Tuesday 18 April 2017

Pemimpin Yang Tak Gila Kepemimpinan

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Dewasa ini banyak sekali orang yang ingin menjadi pemimpin. Menjadi pemimpin berarti mendapatkan kekuasaan. Dengan kekuasaan akan ada banyak sector ekonomi yang dikuasai. Kepemimpinan adalah kekuasaan. Kekuasaan adalah kehormatan dan kekayaan. Begitulah yang dipikirkan banyak orang saat ini. Tergila-gila terhadap kepemimpinan dan kekuasaan.

               Ketahuilah bahwa Allah swt telah mengajarkan banyak hal kepada kita melalui leluhur kita tentang apa itu kepemimpinan dan untuk apa menjadi pemimpin. Melalui banyak kisah yang berisi ajaran-ajaran positif, leluhur kita mengajarkan tentang menjadi pemimpin.

               Pada tulisan yang lalu saya menyatakan pendapat bahwa kisah pewayangan itu berasal dari para leluhur Indonesia yang diberikan banyak pencerahan oleh Allah swt tentang hidup dan kehidupan. Kisah-kisah itu sungguh mengandung banyak pelajaran untuk kita semua. Salah satu kisah itu berjudul Ramayana.

               Karena situasi politik di Indonesia dan kesemrawutan banyak hal, terdapat berbagai versi tentang kisah Ramayana. Ada versi yang bad ending, ‘berakhir buruk’. Ada versi yang happy ending, ‘berakhir bahagia’. Versi bad ending sangat tidak tepat bagi bangsa Indonesia. Dalam kisah ini Rama berpisah dengan Sinta karena Rama tidak lagi mempercayai Sinta yang sudah diculik Rahwana. Rama menganggap Sinta sudah tidak suci lagi karena telah bersama Rahwana. Adapun dalam versi happy ending, Rama sangat mempercayai Sinta masih tetap perempuan yang suci dan mereka pun akhirnya bersama saling mencintai. Versi yang berakhir bahagia adalah versi yang paling disukai rakyat Indonesia.

               Dalam versi yang berakhir bahagia, ada sedikit yang dikutip oleh Dr. Partini Sardjono Pr., S.S. saat pengukuhan penerimaan jabatan Guru Besar dalam Ilmu Sastra pada Fakultas Sastra, Universitas Padjadjaran, Bandung dalam pidatonya yang berjudul Peranan Sastra Nusantara Kuna dalam Alam Pembangunan Nasional (5 Juli 1986). Berikut kutipan tersebut yang mengandung pengajaran mulia untuk menjadi pemimpin.

               Ayah Sang Rama bernama Dasaratha. Rama adalah putera sulung Dasaratha. Ketika Rama hendak diangkat menjadi raja Ayodhya, istri Dasaratha yang lain yang bernama Kekayi kecewa. Kekayi menagih janji pada Dasaratha bahwa anaknyalah yang harus menjadi raja. Anaknya bernama Bharata. Kekayi menginginkan Bharata yang menjadi raja dengan menyingkirkan Rama ke dalam hutan. Rama harus dikucilkan ke dalam hutan serta hanya ditemani istrinya, Sinta, dan adiknya, Laksmana.

               Dasaratha adalah raja yang tidak pernah ingkar janji. Bahkan, kepada perempuan pun Dasaratha tidak pernah ingkar janji. Dengan berat hati dan penuh kesedihan, Rama pun dikucilkannya ke dalam hutan. Peristiwa pengucilan itu tidak diketahui oleh Bharata, anak   Dasaratha dari Kekayi. Oleh sebab itu, ia sangat hancur hatinya. Karena hatinya sangat hancur, tak lama kemudian Dasaratha pun meninggal.

               Saat hendak diangkat menjadi raja untuk menggantikan ayahnya, Bharata menolak. Ia merasa tidak berhak menjadi raja karena Rama yang sesungguhnya harus menjadi raja. Oleh sebab itu, Bharata segera menyusul Rama ke dalam hutan. Bharata sangat kesulitan dan menemui banyak rintangan untuk menemukan Rama. Setelah berbagai kesusahan dilaluinya, akhirnya Bharata menemukan kakaknya, Rama. Bharata membujuk, mendesak, dan memaksa Rama untuk kembali pulang ke Ayodhya agar menjadi raja. Akan tetapi, Rama menolak pula untuk menjadi raja karena baginya patuh pada perintah ayah adalah suatu anugerah.

               Kita bisa lihat jiwa-jiwa kepemimpinan dari Bharata dan Rama. Bharata dengan segala kejujuran dan kecintaan kepada kakaknya menolak untuk menjadi pemimpin karena dirinya tidak mau menjadi pemimpin dengan cara curang mengambil hak orang lain. Demikian pula Rama. Ia tidak mau menjadi raja karena telah mendapat perintah dari ayahnya untuk berada dalam hutan. Ia tidak segera angkuh dan menyombongkan kebenaran tentang hak dirinya, padahal baginya mudah sekali menjadi raja setelah Bharata memintanya untuk menjadi raja. Rama tidak melihat kedudukan raja sebagai sebuah kebaikan, tetapi mematuhi perintah orangtua adalah lebih utama.

               Rama mengungkapkan keyakinannya itu dalam kalimat yang sangat indah kepada adiknya, Bharata, “Tujuan anak adalah menjalankan perintah ayah sebab beliau yang melahirkan kita. Beliau memberi tahu arah utara dan selatan. Beliau yang mengarahkan dan mendidik kita.

               Meskipun Rama menolak menjadi raja, Bharata tetap tidak mau menjadi raja. Ia yakin bahwa dirinya tidak pantas menjadi raja. Rama yang seharusnya menjadi raja. Setelah melihat kegundahan adiknya, Rama meyakinkan Bharata untuk menjadi raja. Untuk menguatkan hati adiknya, Bharata, Rama memberikan terompahnya sebagai wakil bagi dirinya untuk diagungkan sebagai raja. Dengan berat hati, Bharata pun bersedia kembali ke Ayodhya untuk menjadi raja.

               Kita lihat bagaimana pandangan kedua pemimpin ini terhadap kepemimpinan. Mereka sama-sama menganggap bahwa menjadi pemimpin itu bukanlah sesuatu yang harus dikejar, apalagi harus sampai saling bertengkar atau saling bunuh. Bagi mereka menjadi pemimpin adalah tanggung jawab yang sangat berat dan harus hanya diserahkan kepada mereka yang berhak dan memiliki kemampuan yang baik dalam memimpin. Rama merasa Bharata yang berhak menjadi raja karena itulah yang dipesankan ayahnya. Demikian pula Bharata yang merasa bahwa Rama yang harus menjadi raja karena Rama adalah putera sulung Dasaratha. Mereka merasa aman jika bukan dirinya yang menjadi pemimpin.

               Pada akhirnya, keduanya menjadi pemimpin yang berbudi luhur. Bedanya, Rama memimpin dengan jiwa dan nasihatnya tanpa atribut dan kursi kekuasaan. Adapun Bharata menjadi raja secara fisik dan memiliki kekuasaan penuh untuk melaksanakan segala nasihat kakaknya.

               Rama memberikan arah dan bimbingan kepada adiknya untuk menjalankan pemerintahan, “Anda yang bertanggung jawab melindungi dunia. Ikutilah dan junjung tinggi peraturan bagi seorang ksatria. Kitab petunjuk agama jadikan pegangan, perhatikan selalu. Ikutilah ajaran kitab suci itu saja yang membawa kebahagiaan.”

               Untuk menjadi raja dengan pribadi mulia, Rama memberikan nasihat, “Ikutilah tatasusila, jauhkan nafsu dan kebencian. Hilangkan rasa iri hati, capailah keluhuran. Pegang teguh ketertiban. Semua perbuatanmu harus patut diteladani. Apabila sangat sombong, Adikku, seorang penguasa akan jatuh.”

               Mengenai pandangan orang lain, Rama mengatakan, “Orang akan hormat melihat kemuliaan dan kebijaksanaan raja yang tak hentinya memperlihatkan yang baik dan buruk dan mendengarkan keluhan seluruh rakyatnya sebab itu selalu menjadi tugas raja.”

               Dalam hal kewajiban memperhatikan kesejahteraan rakyat, Rama menasihatkan, “Demikian tugasmu selalu melindungi kawasanmu, rawatlah biara, tempat ibadat, dan rumah pemujaan dewa-dewa, jalan-jalan, persawahan, air mancur, telaga, bendungan, tambak, taman, pasar, jembatan. Segala apa yang diperlukan rakyat, sediakan!”

               Untuk menjalankan pemerintahan dengan baik, Rama mengajarkan bahwa pemimpin atau raja itu harus bersatu jiwa dengan rakyatnya, “Anda sebagai raja ibarat gunung dan rakyat adalah tumbuh-tumbuhannya. Keserasian antara yang besar dan kecil menimbulkan keselarasan. Rakyat jelata adalah ibarat hutan belantara dan Anda adalah singa sebagai pelindung sehingga semua tampak serasi.”

               Begitulah kedua pemimpin berpribadi luhur ini memulai mengatur pemerintahan. Tak ada persaingan di antara keduanya. Mereka justru bahu-membahu, saling mengisi untuk menciptakan pemerintahan yang baik agar dapat menyejahterakan rakyatnya, dicintai Tuhan, dan selaras dengan alam semesta.

               Kita semua dapat mengambil pelajaran dari kisah itu.

            Sampurasun.

No comments:

Post a Comment