oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Orang Bandung pasti mengenal
istilah Bandung heurin ku tangtung, ‘Bandung
padat oleh orang yang berdiri’. Entah sejak kapan kalimat itu ada. Pasti
umurnya sudah sangat tua. Kakek-kakek yang sudah sangat renta lanjut usia saat
ini pun sudah mendengarnya sejak 1920. Mereka mendengarnya dari orang-orang tua
mereka. Kalimat itu memang sudah teramat tua.
Kalimat itu merupakan prediksi para orang tua zaman dulu
dengan kekuatan spiritualnya yang luar biasa. Bayangkan, pada 1920 saja Bandung
masih sangat lengang. Sebelum tahun itu pasti masih lebih lengang.
Sebelum-sebelumnya, pasti jauh lebih lengang, mungkin masih sekitar 200 orang
yang berada di Bandung. Jumlah 200 orang itu adalah jumlah rakyat Bupati Bandung
RAA Wiranatakusumah saat pertama kali membangun Bandung yang dimulai dengan
pembangunan pendopo dekat Sungai Cikapundung yang kini menjadi rumah dinas
walikota Bandung. Saat mendirikan Kota Bandung, Bupati RAA Wiranatakusumah
masih berusia 16 tahun.
Saya masih ingat tulisan tokoh pers nasional yang sangat
terkenal di Jawa Barat, yaitu Atang Ruswita, pendiri Harian Umum Pikiran Rakyat. Ia (alm.) semasa hidupnya setiap hari menulis
di pojok khusus yang ada pada halaman
pertama HU Pikiran Rakyat. Dalam tulisannya ia mengakui mendengar istilah Bandung heurin ku tangtung dari kakeknya
pada 1920.
Kakeknya bilang, “Nanti itu Bandung akan sangat padat,
penuh dengan orang-orang. Bandung heurin
ku tangtung. Untuk berjalan saja, sulit. Malahan, kita pun akan kesulitan mendapatkan
tanah untuk kuburan kita jika kita mati.”
Kata-kata kakek seorang tokoh pers itu tampak sekali
sekarang mulai terjadi, bahkan sedang terjadi. Beberapa waktu lalu, ketika menyelesaikan
pembayaran administrasi makam kakek saya di Dinas Pemakaman Kota Bandung, saya
sekalian berziarah ke makam kakek saya di Pemakaman Umum Muslim Sirnaraga yang
dikelola pemerintah Kota Bandung. Meskipun saya tidak pernah bertemu dengannya
karena kakek saya meninggal pada usia sangat muda, 32 tahun, ketika ibu saya
masih kecil, saya meneruskan tradisi nenek saya yang selalu berziarah ke makam
kakek saya. Ada pemandangan aneh di pekuburan umum itu. Di samping sudah sangat
padat hingga kuburan-kuburan itu saling berhimpitan, tak ada lagi jarak antara
satu kuburan dengan kuburan lainnya, juga banyak kuburan yang satu lubang
digunakan untuk dua jenazah. Saat diperhatikan satu lubang kuburan itu
digunakan oleh dua jenazah yang masih satu keluarga, misalnya, suami dan istri,
ibu dan anak, ayah dan anak, atau adik-kakak. Di samping kuburan kakek saya pun
ada dua nisan pada satu kuburan yang sama. Ketika saya lihat dari namanya,
ternyata itu adalah kuburan seorang ayah dengan seorang anak perempuannya.
Padahal, dulu kalau saya berziarah, masih hanya ada satu nisan, yaitu nama
ayahnya. Sekarang ada nisan lagi pada bagian perut kuburan itu dengan nama
perempuan yang ditambahkan kata binti nama
ayahnya.
TPU SIRNARAGA, KOTA BANDUNG. Foto: www.pikiran-rakyat.com |
Dilihat dari cara memasang nisan, saya membayangkan bahwa
mungkin para penggali kubur menggali kuburan ayah perempuan itu, lalu tulang
belulang ayahnya dikumpulkan dan ditumpukkan pada bagian kepalanya, setelah itu
dimakamkanlah puterinya.
Bandung benar-benar sudah padat. Kini bukan hanya Bandung heurin ku Tangtung, melainkan pula ditambah dengan Bandung heurin ku goler, ‘Bandung padat
oleh tubuh yang rebah’.
Perlu ada cara agar Kota Bandung tidak selalu menjadi
tempat bermukim penduduk, tak perlu lagi ada penambahan penduduk di Kota Bandung.
Seharusnya, diupayakan penyebaran penduduk ke wilayah-wilayah terdekat yang
masih di seputaran Bandung Raya,
misalnya, Kabupaten Bandung dan Kabupaten Bandung Barat.
Saya juga memilih pindah rumah dari Kota Bandung ke
Kabupaten Bandung salah satunya disebabkan semakin padatnya Kota Bandung, baik
penambahan penduduk akibat urbanisasi maupun
penambahan volume kendaraan yang memacetkan lalu lintas. Saya sekarang tinggal
di perbukitan. Di sini udaranya masih sangat segar. Ketika membuka pintu rumah,
saya langsung melihat pegunungan yang jaraknya teramat dekat, bisa ditempuh
dengan berjalan kaki. Di sini masih banyak lahan kosong dan jarang kendaraan.
Anak-anak masih memiliki tempat yang sangat luas untuk bermain dan setiap orang
masih kenal satu sama lain meskipun berbeda RT, beda RT, malah beda desa.
Kesulitannya adalah masih kurang lengkap sarananya. Kalau membutuhkan
barang-barang seperti di kota, harus agak jauh menuju ke jalan ramai. Kalau
sakit agak berat dikit, dokter masih jauh. Puskesmas juga cukup jauh. Begitu
juga tukang cukur masih jarang. Bidan yang membantu kelahiran pun jaraknya
lumayan jauh. Akan tetapi, keperluan-keperluan itu masih bisa diatasi, hanya
beda jarak dengan di kota.
Saya juga melihat masih sangat banyak lahan kosong di
Kabupaten Bandung dan Kabupaten Bandung Barat. Kalau penyebaran penduduk dan
penyebaran pertumbuhan ekonomi semakin baik dan merata ke wilayah lain,
kepadatan Kota Bandung akan semakin teratasi.
Sampurasun.
No comments:
Post a Comment