Monday, 17 April 2017

Keluarga Keraton Tak Pantas Berkonflik

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Bangsa Indonesia ini sedang merindukan kembali jati dirinya yang telah lama hilang. Hilangnya jati diri bangsa Indonesia ini dimulai saat datangnya penjajahan dan semasa Orde Baru. Penjajahan Belanda memang paling mengerikan di dunia ini karena bukan hanya sumber daya alam yang mereka keruk, melainkan pula sampai pada kehidupan tatakrama keraton. Keluarga-keluarga bangsawan yang mana saja di Indonesia ini mendapatkan pengaruh penjajahan dari segi politik sampai dengan hal-hal terkecil semisal cara berpakaian dan penggunaan atribut kebangsawanan. Pemberontakan Pangeran Diponegoro salah satunya disebabkan ikut campurnya Belanda terhadap cara berpakaian di lingkungan keraton. Banyak hal yang hilang dan berubah drastis sejak dimulainya penjajahan. Demikian pula semasa Orde Baru, kehidupan keraton, kebangsawanan, ataupun semangat kesukuan dan kedaerahan mendapatkan kecurigaan yang berlebihan karena dianggap dapat mengancam persatuan dan kesatuan Indonesia. Suku yang mendapatkan “jatah” lebih besar untuk menampilkan dirinya adalah Suku Jawa. Ada situasi yang kurang adil saat itu.

            Jiwa-jiwa bangsa Indonesia yang mulai kering karena terlalu banyak pengaruh asing, kini mulai merindukan kembali dirinya. Bertahap, perlahan, namun pasti perasaan kesukuan dan kedaerahan itu kembali tumbuh bersamaan dengan rasa nasionalisme sebagai bangsa yang satu, Indonesia. Rasanya senang sekali jika melihat suatu masyarakat hidup dengan menggunakan kearifan lokalnya masing-masing. Ada rasa haru dan bangga jika menyaksikan pentas-pentas seni yang mempertunjukkan seni kedaerahan, daerah yang mana saja. Seni-seni itu terasa memberikan sebuah pemahaman dan kesejukan tersendiri dalam mengisi jiwa-jiwa yang telah lama kering.

            Indonesia ini memiliki ribuan suku, ribuan bahasa, ribuan adat istiadat, dan ribuan kearifan lokal. Dari ribuan warna perbedaan menarik itu selalu memiliki jiwa yang sama, yaitu pengabdian kepada Sang Pencipta, penghormatan pada sesama manusia, penjagaan terhadap alam semesta, dan dorongan keharmonisan hidup. Perhatikan saja setiap seni dan kebiasaan hidup ribuan suku di Indonesia itu. Meskipun berbeda-beda cara dan warna, jiwanya tetap sama. Itulah yang dirindukan kembali bangsa ini.

            Pada zaman ini, zaman kebebasan berekspresi, sesungguhnya merupakan waktu yang sangat tepat bagi ribuan suku, ribuan keluarga keraton, ratusan ribu keturunan bangsawan di seluruh Indonesia dari Merauke hingga Sabang, dari Papua hingga Aceh yang telah menjaga Indonesia sejak dulu hingga saat ini untuk menampilkan kebijaksanaan, keunikan, kearifan lokal, kelembutan, dan kemanusiaannya masing-masing. Para pedagang Arab masa lalu menyebut Indonesia ini sebagai Jaziratul Mulk, ‘tanah yang banyak rajanya’. Memang ada ribuan raja di Indonesia ini dan kita tidak mengenal seluruhnya. Seluruh daerah di Indonesia ini dulunya dipimpin oleh para raja sesuai dengan sukunya masing-masing. Keturunan para raja ini sebaiknya kembali menghidupkan nilai-nilai luhurnya masing-masing sehingga menjadi rujukan masyarakatnya dalam menyelesaikan berbagai masalah. Para keturunan bangsawan ini sebaiknya menampilkan dirinya sebagai bangsawan yang penuh keluhuran budi pekerti, nilai-nilai mulia yang hidup nyata di tengah masyarakat, dan bukan mempertontonkan diri sebagai keturunan bangsawan hanya untuk memperoleh kekuasaan atau merasa berhak diagungkan atau dihormati. Saya memiliki keyakinan bahwa keagungan para raja zaman dulu itu akan kembali mulia dan dihormati oleh orang banyak jika nilai-nilai hidup dan kearifan lokal kembali dihidupkan dalam keseharian. Saya juga memiliki keyakinan bahwa jika para keturunan bangsawan ini hanya meletih-letihkan dirinya agar diakui sebagai keturunan raja dan berharap dihormati orang lain, keagungan dan kemuliaan mereka tidak akan pernah kembali, bahkan merosot ke tingkat yang lebih rendah lagi. Rakyat tidak membutuhkan itu. Rakyat justru mengharapkan adanya contoh luhur dari pendahulunya untuk menjadi teladan yang dapat dipraktikkan dalam hidup sehari-hari.

            Bukan upacara-upacara ritual yang harus selalu dibesar-besarkan karena hal itu hanya sebuah upacara. Di samping itu, kita kini mayoritas sudah menjadi muslim, harus pilih-pilih dalam melaksanakan ritual agar tidak bertabrakan dengan nilai-nilai Islam.

            Sangatlah disayangkan jika terjadi konflik di dalam keluarga keraton saat ini. Apalagi jika konflik itu terjadi pada keluarga-keluarga para bangsawan yang besar dan diakui masih memiliki pengaruh hingga saat ini. Seharusnya, para bangsawan itu memberikan kesejukan pada rakyat, menjadi penjaga ruh bangsa agar selalu dalam kebaikan, serta menjadi pemberi solusi mencerahkan di tengah masyarakat. Rakyat Indonesia membutuhkan keteladanan yang menenangkan jiwanya dan bukan dorongan untuk berkonflik yang teramat meletihkan hati, menggelisahkan jiwa, dan merusakkan pikiran.

            Jika ribuan keturunan bangsawan di seluruh pulau di Indonesia ini dapat menyerap nilai-nilai mulia leluhurnya dan mempraktikannya dalam kehidupan sehari-hari, rasa hormat masyarakat akan tumbuh pada mereka. Mereka akan menjadi tujuan banyak orang. Hal yang lebih penting lagi adalah jati diri rakyat sebagai bangsa Indonesia akan semakin kuat dan rakyat akan lebih bangga dan nyaman sebagai bagian dari keluarga besar Indonesia.


            Sampurasun.

No comments:

Post a Comment