Saturday, 8 April 2017

Meminimalisasi Teror di Eropa

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Saya tidak akan Jaim, ‘jaga imej’, soal teror-teror yang terjadi di Eropa. Reaksi saya pertama kali ketika terjadi teror di Eropa adalah tertawa terkekeh-kekeh, lalu terbahak-bahak bahagia. Setelah itu, agak sedih sedikit, sedikit sekali, sangat sedikit, kebanyakan saya gembira bukan main.

            Saya senang karena apa yang saya “ancamkan” kepada mereka benar-benar terjadi. Hal itu menunjukkan bahwa saya telah memberikan peringatan kepada mereka dan peringatan itu benar-benar terwujud secara nyata. Berkali-kali peringatan saya ini terjadi secara nyata.

            Sebelum terjadi teror bom di Paris, Perancis, saya sudah berdebat dengan para anti-Islam Perancis dua bulan sebelumnya lewat youtube. Saya peringatkan bahwa mereka harus segera menghentikan penghinaan-penghinaan kepada Allah swt, Islam, Muhammad saw, dan kaum muslimin. Saya ingatkan bahwa penghinaan kepada Islam hukumannya adalah “mati” dibunuh. Orang Islam yang memiliki semangat tinggi akan mengorbankan dirinya untuk kemuliaan Islam dan kaum muslimin. Itu artinya penghinaan kepada Islam yang mereka lakukan akan memicu teror. Akan tetapi, sayangnya, orang-orang Eropa dan Amerika Serikat itu kebanyakan belagu, sombong, angkuh, dan tidak mau kalah meskipun sudah jelas-jelas salah. Bahkan, mereka terus-terusan makin keras menghina Islam, baik di dunia maya maupun di dunia nyata dengan aksi-aksi jalanan yang memuakkan.

            Secara fakta dan pengetahuan, saya tidak pernah kalah berdebat karena mereka hanya memiliki pemahaman sedikit dan salah tentang Islam. Akan tetapi, brengseknya, mereka melakukan penghinaan itu just for fun, ‘hanya untuk bersenang-senang’ dan tidak peduli apakah mereka itu menyakiti orang lain atau tidak. Memang ini tampaknya penyakit yang mereka derita. Mereka gemar sekali membuli orang lain yang lemah dan minoritas, bukan hanya muslim, nonmuslim pun mereka buli.

            Akibatnya, bum …! Meledaklah teror di Paris, Perancis yang segera diklaim oleh Isis bahwa itu merupakan konser milik Isis. Pemimpin tertinggi Isis Al Baghdadi menyatakan bahwa teror itu sebagai balasan atas kebijakan pemerintah Perancis yang ikut-ikutan memerangi Isis di Suriah dan balasan atas penghinaan orang-orang Perancis kepada Muhammad saw.

            Saya segera saja bilang, “Gue bilang juga apa. Disuruh berhenti menghina Islam, malah menjadi-jadi, bukannya sadar.”

TEROR DI PARIS, PERANCIS. Foto:global.liputan6.com

            Begitu juga dengan orang-orang Inggris, saya sering sekali chit chat sama mereka agar menghentikan penghinaan kepada Islam. Akan tetapi, orang-orang Inggris ini jauh lebih sombong daripada orang-orang Eropa lainnya. Bahkan, saya bilang orang-orang ini paling sombong dan angkuh di seluruh daratan Eropa. Mereka malah menantang saya kapan hukuman dari Allah swt datang. Mereka melecehkan peringatan saya meskipun komentar-komentar tantangan mereka banyak yang mereka hapus sendiri. Mungkin mereka takut juga sebenarnya, tetapi karena sombongnya bukan main, mereka tidak mau kalah. Mereka minta saya menuliskan tanggal, hari, bulan, dan tahun hukuman Allah swt itu datang.

            Saya jawab saja, “Wait!”

            Disuruh menunggu, mereka malah balik mengejek saya karena tidak tahu kapan hukuman itu datang. Jelas saja saya tidak pernah tahu kapan hukuman itu datang. Akan tetapi, pasti datang karena itu adalah sunatullah. Memang beberapa waktu kemudian, terjadi pula teror menakutkan di Eropa sekaligus kekalahan mereka dalam pemilihan walikota London. Walikota London sekarang kan seorang muslim, namanya Sadiq Khan. Saya pikir itu hukuman bagi mereka dan peristiwa memalukan bagi mereka, ternyata warga London banyak yang sadar untuk tetap saling menghormati di antara umat yang berbeda agama. Tentu saja itu merupakan pukulan keras bagi para anti-Islam di Inggris. Hal itu berada dalam monitoring Allah swt karena Allah swt yang menguasai hati setiap manusia.

            Hal yang lebih mengejutkan adalah peristiwa teror di Stockholm, Swedia. Soalnya, dua hari sebelumnya ada salah seorang dari mereka yang juga mengganggu saya. Sebelum-sebelumnya mereka menuduh saya sebagai penghina Yesus Kristus.

            Saya tantang mereka, “Kapan aku menghina Yesus? Kata dan kalimat mana yang menjadi bukti aku menghina Yesus? Aku paling anti menghina agama orang lain.”

            Mereka tidak bisa menjawab karena memang tidak ada kata penghinaan itu.

            Meskipun demikian, mereka tetap mengganggu dengan menjawab, “This one.”

            This one, ‘yang ini’. Mereka menjawab itu tanpa menunjukkan kata yang mana dan kalimat mana, kecuali ‘yang ini’.  

            Yang ini teh yang mana atuh?

            Da euweuh.

            Mereka hanya mengganggu karena tak mau kalah.

            Dua hari kemudian, bum …! Terjadilah teror di Swedia.

            Saya segera bilang aja dalam hati, “Gue bilang juga apa. Pada belagu sih.”

TRUK ALAT TEROR SWEDIA. Foto:news.karirsumut.com

            Orang boleh saja menyalahkan pelaku teror, tetapi teror itu dipicu salah satunya oleh penghinaan-penghinaan terhadap Islam.


Menciptakan Suasana Saling Menghormati
Untuk meminimalisasi perilaku teror di Eropa, harus ada upaya bersama antara pemerintah Eropa dan masyarakat Eropa untuk menghentikan penghinaan-penghinaan kepada Islam dan kaum muslimin. Berdebat boleh. Sampai urat leher tegang pun boleh berdebat. Akan tetapi, tidak boleh saling menghina. Berdebat itu soal ilmu pengetahuan, sedangkan saling hina itu terjadi karena sama-sama bloon dan tolol.

            Saya sangat menyukai pemerintah dan masyarakat Kanada yang melindungi muslim dan menghormati setiap manusia. Ketika ada teror pada masjid dan terhadap kaum muslimin yang sedang shalat, Perdana Menteri Kanada menangis. Ketika kaum muslimin shalat Jumat, orang-orang nonmuslim Kanada membuat pagar manusia mengelilingi masjid untuk melindungi umat Islam dari kejahatan teror. Demikian pula, pemerintah Jerman yang menyatakan dengan tegas bahwa Islam adalah bagian dari Jerman. Tak heran jika di Kanada dan Jerman dapat dikatakan jumlah teror yang terjadi adalah sangat minimal dibandingkan dengan negara besar Eropa lainnya.

            Di Swedia itu penghinaan kepada Islam sangat brutal, bukan hanya di dunia maya, melainkan di dunia nyata. Mereka yang anti-Islam pernah melakukan sabotase pada acara-acara diskusi, seminar, dakwah kaum muslimin dengan mengganti tayangan-tayangan video Islami dengan tayangan-tayangan penghinaan pada Islam.

            Tak heran jika umat Islam yang sudah menyiapkan dirinya untuk syahid melakukan bum …!

            Korbannya pun acak dan tidak terarah, siapa saja. Hal itu disebabkan banyak sekali yang melakukan penghinaan Islam di sana.

            Dalam hal ini saya harus memberikan penilaian bahwa pelaku teror di Indonesia lebih baik dibandingkan dengan di Eropa. Bukan berarti saya setuju teror. Saya pasti tidak setuju teror. Akan tetapi, paling tidak, teror yang terjadi di Indonesia sasarannya lebih terarah, yaitu polisi, terutama Densus Antiteror. Pelaku teror di Indonesia tidak menyasar korban secara acak karena masih banyak muslim yang baik yang mencoba melakukan perlawanan terhadap penghinaan pada Islam di dunia maya dan banyak nonmuslim baik yang juga tidak setuju terhadap penghinaan pada Islam. Banyak sekali nonmuslim yang ingin hidup damai di lingkungan mayoritas muslim, apalagi yang memiliki ikatan darah. Banyak pula orang Islam yang melindungi nonmuslim.

            Berbeda dengan di Swedia. Karena jumlah anti-Islam sangat banyak dan melakukan penghinaan serta provokasi tanpa dikendalikan oleh pemerintah, jawabannya adalah kaum muslimin yang siap syahid melakukan perlawanan dengan keras bertaruh nyawa.

            Indonesia harus bersyukur memiliki undang-undang yang bisa mengendalikan kebebasan berbicara agar tidak jatuh menjadi kebebasan memfitnah dan menghina pihak lain, baik suku, agama, ras, ataupun adat istiadat. Persoalannya adalah kurangnya partisipasi masyarakat dalam melaporkan berbagai penghinaan yang terjadi di dunia maya dan kurangnya kemauan polisi untuk menyelesaikan kasus-kasus itu. Di dunia nyata penghinaan-penghinaan itu tidaklah banyak. Kalaupun terjadi di dunia nyata, rata-rata karena “keseleo lidah”, tidak sengaja, lupa, atau kebablasan. Sangat jarang terjadi penghinaan di dunia nyata yang dilakukan dengan sengaja, apalagi untuk bersenang-senang.

            Berbeda dengan di dunia barat dan Eropa, penghinaan itu dibiarkan terjadi karena masih termasuk dalam kebebasan berbicara dan kebebasan berekspresi. Padahal, kebebasan berbicara itu tujuannya adalah untuk memperbaiki kehidupan manusia agar tidak terjadi pelanggaran hak azasi manusia dan agar tercipta dorongan lebih positif untuk kemajuan manusia. Penghinaan bukanlah bertujuan untuk hal-hal positif, melainkan hanya untuk meluapkan emosi tanpa kendali secara bodoh, tolol, dan penuh kebloonan.

SALING HINA ADALAH KEBODOHOAN. Foto: www.netralitas.com

            Apabila Eropa mampu mengendalikan penghinaan kepada Islam dan kaum muslimin, insyaallah, aksi-aksi teror pun akan terminimalisasi. Masalah yang tersisa hanya akan seperti yang terjadi di Indonesia, yaitu dukungan berlebihan terhadap Isis, keyakinan kekhalifahan selalu baik,  dan hoax tentang kisah-kisah zaman akhir. Oleh sebab itu, Indonesia lebih mengedepankan pendidikan, pemahaman, dan penyadaran terhadap ajaran Islam sebenarnya yang rahmatan lil alamin dalam mengatasi setiap aksi-aksi terorisme.

            Apabila Eropa masih membiarkan penghinaan terhadap Islam hidup di dunia maya dan di dunia nyata, teror-teror pun akan terus terjadi karena akan ada orang Islam yang merasa tersakiti dan terhina, kemudian melakukan pembalasan dengan nyawanya sendiri. Itu adalah teror bagi korban, tetapi bernilai jihad dan syahid bagi pelakunya. Tak ada gunanya hanya menyalahkan kaum muslimin atau menyebarkan hoax bahwa Islam adalah agama teror karena pada kenyataannya dunia butuh Islam dan kaum muslimin. Dunia harus bekerja sama untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia.

            Eropa, barat, dan anti-Islam boleh sesumbar berteriak seperti yang biasanya, “Kami baik-baik saja tanpa Islam!”

            Berteriak emosi sih boleh-boleh saja, tetapi dalam kenyataannya kan setiap pemimpin barat dan Eropa selalu berusaha mendatangi negeri-negeri muslim, termasuk ke Indonesia untuk bekerja sama dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Kalau merasa diri hidup “lebih baik tanpa Islam”, jangan datangi negeri-negeri muslim dan kunci mati negara-negara Eropa dari Islam serta tak perlu ada kerja sama antara barat, Eropa, dan kaum muslimin. Begitu seharusnya bersikap kalau benar-benar bisa hidup tanpa Islam. Kenyataannya tidak bisa hidup tanpa Islam karena setiap manusia saling membutuhkan.

            Bisakah barat dan Eropa hidup tanpa berbisnis sumber daya alam dengan negeri-negeri muslim?

            Jawabanya pasti telak, “TIDAK BISA!”

            Bisa sih, tetapi bisanya hanya teriak emosi karena kenyataannya pasti tidak bisa. Akan selalu ada orang barat dan Eropa yang mendatangi negeri-negeri muslim untuk bekerja sama dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Oleh sebab itu, jangan pada belagu. Setiap manusia, baik muslim maupun nonmuslim pada dasarnya saling membutuhkan dalam sepanjang hidupnya. Soal benar dan tidaknya suatu agama atau keyakinan akan dibuktikan dengan jelas di hadapan pengadilan Illahi kelak.


            Sampurasun.

No comments:

Post a Comment