Wednesday 19 April 2017

Lahirnya Gajah Mada

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Cukup terkejut saya membaca kisah lahirnya Gajah Mada yang ditulis seorang bangsawan Bali bernama Ida Cokorda Ngurah pada 1880 Saka atau 1958 Masehi. Keterkejutan saya itu karena saya tidak mengerti apa maksud penulisnya membuat kisah Gajah Mada seperti itu. Dalam setiap kisah, selalu ada pesan sponsor atau maksud dari penulisnya.

            Saya bertanya-tanya dalam hati apakah kisah Gajah Mada yang ditulisnya itu adalah dimaksudkan sebagai luapan pemberontakan dirinya terhadap penguasa?

            Apakah menyindir para pemimpin agama atau penguasa?

            Apakah justru memuliakan sosok Gajah Mada itu sendiri?

            Saya benar-benar tidak mengerti dan tidak bisa menduga.

            Kisah kelahiran Gajah Mada karya Ida Cokorda Ngurah itu dikutip dalam karangan berjudul Tokoh Sejarah sebagai Protagonis: Dua Buah Karya Sastra Jawa (Kuna), Partini Sardjono Pr., A Man of Indonesian Letters, essay honour of Prof. Teeuw, Edited by C.N.S. Hellwig and S.O. Robson, VKI 121 Derdrecht, 1986 : VII + 349 p.

            Dikisahkan bahwa Gajah Mada itu adalah anak yang lahir dari rahim seorang wanita brahmana bernama Nari Ratih. Sebelum Gajah Mada lahir, Nari Ratih dengan suaminya, Sura Dharma, diwisuda menjadi sewalabrahmacari. Sebagai konsekwensi wisuda itu, Nari Ratih tidak boleh bersenggama lagi dengan suaminya.

            Pada suatu saat Dewa Brahma sedang menjalankan tugas melestarikan kehidupan di dunia. Ia mencari “wadah” yang tepat untuk mewujudkan kehendaknya. Ketika melihat Nari Ratih yang cantik sedang berjalan menuju ladang tempat suaminya bekerja, Dewa Brahma menetapkan pilihan padanya. Dewa Brahma pun berusaha memaksakan kehendaknya untuk memenuhi “hasratnya” pada Nari Ratih. Setelah berupaya, Dewa Brahma berhasil memaksakan keinginannya kepada Nari Ratih.

            Mulai pada bagian ini saya bingung.

            Mengapa Dewa Brahma memilih Nari Ratih yang sudah punya suami?

            Bukankah banyak perawan-perawan cantik dan janda-janda yang tidak bersuami?

            Nari Ratih itu kan milik suaminya?

            Lagian, bukankah Nari Ratih itu sudah terlarang bersenggama dengan suaminya?

            Dengan suaminya saja, tidak boleh, mengapa dengan dewa boleh?

            Mengapa harus berupaya keras memaksakan “hasratnya” pada Nari Ratih?

            Mengapa tidak merayu, membujuk, menggunakan kata-kata manis yang menarik hati Nari Ratih?

            Bukankah dengan menggunakan rayuan maut lebih manis dibandingkan dengan melakukan paksaan?

            Kita teruskan lagi kisahnya. Pasca-pemaksaan hasrat Dewa Brahma, Nari Ratih pun mengandung seorang anak laki-laki. Bayi laki-laki hasil paksaan hasrat Dewa Brahma itu ditinggalkan Nari Ratih di tangga pemujaan Desa Mada.

            Saya bingung lagi.

            Mengapa Nari Ratih meninggalkan bayinya?

            Malu?

            Apa penjelasannya sehingga tidak mau mengurus bayinya?

            Kita teruskan lagi kisahnya. Pada malam harinya Kepala Desa Mada terbangun dari tidurnya karena seakan-akan ada yang membangunkannya. Ia seakan-akan ditarik keluar untuk melihat sinar cemerlang yang keluar dari rumah pemujaan Desa Mada. Ketika dihampirinya, ternyata yang mengeluarkan sinar ialah bayi laki-laki yang menangis di anak tangga rumah pemujaan. Kepala Desa Mada tercengang melihat anak itu. Bayi itu pun diberi nama Pipil Mada.

            Ceriteranya masih panjang sebenarnya. Akan tetapi, saya menduga-duga bahwa ketika Nari Ratih tidak mau mengurus bayi itu dan meninggalkannya, Dewa Brahma mengambil alih untuk mengurusnya. Akan tetapi, Dewa Brahma tidak mau mengurusnya sebagai single parent. Ia justru membangunkan Kepala Desa Mada dari tidurnya agar mau mengurus anaknya itu.

            Kisah-kisah selanjutnya Gajah Mada tumbuh sebagai “manusia setengah dewa” mirip-mirip dengan kisah Hercules dari Yunani.

            Hal yang membuat saya bertanya-tanya adalah ya itu tadi soal Dewa Brahma memilih Nari Ratih yang sudah punya suami dan menikungnya dengan paksaan hasrat di tengah jalan ke ladang, padahal Nari Ratih saat itu sedang berjalan menuju ladang tempat suaminya bekerja. Di samping itu, Nari Ratih kan sedang terlarang melakukan senggama, bahkan dengan suaminya sendiri.

            Padahal, kan masih banyak perawan atau janda cantik dan sebagai dewa, Brahma tidak perlu menikung di tengah jalan ke ladang. Dewa kan bisa menggunakan kata-kata manis yang menyentuh hati.

            Saya benar-benar tidak memahami maksud dari penulis ceritera menyuguhkan kisah seperti itu.

            Kalau ada di antara para pembaca yang dapat memberikan pencerahan tentang kisah itu agar saya tidak bingung lagi, saya sangat berterima kasih.


            Sampurasun.

No comments:

Post a Comment