oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Ini adalah peringatan bagi kaum nasionalis!
Dari dulu hingga sekarang kaum nasionalis memiliki banyak
kecurigaan terhadap kaum Islam. Kaum nasionalis mencurigai kaum Islam akan
menyeret Indonesia ke arah politik Arab dan Timur Tengah. Kaum nasionalis sering
menganggap berbeda tujuan dengan kaum Islam karena kaum Islam lebih mencintai
ke-universal-an dibandingkan mencintai
tanah airnya sendiri. Kaum Islam dipandang lebih menyukai dan menganggungkan
segala hal yang berbau Arab dan Timur Tengah, baik dari segi pemikiran,
perilaku, maupun politik. Kaum nasionalis sangat tidak menyukai kaum Islam yang
dipandang akan membuat Indonesia sebagai wilayah bagian dari kekuatan Arab dan
Timur Tengah. Kecurigaan ini terus terjadi sejak dahulu hingga saat ini.
Bedanya, sekarang kaum nasionalis “lebih pandai” menutupi kecurigaannya kepada
kaum Islam untuk menghindari konflik. Meskipun demikian, kecurigaan itu tidak
pernah berhenti.
Saya pernah diundang untuk mendengarkan pidato kampanye calon
kepala daerah di ruangan tertutup. Pasangan calon eksekutif tersebut berasal
dari kelompok nasionalis, sedangkan saingannya berasal dari kelompok Islam.
Sang Calon Wakil berkata dalam pidatonya, “Kita
benar-benar sedang berhadapan dengan orang-orang yang berbeda dengan kita.”
Dia membedakan antara kelompok nasionalis dengan kelompok
Islam. Kelompok Islam dianggap memiliki tujuan yang sangat jauh berbeda
dibandingkan dengan kelompok nasionalis meskipun dirinya sendiri beragama
Islam.
Untuk orang-orang nasionalis semacam ini, hendaknya
mengingat nasihat keras dari Pemimpin Besar Revolusi Indonesia Soekarno.
“Adakah keberatan
kaum nasionalis buat bekerja sama dengan kaum Islam oleh karena Islam itu
melebihi kebangsaan dan melebihi batas negeri yang sifatnya ialah supernasional superteritorial?
Adakah internationaliteit Islam merupakan suatu rintangan buat geraknya
nasionalisme, buat geraknya kebangsaan?
Banyak nasionalis di antara kita
yang lupa bahwa pergerakan nasionalisme dan Islamisme di Indonesia ini—ya, di
seluruh Asia—adalah sama asalnya, dua-duanya berasal dari nafsu melawan barat
sehingga sebenarnya bukan lawan, melainkan kawanlah adanya.
Betapa luhurnyalah sikap nasionalis Prof. T.I. Vaswani, seorang yang bukan
Islam, menulis, ‘Jikalau Islam menderita sakit, maka ruh kemerdekaan timur tentulah
sakit juga sebab makin sangatnya negeri-negeri muslim kehilangan kemerdekaan,
makin sangat pula imperialisme Eropa mencekek ruh Asia. Tetapi, saya percaya
pada Asia sediakala. Saya percaya bahwa ruhnya masih akan menang. Islam adalah
internasional dan jikalau Islam merdeka, maka nasionalisme kita itu diperkuat
oleh segenap kekuatan itikad internasional itu.’
Bukan itu saja. Banyak nasionalis
kita yang lupa bahwa orang Islam di mana pun adanya, di seluruh “Darul Islam”,
menurut agamanya, wajib bekerja
untuk keselamatan orang negeri yang ditempatinya. Nasionalis-nasionalis itu
lupa bahwa orang Islam yang sungguh-sungguh menjalankan keislamannya, baik
orang Arab maupun orang India, baik orang Mesir maupun orang mana pun, jikalau
berdiam di Indonesia, wajib pula
bekerja untuk keselamatan Indonesia itu.
‘Di
mana orang Islam bertempat, bagaimanapun jauhnya dari negeri tempat
kelahirannya, di dalam negeri yang baru itu, ia menjadi satu bahagian dari rakyat Islam. Di mana orang Islam bertempat, di
situlah ia harus mencintai dan bekerja untuk keperluan negeri itu dan rakyatnya.’
Inilah
nasionalisme Islam! Sempit budi dan sempit pikiranlah nasionalis yang
memusuhi Islamisme serupa ini. Sempit budi dan sempit pikiranlah ia oleh karena
ia memusuhi suatu azas yang walaupun internasional dan interrasial, mewajibkan
segenap pemeluknya yang ada di Indonesia, bangsa apa pun mereka, mencintai dan
bekerja untuk keperluan Indonesia dan rakyat Indonesia juga adanya.”
Kaum nasionalis harus
menghentikan kecurigaan yang berlebihan kepada kaum Islam karena sangat banyak
kaum Islam yang mencintai Indonesia dengan batas-batas teritorialnya. Bahkan, kaum
Islam yang mencintai kedaulatan Indonesia jumlahnya adalah mayoritas
dibandingkan dengan mereka yang selalu “menyeret-nyeret” Indonesia untuk
menjadi salah satu bagian dari Arab dan Timur Tengah. Memang ada beberapa
gelintir orang Islam yang kerap berkehendak mengekor Arab dan Timur Tengah,
tetapi tidak perlu membuat kaum nasionalis Indonesia menggeneralisasi bahwa
setiap gerakan kaum Islam adalah seperti beberapa gelintir orang itu. Kaum
Islam yang mayoritas adalah jauh lebih berharga dibandingkan sekelompok kecil
orang yang kerap melakukan aksi-aksi aneh itu.
Kaum nasionalis harus bergandengan tangan dengan kaum
Islam untuk menghadapi nafsu-nafsu barat.
Memang penjajahan sudah berhenti di Indonesia. Akan tetapi, harus diingat bahwa
penjajahan yang berhenti adalah penjajahan fisik. Penjajahan dalam bentuk yang
lebih samar malah terjadi semakin hebat, misalnya, penjajahan dalam hal
ekonomi, politik, hukum, budaya, teknologi, pendidikan, dan berbagai
pemikiran-pemikiran barat yang dipaksakan masuk ke dalam jiwa dan otak rakyat
Indonesia.
Jangan pula dilupakan bahwa dalam tubuh kaum nasionalis
pun tidak semuanya mencintai Indonesia. Beberapa di antara mereka malah menjadi
kaki tangan barat untuk “mengganggu” Indonesia agar situasi berada dalam
kebingungan dan kekacauan.
Penjajahan masih berlangsung dalam bentuk yang “halus”.
Kaum nasionalis yang setia pada tanah air harus bersatu dengan kaum muslim yang
peduli pada keadilan kemanusiaan untuk mewujudkan tujuan pembangunan nasional
Indonesia, yaitu mewujudkan manusia
Indonesia seutuhnya yang makmur lahir dan makmur batin. Persatuan antara
kaum nasionalis dan kaum Islam pun akan mampu membangun benteng dan perlawanan teramat
dahsyat terhadap nafsu-nafsu barat yang
pada dasarnya memiliki sifat saling
serang-menyerang dan gemar menguasai
orang lain.
Apabila kaum
nasionalis masih memandang “buruk” kaum Islam, kata Soekarno, mereka adalah
nasionalis yang “sempit budi dan sempit pikiran”. Kalimat “sempit budi dan
sempit pikiran” itu bahasa Soekarno yang kasar pada masa lalu. Pada masa
sekarang ini “sempit budi dan sempit pikiran” adalah sama dengan “bloon”.
Sampurasun
No comments:
Post a Comment