oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Bangsa Indonesia ini sedang
merindukan kembali jati dirinya yang telah lama hilang. Hilangnya jati diri
bangsa Indonesia ini dimulai saat datangnya penjajahan dan semasa Orde Baru.
Penjajahan Belanda memang paling mengerikan di dunia ini karena bukan hanya
sumber daya alam yang mereka keruk, melainkan pula sampai pada kehidupan
tatakrama keraton. Keluarga-keluarga bangsawan yang mana saja di Indonesia ini
mendapatkan pengaruh penjajahan dari segi politik sampai dengan hal-hal
terkecil semisal cara berpakaian dan penggunaan atribut kebangsawanan.
Pemberontakan Pangeran Diponegoro salah satunya disebabkan ikut campurnya
Belanda terhadap cara berpakaian di lingkungan keraton. Banyak hal yang hilang
dan berubah drastis sejak dimulainya penjajahan. Demikian pula semasa Orde
Baru, kehidupan keraton, kebangsawanan, ataupun semangat kesukuan dan
kedaerahan mendapatkan kecurigaan yang berlebihan karena dianggap dapat
mengancam persatuan dan kesatuan Indonesia. Suku yang mendapatkan “jatah” lebih
besar untuk menampilkan dirinya adalah Suku Jawa. Ada situasi yang kurang adil
saat itu.
Jiwa-jiwa bangsa Indonesia yang mulai kering karena
terlalu banyak pengaruh asing, kini mulai merindukan kembali dirinya. Bertahap,
perlahan, namun pasti perasaan kesukuan dan kedaerahan itu kembali tumbuh
bersamaan dengan rasa nasionalisme sebagai bangsa yang satu, Indonesia. Rasanya
senang sekali jika melihat suatu masyarakat hidup dengan menggunakan kearifan
lokalnya masing-masing. Ada rasa haru dan bangga jika menyaksikan pentas-pentas
seni yang mempertunjukkan seni kedaerahan, daerah yang mana saja. Seni-seni itu
terasa memberikan sebuah pemahaman dan kesejukan tersendiri dalam mengisi
jiwa-jiwa yang telah lama kering.
Indonesia ini memiliki ribuan suku, ribuan bahasa, ribuan
adat istiadat, dan ribuan kearifan lokal. Dari ribuan warna perbedaan menarik
itu selalu memiliki jiwa yang sama, yaitu pengabdian kepada Sang Pencipta,
penghormatan pada sesama manusia, penjagaan terhadap alam semesta, dan dorongan
keharmonisan hidup. Perhatikan saja setiap seni dan kebiasaan hidup ribuan suku
di Indonesia itu. Meskipun berbeda-beda cara dan warna, jiwanya tetap sama.
Itulah yang dirindukan kembali bangsa ini.
Pada zaman ini, zaman kebebasan berekspresi, sesungguhnya
merupakan waktu yang sangat tepat bagi ribuan suku, ribuan keluarga keraton, ratusan
ribu keturunan bangsawan di seluruh Indonesia dari Merauke hingga Sabang, dari
Papua hingga Aceh yang telah menjaga Indonesia sejak dulu hingga saat ini untuk
menampilkan kebijaksanaan, keunikan, kearifan lokal, kelembutan, dan
kemanusiaannya masing-masing. Para pedagang Arab masa lalu menyebut Indonesia
ini sebagai Jaziratul Mulk, ‘tanah
yang banyak rajanya’. Memang ada ribuan raja di Indonesia ini dan kita tidak
mengenal seluruhnya. Seluruh daerah di Indonesia ini dulunya dipimpin oleh para
raja sesuai dengan sukunya masing-masing. Keturunan para raja ini sebaiknya
kembali menghidupkan nilai-nilai luhurnya masing-masing sehingga menjadi
rujukan masyarakatnya dalam menyelesaikan berbagai masalah. Para keturunan
bangsawan ini sebaiknya menampilkan dirinya sebagai bangsawan yang penuh
keluhuran budi pekerti, nilai-nilai mulia yang hidup nyata di tengah
masyarakat, dan bukan mempertontonkan diri sebagai keturunan bangsawan hanya
untuk memperoleh kekuasaan atau merasa berhak diagungkan atau dihormati. Saya memiliki
keyakinan bahwa keagungan para raja zaman dulu itu akan kembali mulia dan
dihormati oleh orang banyak jika nilai-nilai hidup dan kearifan lokal kembali
dihidupkan dalam keseharian. Saya juga memiliki keyakinan bahwa jika para keturunan
bangsawan ini hanya meletih-letihkan dirinya agar diakui sebagai keturunan raja
dan berharap dihormati orang lain, keagungan dan kemuliaan mereka tidak akan
pernah kembali, bahkan merosot ke tingkat yang lebih rendah lagi. Rakyat tidak
membutuhkan itu. Rakyat justru mengharapkan adanya contoh luhur dari
pendahulunya untuk menjadi teladan yang dapat dipraktikkan dalam hidup sehari-hari.
Bukan upacara-upacara ritual yang harus selalu
dibesar-besarkan karena hal itu hanya sebuah upacara. Di samping itu, kita kini
mayoritas sudah menjadi muslim, harus pilih-pilih dalam melaksanakan ritual
agar tidak bertabrakan dengan nilai-nilai Islam.
Sangatlah disayangkan jika terjadi konflik di dalam
keluarga keraton saat ini. Apalagi jika konflik itu terjadi pada
keluarga-keluarga para bangsawan yang besar dan diakui masih memiliki pengaruh
hingga saat ini. Seharusnya, para bangsawan itu memberikan kesejukan pada
rakyat, menjadi penjaga ruh bangsa agar selalu dalam kebaikan, serta menjadi
pemberi solusi mencerahkan di tengah masyarakat. Rakyat Indonesia membutuhkan
keteladanan yang menenangkan jiwanya dan bukan dorongan untuk berkonflik yang
teramat meletihkan hati, menggelisahkan jiwa, dan merusakkan pikiran.
Jika ribuan keturunan bangsawan di seluruh pulau di
Indonesia ini dapat menyerap nilai-nilai mulia leluhurnya dan mempraktikannya
dalam kehidupan sehari-hari, rasa hormat masyarakat akan tumbuh pada mereka.
Mereka akan menjadi tujuan banyak orang. Hal yang lebih penting lagi adalah
jati diri rakyat sebagai bangsa Indonesia akan semakin kuat dan rakyat akan
lebih bangga dan nyaman sebagai bagian dari keluarga besar Indonesia.
Sampurasun.
No comments:
Post a Comment