARTO MUNDUR. Sumber Foto: www.babatpost.com


            Dikiranya bakal berhasil kayak dulu, nyatanya tidak, bukan?

            Bahkan, mereka ditangkapin polisi.

            Mengapa mereka gagal dan ditangkap polisi?

            Mereka sepertinya hanya mengandalkan dugaan. Dugaan itu diyakini mereka sebagai kebenaran. Dugaan yang diklaim sebagai kebenaran sesungguhnya adalah hoax. Jadi, mereka bergerak karena hoax.

            Ya pasti gagal atuh mengandalkan hoax mah!

            Kacow.

            Kan sudah saya bilang berulang-ulang bahwa dugaan yang diklaim sebagai kebenaran itu adalah hoax. Untuk memastikan apakah dugaan itu benar atau salah, harus melakukan penelitian. Gunakan metode kuantitaif, kualitatif, atau campuran. Lalu, analisis secara mendalam. Dengan demikian, akan didapat kesimpulan yang lebih pasti.

            Dibilangin juga jangan percaya hoax, masih percaya juga. Jadinya kan tersesat, salah jalan, salah cara, akhirnya rugi sendiri.

            Apanya yang hoax sesungguhnya?

            Hoax itu adalah Soeharto jatuh karena rakyat dan mahasiswa mendesak DPR/MPR RI serta menduduki Gedung DPR/MPR RI!

            Sudah saya bilang tadi, hal yang sesungguhnya terjadi adalah tidak sesederhana itu. Memang perlu penelitian lebih mendalam tentang kejatuhan Soeharto itu. Para mahasiswa Fisip bisa menelitinya. Taruna kepolisian dan ketentaraan juga bisa melakukan penelitian itu. Hal yang saya tulis ini bisa dijadikan penelitian pendahuluan bagi para peneliti.

            Memang benar bahwa aksi mahasiswa dan rakyat mengepung, mendesak, dan menduduki Gedung DPR/MPRI RI itu mendorong Soeharto jatuh. Akan tetapi, hal itu bukanlah satu-satunya penyebab Soeharto jatuh. Masyarakat melupakan peranan pers yang juga mendukung penuh aksi itu. Di samping itu, orang meminggirkan kiprah orang-orang di dalam pemerintahan Soeharto sendiri yang memang juga sama-sama menginginkan reformasi.

            Soal aksi mahasiswa dan rakyat, sudah pasti terjadi dan itu kebenaran yang nyata. Di luar pemerintahan ada aktivitas yang sangat tinggi di bawah pengaruh Amien Rais yang disebut sebagai Lokomotif Reformasi. Amien Rais adalah simbol ilmuwan kelas wahid dan pemimpin Ormas besar Muhammadiyah yang juga memiliki pengaruh sangat besar di Indonesia. Di samping itu, pers juga memberikan dukungan penuh yang selalu mem-blow up berita sekecil apa pun yang terkait dengan gerakan reformasi. Pers dengan senang hati mendukungnya karena mereka pun bosan dikungkung dan dipenjara oleh ketidakbebasan pers.

AMIEN RAIS. Sumber Foto: www.merdeka.com

            Selain itu, ada hal yang sangat dilupakan orang, bahkan mungkin ingin dilupakan orang sampai mungkin ingin dihilangkan peranannya dalam proses reformasi. Hal itu adalah peranan Ginanjar Kartasasmita yang saat itu adalah menteri dalam kabinet yang dibentuk Soeharto. Saat aksi marak apalagi ada bumbu huru hara rasis dalam medio Mei 1998, Soeharto sebenarnya sudah memberikan jawaban bagi tuntutan mahasiswa dan rakyat dengan membentuk Kabinet Reformasi. Ia menginginkan reformasi berjalan gradual, padahal reformasi sendiri sudah merupakan perubahan yang gradual. Perubahan yang tidak gradual itu bukan reformasi, melainkan revolusi. Akan tetapi, kenyataannya Kabinet Reformasi yang dibentuk Soeharto tidaklah berjalan efektif, bahkan melakukan pembangkangan terhadap Soeharto sendiri. Ginanjar Kartasasmita menjadi hulu atau pemimpin dari para menteri yang juga sama-sama menginginkan reformasi dalam arti Soeharto berhenti menjadi presiden.

GINANJAR KARTASASMITA. Sumber Foto: www.pikiranmerdeka.co

            Hal itu ada dalam pidato pengunduran Soeharto sendiri. Ia mengatakan bahwa Kabinet Reformasi tidak mendapatkan tanggapan sebagaimana yang diharapkannya. Oleh sebab itu, Soeharto memilih untuk mengundurkan diri dari kursi kepresidenan. Seandainya Kabinet Reformasi berjalan dengan baik di samping ABRI (kini TNI) dan kepolisian masih setia kepada Soeharto, pemerintahan pasti masih berjalan. Soal aksi-aksi di jalan, masih bisa diatasi dengan kebiasaan represif seperti yang sudah-sudah. Paling-paling, jadi insiden berdarah seperti di Tiananmen.

            Jadi, keberhasilan aksi 1998 itu bukan hanya oleh desakan mahasiswa dan rakyat pada anggota legislatif dan pendudukan gedung wakil rakyat, melainkan pula ada dukungan kuat dari pers yang bulat, kaum intelektual yang berwibawa, Ormas besar yang terpercaya, dan hal yang sangat penting adalah ada orang berpengaruh di dalam tubuh pemerintahan yang menghalangi program kerja Soeharto, yaitu Ginanjar Kartasasmita.

            Sebaiknya, bukan hanya Amien Rais yang memiliki gelar Lokomotif Reformasi, Ginanjar Kartasasmita pun berhak mendapatkan gelar serupa atau gelar lain sebagai pendorong reformasi. Dia berperan sangat besar dalam reformasi, tetapi karena dirinya masih berada dalam pemerintahan, orang menganggapnya masih orangnya Soeharto. Padahal,  Ginanjar Kartasasmita memiliki andil cukup kuat dalam gerakan reformasi. Kita tidak boleh melupakan jasa orang, tidak baik bagi kesehatan. Ginanjar Kartasasmita punya jasa besar.

            Jadi, jangan bermimpi untuk menjatuhkan pemerintahan Presiden Jokowi hanya dengan cara menggunakan massa, mengepung dan menduduki Gedung DPR/MPR RI, lalu mendesak anggota DPR/MPR RI untuk memecat Jokowi. Itu tidak cukup dan tidak akan pernah berhasil. Kalaupun seluruh anggota legislatif terdesak dan terpaksa untuk menyetujui penggulingan pemerintahan Jokowi, tetapi kabinet beserta TNI dan Polri masih berjalan baik dan setia, kejadiannya bisa seperti di Chile dulu. Gedung parlemen Chile dibombardir tank-tank baja pasukan pemerintah. Penggulingan kekuasaan di Chile itu hanya menjadi kisah kudeta yang gagal.

            Makanya, kalau punya dugaan, jangan lantas diyakini sebagai kebenaran karena bisa jadi hoax. Teliti dulu benar-tidaknya. Analisis dengan baik. Setelah itu, baru bersikap. Hati-hati. Mau beli barang saja harus hati-hati, teliti sebelum membeli, apalagi mau mengganti pemerintahan, harus ekstra hati-hati karena bisa malik piloko, senjata makan tuan, golok di tangan menebas leher sendiri.

            Dibilangin jangan suka hoax, masih gemar juga, kan sesat jadinya, salah jalan, salah cara, rugi lagi.

            Hayu ah.


            Sampurasun.

No comments:

Post a Comment