oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Cukup terkejut saya membaca
kisah lahirnya Gajah Mada yang ditulis seorang bangsawan Bali bernama Ida Cokorda Ngurah pada 1880 Saka atau
1958 Masehi. Keterkejutan saya itu karena saya tidak mengerti apa maksud
penulisnya membuat kisah Gajah Mada seperti itu. Dalam setiap kisah, selalu ada
pesan sponsor atau maksud dari penulisnya.
Saya bertanya-tanya dalam hati apakah kisah Gajah Mada
yang ditulisnya itu adalah dimaksudkan sebagai luapan pemberontakan dirinya
terhadap penguasa?
Apakah menyindir para pemimpin agama atau penguasa?
Apakah justru memuliakan sosok Gajah Mada itu sendiri?
Saya benar-benar tidak mengerti dan tidak bisa menduga.
Kisah kelahiran Gajah Mada karya Ida Cokorda Ngurah itu
dikutip dalam karangan berjudul Tokoh
Sejarah sebagai Protagonis: Dua Buah Karya Sastra Jawa (Kuna), Partini
Sardjono Pr., A Man of Indonesian
Letters, essay honour of Prof. Teeuw, Edited by C.N.S. Hellwig and S.O. Robson,
VKI 121 Derdrecht, 1986 : VII + 349 p.
Dikisahkan bahwa Gajah Mada itu adalah anak yang lahir dari
rahim seorang wanita brahmana bernama Nari
Ratih. Sebelum Gajah Mada lahir, Nari Ratih dengan suaminya, Sura Dharma, diwisuda menjadi
sewalabrahmacari. Sebagai konsekwensi wisuda itu, Nari Ratih tidak boleh
bersenggama lagi dengan suaminya.
Pada suatu saat Dewa Brahma sedang menjalankan tugas melestarikan
kehidupan di dunia. Ia mencari “wadah” yang tepat untuk mewujudkan kehendaknya.
Ketika melihat Nari Ratih yang cantik sedang berjalan menuju ladang tempat
suaminya bekerja, Dewa Brahma menetapkan pilihan padanya. Dewa Brahma pun
berusaha memaksakan kehendaknya untuk memenuhi “hasratnya” pada Nari Ratih.
Setelah berupaya, Dewa Brahma berhasil memaksakan keinginannya kepada Nari
Ratih.
Mulai pada bagian ini saya bingung.
Mengapa Dewa Brahma memilih Nari Ratih yang sudah punya
suami?
Bukankah banyak perawan-perawan cantik dan janda-janda
yang tidak bersuami?
Nari Ratih itu kan milik suaminya?
Lagian, bukankah Nari Ratih itu sudah terlarang
bersenggama dengan suaminya?
Dengan suaminya saja, tidak boleh, mengapa dengan dewa
boleh?
Mengapa harus berupaya keras memaksakan “hasratnya” pada
Nari Ratih?
Mengapa tidak merayu, membujuk, menggunakan kata-kata
manis yang menarik hati Nari Ratih?
Bukankah dengan menggunakan rayuan maut lebih manis
dibandingkan dengan melakukan paksaan?
Kita teruskan lagi kisahnya. Pasca-pemaksaan hasrat Dewa
Brahma, Nari Ratih pun mengandung seorang anak laki-laki. Bayi laki-laki hasil paksaan
hasrat Dewa Brahma itu ditinggalkan Nari Ratih di tangga pemujaan Desa Mada.
Saya bingung lagi.
Mengapa Nari Ratih meninggalkan bayinya?
Malu?
Apa penjelasannya sehingga tidak mau mengurus bayinya?
Kita teruskan lagi kisahnya. Pada malam harinya Kepala
Desa Mada terbangun dari tidurnya karena seakan-akan ada yang membangunkannya. Ia
seakan-akan ditarik keluar untuk melihat sinar cemerlang yang keluar dari rumah
pemujaan Desa Mada. Ketika dihampirinya, ternyata yang mengeluarkan sinar ialah
bayi laki-laki yang menangis di anak tangga rumah pemujaan. Kepala Desa Mada
tercengang melihat anak itu. Bayi itu pun diberi nama Pipil Mada.
Ceriteranya masih panjang sebenarnya. Akan tetapi, saya menduga-duga
bahwa ketika Nari Ratih tidak mau mengurus bayi itu dan meninggalkannya, Dewa
Brahma mengambil alih untuk mengurusnya. Akan tetapi, Dewa Brahma tidak mau
mengurusnya sebagai single parent. Ia
justru membangunkan Kepala Desa Mada dari tidurnya agar mau mengurus anaknya
itu.
Kisah-kisah selanjutnya Gajah Mada tumbuh sebagai “manusia
setengah dewa” mirip-mirip dengan kisah Hercules dari Yunani.
Hal yang membuat saya bertanya-tanya adalah ya itu tadi
soal Dewa Brahma memilih Nari Ratih yang sudah punya suami dan menikungnya dengan
paksaan hasrat di tengah jalan ke ladang, padahal Nari Ratih saat itu sedang
berjalan menuju ladang tempat suaminya bekerja. Di samping itu, Nari Ratih kan
sedang terlarang melakukan senggama, bahkan dengan suaminya sendiri.
Padahal, kan masih banyak perawan atau janda cantik dan
sebagai dewa, Brahma tidak perlu menikung di tengah jalan ke ladang. Dewa kan
bisa menggunakan kata-kata manis yang menyentuh hati.
Saya benar-benar tidak memahami maksud dari penulis
ceritera menyuguhkan kisah seperti itu.
Kalau ada di antara para pembaca yang dapat memberikan
pencerahan tentang kisah itu agar saya tidak bingung lagi, saya sangat
berterima kasih.
Sampurasun.
No comments:
Post a Comment