Monday, 24 April 2017

Kaum Nasionalis Wajib Menerima Kaum Islam

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Ini adalah peringatan bagi kaum nasionalis!

            Dari dulu hingga sekarang kaum nasionalis memiliki banyak kecurigaan terhadap kaum Islam. Kaum nasionalis mencurigai kaum Islam akan menyeret Indonesia ke arah politik Arab dan Timur Tengah. Kaum nasionalis sering menganggap berbeda tujuan dengan kaum Islam karena kaum Islam lebih mencintai ke-universal-an dibandingkan mencintai tanah airnya sendiri. Kaum Islam dipandang lebih menyukai dan menganggungkan segala hal yang berbau Arab dan Timur Tengah, baik dari segi pemikiran, perilaku, maupun politik. Kaum nasionalis sangat tidak menyukai kaum Islam yang dipandang akan membuat Indonesia sebagai wilayah bagian dari kekuatan Arab dan Timur Tengah. Kecurigaan ini terus terjadi sejak dahulu hingga saat ini. Bedanya, sekarang kaum nasionalis “lebih pandai” menutupi kecurigaannya kepada kaum Islam untuk menghindari konflik. Meskipun demikian, kecurigaan itu tidak pernah berhenti.

            Saya pernah diundang untuk mendengarkan pidato kampanye calon kepala daerah di ruangan tertutup. Pasangan calon eksekutif tersebut berasal dari kelompok nasionalis, sedangkan saingannya berasal dari kelompok Islam.

            Sang Calon Wakil berkata dalam pidatonya, “Kita benar-benar sedang berhadapan dengan orang-orang yang berbeda dengan kita.”

            Dia membedakan antara kelompok nasionalis dengan kelompok Islam. Kelompok Islam dianggap memiliki tujuan yang sangat jauh berbeda dibandingkan dengan kelompok nasionalis meskipun dirinya sendiri beragama Islam.

            Untuk orang-orang nasionalis semacam ini, hendaknya mengingat nasihat keras dari Pemimpin Besar Revolusi Indonesia Soekarno.

            “Adakah keberatan kaum nasionalis buat bekerja sama dengan kaum Islam oleh karena Islam itu melebihi kebangsaan dan melebihi batas negeri yang sifatnya ialah supernasional superteritorial?

            Adakah internationaliteit Islam merupakan suatu rintangan buat geraknya nasionalisme, buat geraknya kebangsaan?

            Banyak nasionalis di antara kita yang lupa bahwa pergerakan nasionalisme dan Islamisme di Indonesia ini—ya, di seluruh Asia—adalah sama asalnya, dua-duanya berasal dari nafsu melawan barat sehingga sebenarnya bukan lawan, melainkan kawanlah adanya.

            Betapa luhurnyalah sikap nasionalis Prof. T.I. Vaswani, seorang yang bukan Islam, menulis, ‘Jikalau Islam menderita sakit, maka ruh kemerdekaan timur tentulah sakit juga sebab makin sangatnya negeri-negeri muslim kehilangan kemerdekaan, makin sangat pula imperialisme Eropa mencekek ruh Asia. Tetapi, saya percaya pada Asia sediakala. Saya percaya bahwa ruhnya masih akan menang. Islam adalah internasional dan jikalau Islam merdeka, maka nasionalisme kita itu diperkuat oleh segenap kekuatan itikad internasional itu.’

            Bukan itu saja. Banyak nasionalis kita yang lupa bahwa orang Islam di mana pun adanya, di seluruh “Darul Islam”, menurut agamanya, wajib bekerja untuk keselamatan orang negeri yang ditempatinya. Nasionalis-nasionalis itu lupa bahwa orang Islam yang sungguh-sungguh menjalankan keislamannya, baik orang Arab maupun orang India, baik orang Mesir maupun orang mana pun, jikalau berdiam di Indonesia, wajib pula bekerja untuk keselamatan Indonesia itu.

            ‘Di mana orang Islam bertempat, bagaimanapun jauhnya dari negeri tempat kelahirannya, di dalam negeri yang baru itu, ia menjadi satu bahagian dari rakyat Islam. Di mana orang Islam bertempat, di situlah ia harus mencintai dan bekerja untuk keperluan negeri itu dan rakyatnya.’

            Inilah nasionalisme Islam! Sempit budi dan sempit pikiranlah nasionalis yang memusuhi Islamisme serupa ini. Sempit budi dan sempit pikiranlah ia oleh karena ia memusuhi suatu azas yang walaupun internasional dan interrasial, mewajibkan segenap pemeluknya yang ada di Indonesia, bangsa apa pun mereka, mencintai dan bekerja untuk keperluan Indonesia dan rakyat Indonesia juga adanya.”

            Kaum nasionalis harus menghentikan kecurigaan yang berlebihan kepada kaum Islam karena sangat banyak kaum Islam yang mencintai Indonesia dengan batas-batas teritorialnya. Bahkan, kaum Islam yang mencintai kedaulatan Indonesia jumlahnya adalah mayoritas dibandingkan dengan mereka yang selalu “menyeret-nyeret” Indonesia untuk menjadi salah satu bagian dari Arab dan Timur Tengah. Memang ada beberapa gelintir orang Islam yang kerap berkehendak mengekor Arab dan Timur Tengah, tetapi tidak perlu membuat kaum nasionalis Indonesia menggeneralisasi bahwa setiap gerakan kaum Islam adalah seperti beberapa gelintir orang itu. Kaum Islam yang mayoritas adalah jauh lebih berharga dibandingkan sekelompok kecil orang yang kerap melakukan aksi-aksi aneh itu.

            Kaum nasionalis harus bergandengan tangan dengan kaum Islam untuk menghadapi nafsu-nafsu barat. Memang penjajahan sudah berhenti di Indonesia. Akan tetapi, harus diingat bahwa penjajahan yang berhenti adalah penjajahan fisik. Penjajahan dalam bentuk yang lebih samar malah terjadi semakin hebat, misalnya, penjajahan dalam hal ekonomi, politik, hukum, budaya, teknologi, pendidikan, dan berbagai pemikiran-pemikiran barat yang dipaksakan masuk ke dalam jiwa dan otak rakyat Indonesia.

            Jangan pula dilupakan bahwa dalam tubuh kaum nasionalis pun tidak semuanya mencintai Indonesia. Beberapa di antara mereka malah menjadi kaki tangan barat untuk “mengganggu” Indonesia agar situasi berada dalam kebingungan dan kekacauan.

            Penjajahan masih berlangsung dalam bentuk yang “halus”. Kaum nasionalis yang setia pada tanah air harus bersatu dengan kaum muslim yang peduli pada keadilan kemanusiaan untuk mewujudkan tujuan pembangunan nasional Indonesia, yaitu mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya yang makmur lahir dan makmur batin. Persatuan antara kaum nasionalis dan kaum Islam pun akan mampu membangun benteng dan perlawanan teramat dahsyat terhadap nafsu-nafsu barat yang pada dasarnya memiliki sifat saling serang-menyerang dan gemar menguasai orang lain.

            Apabila kaum nasionalis masih memandang “buruk” kaum Islam, kata Soekarno, mereka adalah nasionalis yang “sempit budi dan sempit pikiran”. Kalimat “sempit budi dan sempit pikiran” itu bahasa Soekarno yang kasar pada masa lalu. Pada masa sekarang ini “sempit budi dan sempit pikiran” adalah sama dengan “bloon”.


            Sampurasun

No comments:

Post a Comment