Sunday, 16 April 2017

Bandung Heurin ku Goler

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Orang Bandung pasti mengenal istilah Bandung heurin ku tangtung, ‘Bandung padat oleh orang yang berdiri’. Entah sejak kapan kalimat itu ada. Pasti umurnya sudah sangat tua. Kakek-kakek yang sudah sangat renta lanjut usia saat ini pun sudah mendengarnya sejak 1920. Mereka mendengarnya dari orang-orang tua mereka. Kalimat itu memang sudah teramat tua.

            Kalimat itu merupakan prediksi para orang tua zaman dulu dengan kekuatan spiritualnya yang luar biasa. Bayangkan, pada 1920 saja Bandung masih sangat lengang. Sebelum tahun itu pasti masih lebih lengang. Sebelum-sebelumnya, pasti jauh lebih lengang, mungkin masih sekitar 200 orang yang berada di Bandung. Jumlah 200 orang itu adalah jumlah rakyat Bupati Bandung RAA Wiranatakusumah saat pertama kali membangun Bandung yang dimulai dengan pembangunan pendopo dekat Sungai Cikapundung yang kini menjadi rumah dinas walikota Bandung. Saat mendirikan Kota Bandung, Bupati RAA Wiranatakusumah masih berusia 16 tahun.

            Saya masih ingat tulisan tokoh pers nasional yang sangat terkenal di Jawa Barat, yaitu Atang Ruswita, pendiri Harian Umum Pikiran Rakyat. Ia (alm.) semasa hidupnya setiap hari menulis di pojok khusus yang ada pada halaman pertama HU Pikiran Rakyat. Dalam tulisannya ia mengakui mendengar istilah Bandung heurin ku tangtung dari kakeknya pada 1920.

            Kakeknya bilang, “Nanti itu Bandung akan sangat padat, penuh dengan orang-orang. Bandung heurin ku tangtung. Untuk berjalan saja, sulit. Malahan, kita pun akan kesulitan mendapatkan tanah untuk kuburan kita jika kita mati.”  

            Kata-kata kakek seorang tokoh pers itu tampak sekali sekarang mulai terjadi, bahkan sedang terjadi. Beberapa waktu lalu, ketika menyelesaikan pembayaran administrasi makam kakek saya di Dinas Pemakaman Kota Bandung, saya sekalian berziarah ke makam kakek saya di Pemakaman Umum Muslim Sirnaraga yang dikelola pemerintah Kota Bandung. Meskipun saya tidak pernah bertemu dengannya karena kakek saya meninggal pada usia sangat muda, 32 tahun, ketika ibu saya masih kecil, saya meneruskan tradisi nenek saya yang selalu berziarah ke makam kakek saya. Ada pemandangan aneh di pekuburan umum itu. Di samping sudah sangat padat hingga kuburan-kuburan itu saling berhimpitan, tak ada lagi jarak antara satu kuburan dengan kuburan lainnya, juga banyak kuburan yang satu lubang digunakan untuk dua jenazah. Saat diperhatikan satu lubang kuburan itu digunakan oleh dua jenazah yang masih satu keluarga, misalnya, suami dan istri, ibu dan anak, ayah dan anak, atau adik-kakak. Di samping kuburan kakek saya pun ada dua nisan pada satu kuburan yang sama. Ketika saya lihat dari namanya, ternyata itu adalah kuburan seorang ayah dengan seorang anak perempuannya. Padahal, dulu kalau saya berziarah, masih hanya ada satu nisan, yaitu nama ayahnya. Sekarang ada nisan lagi pada bagian perut kuburan itu dengan nama perempuan yang ditambahkan kata binti nama ayahnya.

TPU SIRNARAGA, KOTA BANDUNG. Foto: www.pikiran-rakyat.com
            Dilihat dari cara memasang nisan, saya membayangkan bahwa mungkin para penggali kubur menggali kuburan ayah perempuan itu, lalu tulang belulang ayahnya dikumpulkan dan ditumpukkan pada bagian kepalanya, setelah itu dimakamkanlah puterinya.

            Bandung benar-benar sudah padat. Kini bukan hanya Bandung heurin ku Tangtung, melainkan pula ditambah dengan Bandung heurin ku goler, ‘Bandung padat oleh tubuh yang rebah’.

            Perlu ada cara agar Kota Bandung tidak selalu menjadi tempat bermukim penduduk, tak perlu lagi ada penambahan penduduk di Kota Bandung. Seharusnya, diupayakan penyebaran penduduk ke wilayah-wilayah terdekat yang masih di seputaran Bandung Raya,  misalnya, Kabupaten Bandung dan Kabupaten Bandung Barat.

            Saya juga memilih pindah rumah dari Kota Bandung ke Kabupaten Bandung salah satunya disebabkan semakin padatnya Kota Bandung, baik penambahan penduduk akibat urbanisasi maupun penambahan volume kendaraan yang memacetkan lalu lintas. Saya sekarang tinggal di perbukitan. Di sini udaranya masih sangat segar. Ketika membuka pintu rumah, saya langsung melihat pegunungan yang jaraknya teramat dekat, bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Di sini masih banyak lahan kosong dan jarang kendaraan. Anak-anak masih memiliki tempat yang sangat luas untuk bermain dan setiap orang masih kenal satu sama lain meskipun berbeda RT, beda RT, malah beda desa. Kesulitannya adalah masih kurang lengkap sarananya. Kalau membutuhkan barang-barang seperti di kota, harus agak jauh menuju ke jalan ramai. Kalau sakit agak berat dikit, dokter masih jauh. Puskesmas juga cukup jauh. Begitu juga tukang cukur masih jarang. Bidan yang membantu kelahiran pun jaraknya lumayan jauh. Akan tetapi, keperluan-keperluan itu masih bisa diatasi, hanya beda jarak dengan di kota.

            Saya juga melihat masih sangat banyak lahan kosong di Kabupaten Bandung dan Kabupaten Bandung Barat. Kalau penyebaran penduduk dan penyebaran pertumbuhan ekonomi semakin baik dan merata ke wilayah lain, kepadatan Kota Bandung akan semakin teratasi.


            Sampurasun.

No comments:

Post a Comment